Tampilkan postingan dengan label FEATURE. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FEATURE. Tampilkan semua postingan

Kamis, 28 Agustus 2014

SUDAH HAMPIR 150 TAHUN LALU NUSANTARA kedatangan seorang kakek. Kakek itu bukanlah orang kaya. Ia lahir pada 1823 di Usk. Monmouthshire, Inggris. Di usianya yang sudah tak muda ia melakukan perjalanan panjang. 

Sembilan tahun ia menghabiskan waktu di Nusantara. Berbekal sederhana, juga tidak perlu iring-iringan besar saat melakukan perjalanan seperti Raffles.

Kakinya pernah menapak di Borneo. Kala itu, lusinan Mias (orang hutan) banyak ia buru, begitu pula burung-burung dan tumbuhan banyak  dikoleksi.

Tetangganya sering memanggilnya untuk menembak Mias. Mias buruannya itu merusak kebun-kebun. Setelah mendapatkannya, ia akan mengulitinya. Dan dikirimnya ke Museum Inggris koleksinya itu. 

Ia terkejut saat pemuda Dayak memanjat pohon untuk mengangkat bangkai mias yang tersangkut di pohon-pohon besar. Mias itu tewas di pelurunya. Saat tertembak, “Dooorrr!” Mias itu kabur menaiki pohon-pohon besar. 
kisah yang dirangkum dalam jurnalisme bertutur

Lekas Kakek itu meminta bantuan.

 “Bagaimana mungkin, pemuda itu mampu memanjat pohon hanya dengan batang-batang bambu, dan seutas tali dari kulit pohon untuk mengambil bangkai Mias,” kenangnya di salah satu surat panjangnya.

Kakek itu pun pernah menapakan kakinya di pulau Jawa, melalui pelabuhan di Soerabaya. Turun dari kapal, ia tak sabar melanjutkan perjalanannya untuk melintasi kota, desa, pedalaman, serta hutan-hutan. 

Naik kereta dilanjut dengan dokar, ia mengeluh, “perjalanan di Jawa sangat mahal,” ungkapnya.

 Menuju Modjokerto bertemu Mr Ball sahabatnya. Disana, hari-harinya  dihabiskan melihat pengantin sunat, berjalan-jalan melihat candi, dan berburu burung. Kakek itu pun menulis tentang keindahan arsitektur sisa-sisa keruntuhan Majapahit.

Pernah sepulangnya melintas hutan-hutan, saat kembali ke rumah. Baru turun dari dokarnya, Mr Ball mengabarkan ada anak-laki-laki tewas diterkam harimau. Kakek itu sangat menyesal saat tak mendapatkan tengkorak harimau yang mati itu, terkepung, mati di puluhan tombak penduduk. “Tidak utuh lagi, giginya pun diambil, dipakai untuk jimat,”  kembali ia mengenang di surat-suratnya. 

Kakek itu adalah Alfred Russel Wallace. Catatan perjalanannya menjadi kajian penting tentang Nusantara. Perlu tujuh tahun untuk merangkum catatan apik itu. “The Malay Archipilago” (Komunitas Bambu telah menerjemahkannya) adalah salah satu masterpiecenya. Kakek itu menulis apa saja, menebang pohon, berburu kupu-kupu, mengobrol mengenai lumut di Bogor dan Gunung Gede sangat bagus?

Tony Whitten menggambarkan, surat panjangnya itu seperti ditulis untuk kawan seminat, yang akan tergugah tidak hanya pada hewan dan tumbuhan juga pada kisah-kisah perjalanan di daratan, sungai, dan laut, seperti percakapan-percakapan yang terjadi antara Wallace dengan penduduk kampung  atau para raja, putra-putri bangsawan, dan sultan. Obrolan yang terjadi dengan Orang lain itu menambah asyik tulisannya.

Rumusnya memang sangat sederhana, rasa ingin tahu tentang dunia telah mewabah di Eropa kala itu. Adalah sebuah anugerah bagi pelaut, naturalis, pejalan kaki, travelers, bagi siapa saja yang hendak berkontemplasi untuk menemukan kehidupan lain dan menuliskan kisahnya. Bagaimana mereka-mereka mampu mengurai rasa tahu itu?

            Kita harus melakukan perjalanan,” tulis Heredotus jauh sebelum itu. Lebih asiknya kita harus ketempat Orang lain, dan memperlihatkan hasrat untuk bertemu dengan Orang lain. 

Adanya sebuah perjalanan menuntut seorang untuk mencatat, merekam apa saja. Ini bukanlah sebuah kisah perjalanan biasa, Kapuscinki seorang penulis, wartawan, menyebutnya seperti perjalanan seorang “wartawan”. Ia menulisnya,

“Ketika kita melakukan perjalanan, kita bisa merasakan bahwa sesuatu penting tengah terjadi, bahwa kita turut ambil bagian  dalam sesuatu yang penting terjadi, bahwa kita turut ambil bagian dalam sesuatu sebagai saksi mata sekaligus pelaku.”

Perjalanan itu ‘Menguji Nurani’, Kapuscinski menyebutnya. Melakukan perjalanan memungkinkan bertemu dengan Orang Lain, mengobrol, mendengar ceritanya. Kata hati mereka benar-benar menguji nurani.

Restu salah satu penulis buku  sedang belajar menganyam
Sebuah tantangan, melakukan perjalanan-perjalanan di negeri sendiri  pun dapat menguji nurani. Itulah yang menjadi kekuatan mimesis kami untuk melakukan sebuah perjalanan, mencatat kebudayaan Orang lain. Semangat untuk melakukan perjalanan, mencatat, dan bertemu Orang lain, berkisah melalui tulisan.
 
Lalu siapa Orang lain ini? Ya kami merekam kisah-kisah orang biasa, mencoba  menceritakan budayanya, kehidupannya, merajutnya dalam sebuah tulisan adalah hal yang menantang untuk kami coba.

Sebisa mungkin kami menulis perjalanan ini dengan sebuah gaya feature, kisah bertutur. Kerja kami memang mirip kerja seorang wartawan. Kami saling mengisi dan saling berbagi pengetahuan, “tidak ada guru disini” berbekal setumpuk tulisan-tulisan jurnalisme sastrawi yang meski kami baca. Berdiskusi mengenai metode pengamatan, sampai membut riset-riset kecil-kecilan, membuat kami juga seperti mengkopi kerja ilmuwan sosial. Membuat kami menyebutnya sebagai wartawan-wartawanan cum ilmuwan. Pun kami percaya menulis adalah sebuah kerja yang ditunjukan oleh wartawan maupun ilmuwan. 

Oleh karena itu kerja kami, hanya kerja sebagai traveler biasa yang pada dasarnya hanya ingin mengobrol dengan isi nurani yang kami temui dan bermesraan dengan pengetahuan dan kebudayaannya lalu berbagi cerita dengan menuliskan kisahnya. 

Tidak memakai analisis sosial dan metode penelitian yang rumit. Cukup berbekal mengobrol, mencatat, merekam percakapan berupa kegelisahan, kegembiraan Orang lain yang kami temui tersebut. Kami hanya berbekal angle tulisan yang dirumuskan saat diskusi di kampus sebelum pemberangkatan.

Bahkan kami ribut sampai memutar otak, beradu ide saat diskusi membahas angle tulisan menjadi hal yang lucu. Sebab bisa saja angle berbelok, tetapi tidak membuat kami pusing kepalang. Atau pun lontaran ide tulisan kami yang diyakini saat diskusi kecil-kecilan sebelum melakukan perjalanan, menjadi hal yang lebih menantang dan menyenangkan saat dijalani. 

Kami juga  tidak dikejar deadline yang ketat. Ini sebuah tantangan saat kegiatan menulis dipandang sebagai saling berbagi pengalaman. Menulis untuk siap tidak dibayar!

Kami tidak akan menyangka akan berdesak-desakan, di bus Widia jurusan Cikarang-Majalengka untuk sampai ke sana. Kami tidak akan menyangka kami harus bangun sebelum ayam, atau kami memang harus tidur ayam untuk dapat melihat pasar subuh boboko di alun-alaun Trajaya. 

Menarik, ada yang menceritakan kisah uniknya dengan terpingkal-pingkal saat seharian hanya sekedar mengejar angkot, apalagi penumpangnya hanya tumpukan-tumpukan bambu! Seharian mengobrol bersama ibu-ibu, para pengrajin boboko dan diajak untuk membuat kerajinan boboko. Itulah sebuah cerita yang dirasakan penulis sebagai penyambung lidah kisahnya, lalu menulis dialognya di teks-teks buku ini. 

Dialog dengan mereka seperti berkisah pada kehidupan yang sederhana. Mereka yang di desa selalu menjadi oase, terus merajut kehidupan, menganyam boboko, menali proses yang panjang, mengingatkan kita tentang kehidupan ini membutuhkan proses untuk dirajut dan seterusnya memangil-manggil untuk dimaknai.

Melakukan perjalanan ke Desa Trajaya adalah kesempatan langka bagi kami para mahasiswi-a yang selalu ditumpuki tugas kuliah. Merekam kegiatan anyam-menganyam, berbaur dan berbagi cerita, segalanya kembali pada kata kehidupan itu sendiri yang mengajak untuk dimaknai. Kegiatan ini lebih mendebar-debarkan ditengah mengerjakan tumpukan tugas kuliah.

Kami percaya dengan berbagi tulisan atau foto saja adalah sebuah harapan untuk berbagi kehidupan, berbagi kehadiran, begitu pula berbagi visual culture yang selalu memangil untuk berdialog. Oleh karena itu kami tidak hanya menyiapkan tulisan. Ada beberapa foto serta komik strip yang menghiasi di teks tulisan, yang dapat dilihat dan dimaknai secara budaya keberadaan orang-orangnya, pekerjaanya, ataupun hasil kerajinan tangannya. Kami percaya melalui perjalanan, berkisah tentang Orang lain adalah jalan kebudayaan.

Bukankah kerja kebudayaan ini sebuah usaha berjuang dan membangun tegur-sapa kebudayaan yang indah.Jika kebudayaan dipandang sebagai buah budi atau ciptaan manusia, maka akan bersifat luhur dan indah. Itulah buah dari kebudayaan. 

“Budi manusia itu aktif, tidak tinggal diam, tiap-tiap buah adalah hasil usaha atau akibat sesuatu proses,” tulis Ki Hadjar Dewantara memantapkan kredo kami.

Mungkin disaat itu pulalah keinginan kami melalui catatan dan foto ini ada yang akan mengingat dan memaknai sesuatu proses kebudayaanya, kampungnya, desanya, orang-orangnya. Dari situlah kami pun ingin dengan adanya buku ini bisa sejenak dinikmati untuk merefleksinya dengan perjalanan kalian sendiri.

Cara terbaik membaca sebuah kisah perjalanan adalah seperti Tony Whitten ungkapan saat membaca perjalanan Wallace, ialah alih-alih ‘memanfaatkan fantasi bersama Wallace’.

Melalui tulisan-tulisan yang ada di buku ini semoga pembaca menikmati adegan demi adegan, kata-perkatanya seperti merasakan perjalanan bersama kami dengan memfantasikan dialognya seperti bersama penulis.

 Akhirnya kami percaya, bahwa berkisah mengenai perjalanan, bertemu dengan orang lain ada celah-celah kebudayaan yang bisa dimaknai untuk merasakan keindonesiaan. Sebuah usaha untuk mencatat kebudayaan Indonesia.

Dengan bait lagu Tanah Airku, semoga menambah getar-getar keindonesiaan bagi siapa saja yang mengingat kehidupannya, prosesnya, kampungnya, desanya. Memaknai melalui perjalanan kisah kita sendiri. Menceritakannya, terus mendialogkannya.

“Tanah Airku tidak kulupakan, kan terkenang selama hidupku, biarpun saya pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu, tanahku yang ku cintai, engkau ku hargai. Walaupun banyak negeri kujalani, yang masyhur permai dikata orang, tetapi kampung dan rumahku, disanalah kumerasa senang, tanahku tak kulupakan, engkau ku banggakan”.

*Tulisan ini ada di buku "Menali Kehidupan Meraut Kesabaran"

Posted on Kamis, Agustus 28, 2014 by Rianto

No comments

Senin, 04 Agustus 2014


Bus Rukun Jaya melaju dengan pelan dari Rawamangun menuju Solo. Kami sengaja dari Jakarta mengunjungi Solo untuk mengikuti Sinau Buku di Bilik Literasi Solo. Sinau Buku berlangsung 16-18 Mei 2014. Sinau buku ini digawangi oleh esais kondang Bandung Mawardi. Rumah sederhana  Bandung Mawardi disulap menjadi ruang pameran buku. Buku-buku lawas itu digantung menghias di ruang utama rumahnya. Buku-buku lawas itu memuat warisan perjalanan sejarah pendidikan Indonesia. Melalui buku Bandung Mawardi mengajak kami untuk merawat ingatan tentang sejarah pendidikan  Indonesia.

Lebih dari 150 buku lawas tentang pendidikan dipamerkan di rumah Bandung Mawardi. Buku lawas itu terdiri dari buku terbitan 1920-1980-an. Lawas, namun merawat pikiran untuk eling sejarah pendidikan. Sinau buku dihadiri oleh mahasiswa, peminat kajian pendidikan, dan dosen. Bandung Mawardi pun memberikan selebaran menarik Ora Weruh. Buletin Ora Weruh berjudul Ngopeni ini merupakan buletin khusus berisi esai tentang buku-buku lawas pendidikan.   

Hamzah mahasiswa pendidikan Bahasa Inggris UNJ mengatakan kaget dengan buku-buku yang dipamerkan oleh Bandung Mawardi. Buku-buku lawas yang menghampiri matanya itu tak pernah dilihatnya bahkan sulit ditemui di perpustakaan LPTK. Yunan mahasiswa hukum di Universitas Semarang pun demikian. Ia kagum melihat koleksi buku-buku pendidikan yang dipamerkan oleh saudagar buku Bandung Mawardi.

Jalan Literasi

Sinau buku dimulai dengan orasi pendidikan yang dilontarkan oleh Fauzi Sukri. Esais peminat kajian pendidikan dari Bilik Literasi Solo ini memaparkan dan menata ingatan tentang sejarah buku-buku penting pendidikan yang pernah menghias Indonesia. Fauzi Sukri mengingatkan tentang buku lawas macam Mendidik dari Zaman ke Zaman  (1953) karangan Muhammad Said merupakan buku pendidikan yang penting. Pun roman Manusia Bebas (1975) karangan Suwarsih Djojopuspito yang sudah dilupakan. Setyaningsih santri Bilik Literasi Solo mengungkapkan buku lawas The Liang Gie berjudul Cara belajar yang Efisien menjadi buku pengingat mahasiswa tentang makna belajar. Buku manjur khusus mahasiswa ini menjadi ingatan sejarah tentang buku penting panduan menjadi mahasiswa pembelajar. 


Priyadi santri dari Bilik Literasi Solo  pun memaparkan orasi pendidikan menarik dengan mengajak menelusuri sejarah pendidikan Indonesia melalui buku sastra. Priyadi mengungkapkan dengan apik buku-buku sastra yang merekam kisah pendidikan Indonesia. Misalnya buku-buku Ashadi Siregar, cintaku di kampus biru. Begitupula buku lawas Para Priyayi karangan Umar Kayam dan Student Hidjo karangan Mas Marcokartodirdjo. Menurut Priyadi, buku-buku sastra seperti itu patut dibedah. Karena buku sastra seperti itu mempunyai cerita sejarah berlatar kisah pendidikan.

Sinau buku pun membedah buku terbaru dari Bandung Mawardi yakni Pendidikan: Tokoh, Makna Peristiwa. Buku yang diterbitkan oleh jagat ABJAD ini merupakan kumpulan esai Bandung Mawardi tentang pendidikan yang pernah nangkring di koran-koran macam Tempo, Jawa Pos, Koran Seputar Indonesia, Suara Merdeka. Solopos, Joglosemar. Tulisan-tulisan Bandung menyoroti pendidikan Indonesia dari hal yang sepele. Contohnya tulisannya yang berjudul Bias Iklan Universitas menjadi renungan refleksi bagi kita untuk menyadari bahaya iklan-iklan pendidikan yang marak untuk memikat  perhatian publik dan mahasiswa. Tulisan-tulisanya pun banyak memuat tokoh-tokoh biasa macam Pak Kasur.

            Budiawan alumnus PBSID FKIP UMS mengatakan tulisan-tulisan Bandung Mawardi menjadi refleksi bagi dirinya dan kita semua yang bergelut di bidang pendidikan. Rahmah, dosen Bahasa Indonesia UNJ mengatakan Bandung Mawardi ulet menelusuri pustaka dan pilihan kata dalam tulisan-tulisannya.“Ini menunjukan pertanggungjawaban intelektual  Bandung Mawardi melalui karya buku,” kata Rahma.


            Sinau buku berupa pameran buku pendidikan, orasi pendidikan, dan bedah buku di Bilik Literasi Solo ini membawa serpihan ingatan-ingatan sejarah pendidikan. Ini menjadi usaha memaknai pendidikan dari sejarah yang dikontekstualkan dengan pendidikan hari ini. Tentunya usaha ini merawat ingatan akan jejak-jejak pendidikan Indonesia melalui jalan literasi.




Posted on Senin, Agustus 04, 2014 by Rianto

No comments

Selasa, 27 Mei 2014


Senin 17 Maret 2014 di Lobby Gedung Sertifikasi Guru Universitas Negeri Jakarta (UNJ) diadakan peluncuran buku yang ditulis oleh mahasiswa-mahasiswi UNJ.  Peluncuran buku ini digawangi oleh para mahasiswa yang tergabung dalam Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM) UNJ. Peluncuran enam buku ini diterbitkan oleh Pustaka Kaji. Penerbit independen yang diusahakan pula oleh LKM UNJ. Peluncuran buku ini dihadiri hampir 40 orang terdiri dari mahasiswa dan dosen.

Peluncuran buku diawali dengan kuliah umum tentang “Manusia dan Modernitas” oleh budayawan Romo Mudji Sutrisno serta Irsyad Ridho selaku dosen pembimbing LKM sebagai pembicara. Dalam Kuliah Umum, Romo Mudji mengingatkan mahasiswa tentang kegiatan menulis sebagai jalan kebudayaan. ”Dengan menulis buku,” kata Romo “ mahasiswa bisa disejajarkan dengan pendiri bangsa ini”.

Para pendiri bangsa menuangkan perjuangannya melalui menulis, menyebarkan gagasan dan ide melalui buku-buku. Iryad Ridho pun menilai, buku-buku lembaga kajian yang dituliskan oleh mahasiswa yang tergabung LKM UNJ ini menjadi narasi melankolis tentang modernitas kota dan desa. “Mereka menulis tentang kehidupan kota dan desa, yang bisa dilihat ketimpangannya,” katanya.

Romo Mudji sangat mengapresiasi acara peluncuran buku ini. Romo Mudji merupakan budayawan yang memberikan kata pengantar di salah satu buku yang diterbitkan yakni buku “Menali Kehidupan, Meraut Kesabaran”. Buku ini berkisah tentang catatan perjalanan mahasiswa UNJ merekam budaya menganyam boboko (bakul) di Desa Trajaya, Kabupaten Majalengka. Menurut Romo, dengan masuk ke jantung kehidupan masyarakat pengrajin itu tulisan-tulisan mereka telah memenuhi kelangkaan  narasi inspiratif pendidikan, merenungi kemiskinan kultural dan struktural.

Hamzah Ali  menjadi editor sekaligus mentor menulis utama. Hamzah Ali pun menulis kata pengantar di buku “Landmark Jakarta” dan  “Endemik Modernitas”. Kedua buku ini mengulik tentang Jakarta. Dalam diskusi peluncuran buku Hamzah mengatakan, tulisan-tulisan di buku Landmark Jakarta tidak hanya berbicara tentang landmark Jakarta seperti Monas, Gelora Bung Karno, tetapi juga berbicara relasi ruang publik. Pun demikian di buku Endemik Modernitas yang banyak berkisah mengenai pembangunan-pembangunan Jakarta seperti Busway dan Waterway.  

Sedangkan dibuku “Hikayat Kampung Jakarta”, Putu Setia memberikan testimoni.  Menurutnya buku ini jadi pernak-pernik betawi yang ringan. Mereka menulis tentang hiruk pikuk kehidupan gang-gang di Jakarta. Contohnya tulisan Tina Rosiana mahasiswa Pendidikan Kesejahteraan Keluarga UNJ 2011 mengulik kehidupan di Gang Kapitan Rt 16/Rw 04 Klender Jakarta Timur. Tina menulis kehidupan para tukang nasi goreng yang tinggal di gang tersebut. Menurutnya saat reportase kesana Tina menemukan lautan gerobak nasi goreng yang diparkir di gang-gang dekat mereka tinggal.
 
Begitupuladi  buku “Masyarakat Desa” di mana mahasiswa merekam, menulis kehidupan di desa Cikopak, Sukabumi. Buku  ini ditulis saat mereka melakukan bakti sosial di desa Cikopak. Mereka tidak hanya membantu mengecat sekolah dan memberikan sumbangan buku-buku. Mereka pun menulis kehidupan hening desa Cikopak melalui buku ini. Lalu, satu buku lagi yakni “Manusia Kampus” menjadi narasi lucu dan inspiratif  mengenai pernak-pernik kehidupan kampus UNJ yang berisi tentang komunitas-komunitas serta kegiatan mahasiswa UNJ.

Rara mahasiswa jurusan seni musik  UNJ 2010 mengatakan, kagum dengan mahasiswa yang tergabung Lembaga Kajian Mahasiswa yang sudah  mampu menerbitkan buku sebelum lulus kuliah. Tentunya ini sebuah prestasi yang membanggakan dan menggugah mahasiswa lain untuk menulis. 

Peluncuran enam buku yang dilakukan oleh mahasiswa UNJ menjadi oase karya ditengah genitnya mahasiswa dicap sebagai generasi yang hanya bisa berdemo. Menulis buku menjadi jalan kebudayaan merenung sunyi gagasan mahasiswa berupa kata-kata yang tertulis dalam buku. Dengan menulis buku menjadi sumbangan besar dalam menghidupi kembali lilin  literasi kampus yang kian memudar. Di akhir acara, ada pemotongan tumpeng menjadi perayaan sekaligus do’a agar  LKM UNJ terus berkarya. Bravo buat LKM UNJ!

Tulisan non edit. Pernah maasuk di rubrik kompaskampus (22/4/2014) 



Posted on Selasa, Mei 27, 2014 by Rianto

No comments

Senin, 03 Maret 2014




Bekasi menjadi duka bagi pejalan kaki. Seperti keong jang merangkak pelan-pelan tak pernah berlari kami melintas lampu-lampu kota menuju Stasiun Bekasi. Komuter, gerak kalian begitu cepat. Adegan larimu kenapa begitu terburu? Aku jarang merasakan seperti orang-orang jang beradu cepat mendapat tiket kereta seperti kalian. 

Ah sial.. Aku salah mengantri. Aku tidak mengerti betul tentang naik kereta. Biarlah lama mengantri, asalkan aku kembali menginjak di tanah Jakarta.  Jakarta aku begitu kembali rindu dengannja.  Padahal, jika  sudah dikereta tidak perlu limabelas menit aku sudah dapat memelukmu lagi. Sajang, aku betul-betul rindu padamu. 

Menungu, Jakarta membuat aku terus menunggu. Di peron itu penuh orang-orang jang bermuka lesu. Oh tidak, sebegitu sendukah. Aku jadi teringat ibu jang mengendong anaknja menghampiriku. Ia tidak mau mengantri, karena mengendong anaknja itu.  

Dengan wajah sendu dan capek, si Ibu menghampiriku dan berkata, “Mas, aku bisa menitip tiket?” 

Aku pun menjawab, “Oh ja bisa, “ kataku, “Ibu disampingku sadja,” jawabku lagi.

 Mungkin orang-orang sekitar ada jang kesal atau ada juga jang memaklumi kalau si ibu itu mengantri didekatku. Boam deh, itu keputusanku.

Ketika aku tanja, ternjata si ibu pulang ke Bogor. Menaiki comuter line malam ini, ia pun selalu melihat jam tangannja jang berwarna perak itu dan berkata, “Biasanja sampai jam sebelas malam mas baru di Bogor”. Si ibu mengatakan itu dengan sendu. Ternjata si ibu hanja melintas Jakarta. Sedangkan aku akan dikeloni Jakarta malam ini. Kepelukan hangatan kota itu.

Semakin malam, orang-orang begitu semakin tampak sendu. Ada juga jang bergembira, ketika suara dari speaker mengatakan kereta baru tiba Jatinegara. Aku belum bisa menghitung lama atau tidaknja. Di peron itu wajah-wajah orang-orang jang begitu capek dan lelah sehabis menghadapi ganasnja kota menjadi kartu as untuk membaca wajah kota. 

Orang-orang  itu begitu lucu. Mengapa mereka tidak ada jang membawa tombak, pistol, ataupun granat untuk melawan monster jang bernama kota? Oh aku baru mengerti wajah ketakutan kota bisa diredam dengan telepon genggam. Aku jadi berterimakasih bagi penemu telepon genggam, kamu menyelamatkan wajah-wajah sendu itu. Penjelamat dari ketakutan akan kota.

Aku hanja bisa membuka buku dan  mencari pelampiasan kata. As Laksana mendongengiku. Bukunja “Murjangkung cinta yang dungu dan  hantu-hantu” menjadi kekasih kata. Ciuman kata-kata dan tutur kalimat dongeng AS laksana membiusku dalam lamunan kegelisahanku akan wajah kota.  Ia mengajariku tentang “Teknik Mendapatkan Cinta Sejati”.  Kalimat pertamanja menggugahku,

“Jika harus membenci orang yang sangat kau cintai apa yang kau lakukan?” 

Aku pun menutup buku itu. Kereta berjalan dengan begitu santai. Aku pernah membenci kota. Dan berkali-kali aku jatuh cinta kembali padanja.

Mungkin aku menjawabnja seperti ini

Untungnya kereta tidak penuh. Orang-orang bisa menghibur dirinja. Mengobrol, merapikan barang, memomong anaknya, bermain telepon genggam,. Ada juga jang tidur ayam melepas lelah. Dan aku menjadi mata jang tak tidur memperhatikan mereka dan suara-suara dari entah mana asalnja memberitahukan telingaku, “Stasiun Cakung,” begitu teriaknja. Aku mengajak temanku untuk turun di Stasiun Buaran berharap metromini 47 masih ada.

Kami turun dari kereta.

Sajangku, aku sebetulnja agak lelah. Kenapa engkau tak menjemputku dengan metromini itu. Kali ini engkau membuat aku harus menunggu kendaraan mana lagi jang bisa mengantarku ke kampus. Sajang, aku tidak mau naik taksi,  ja aku berhitung mungkin ada jang lebih murah. Ah, aku membacamu secara ekonomi lagi. 

Kamu tahu, kami coba menaiki bajaj. Tapi harga tidak sesuai dan tak ada kata sepakat. Urung niat kami naik bajaj. Berharap transjakarta datang menjemput kami. Kami pun jalan menuju shelter terdekat. Kucing meraung-raung di sekitar pohon bambu menjadi lonceng. Tanda ada pejalan kaki memasuki sarangnja. Aku mengusik.

Kota selalu menjadi keajaiban dan keberuntungan. Angkot merah 25 menjemputku sajang. Engkau begitu baik. Sekali lagi aku bersjukur, mungkin engkau sengaja membawakannja bagiku sebagai kejutan. Angkot merah menjadi ruang kota tersempit saat tubuhku memasukinja. Kami berpadat-padatan dengan penumpang lain. Kepadatan ada di angkot juga. 

Jakarta begitu angkuh. Malam-malam seperti ini engkau menutup diri. Di ruang kecil angkot itu kami juga dihampiri pengamen kecil menjanji pop. Gila pikirku, diam-diam engkau menghadirkan pemusik cilik itu untuk menghibur wajah-wajah sendu di angkot itu. Tak ada dialog diangkot. Mal tutup. Ada pedagang pasar malam jang masih melek menjual baju-bajunja.

Jakarta, engkau bersolek diri sebenarnya untuk siapa? Gedung-gedungmu tidak pernah menghiburku. Barangkali aku hanja benci dengan keramaian. Makanja jarang sekali aku keluar rumah. Muncul pertanjaan dariku. Bagiku Rendra  juga pernah bertanja dan berkata,”Membangun untuk apa...?” Majalah Basis Djanuari 1971 dengan cover jang  memampang foto Rendra muda itu menjadi sarapan kataku di hari ini. 

Kota tidak pernah membiarkan orang-orang berlari untuk finish. Kecepatan kendaraan begitu cerewet memanjakan orang-orang untuk beradu lari. Tetap saja kota sudah bosan dengan kecepatan orang-orang dengan keangkuhan  slogan pembangunanja. Tetap sadja orang-orang itu  lambat, pelan, mengalun rendah. 

Kota selalu menuntut kita merubah kecepatan. Justru saat kita mencoba merubah kecepatan sebetulnja kita semakin melambat dan semakin lambat.  Rudolf Blum (1971)  dalam tulisannja Pengertian Mengenai perubahan Sosio Kultural menghentak dengan uraian problem kelambatan budaya.
“Rupanja problim manusia jang sesungguhnja,” katanja,  “Ialah soal menjesuaikan pola-pola pikiran dan kelakuannja dengan taraf tertentu dalam perkembangan tehnik.”

Manusia selalu bermimpi menjadi jang super cepat. Padahal pikiran-pikiran manusia selalu terlambat. Kota sudah berlari sekian mil. Tapi dengan pikiran kita berfikir angkuh, begitu tak tertundukan.. Kita terus mengejar angan-angan dengan pembangunan. Manusia mesti berfikir alternatip. Orang-orang jarang jang beradu cepat memaknai kota dengan pikiran alternatip. 

Kita mesti urakan. Persis jang Rendra katakan sebagai alternatip kaum  urakan sebagai perlawanan budaya kota jang memuja kecepatan itu. Kita mesti menjadi urakan untuk melawan keangkuhan kota.  Karena kota selalu mencengkeram untuk mengamini kebudayaan mapan sebagai simbol membaca kota jang ideal. Menjadi urakan berarti kita, “membangun moral baru atas dasar keinsjafan baru. Dan itupun tidak terlepas dari tradisi, melainkan sesuai dengan tradisi jang sednag berkembang, dan dengan mata terbuka.”

Larik do’a menjadi orang kota adalah menjadi jang mapan. Akhirnja Kita menjadi individu jang  tidak boleh berdialog dengan kota. Dengan sesama kita mesti harus cepat berlari dan terkadang saling menjegal. Kota tidak mengharapkan keong-keong. Lemah dan lambat.

Terminal Rawamangun menjadi pemberhentian angkot kami.


Wajah kota masih sadja sepi. Kami berjalan menuju kampus. Aku bersyukur,  masih mempunjai kaki untuk dikendarai. Para pekerja bersih-bersih mobil masih beraktivitas.Televisi dan sepakbola menjadi hiburan mereka. aku melihat wajah-wajah kota begitu terhibur dengan televisi.  Dan lampu-lampu dari tukang nasi goreng mengingatkan kami untuk makan. Perutku seperti ada monster. Kota melanggengkan monster-monster itu terus mengintai siapa saja. Di kegelapan sekalipun.

Posted on Senin, Maret 03, 2014 by Rianto

No comments

Sabtu, 01 Maret 2014

Jakarta, aku ingin membenci kamu sayang. Siang tadi tubuhku mengajak aku malas, tidur-tiduran. Akibat malam bergadang dan main futsal. Dirimu tak mengerti aku sayang. Kemacetan kau hadiahkan kepadaku. Begitu pula asap-asap dari motor membuatku benci menciummu. Aduh, begitu kejam dirimu padaku, sayang. Jadinya, Aku dan Lutfy mesti merangkak menuju Sekolah Kanisius. Kejam sekali orang-orang bermain orkestra klakson semanunya.

Paket buletin sastra Stomata ada di tas. Kami ingin mengatarnya ke Romo Mudji. Siang itu, aku mengirim pesan pendek ke Romo, “Salam Romo, aku menulis tentang sketsa berwarna Romo di buletin sastra Stomata, kampus UNJ. Aku ingin memberikan buletin itu untuk Romo. Terimakasih.”

Telepon genggamku bergetar.

Cepat romo membalas , “Dengan senang hati, terimakasih, terimakasih banyak. Kalau saya sedang di luar rumah titipkan ke satpam gardu SMU Kanisius Jalan Menteng Raya 64 Jakarta Pusat tetangganya PP Muhammadiyah,” begitu balasnya.

Romo Mudji sering aku disapanya lewat tulisan. Saat mataku masih pusing, badan terasa pegal-pegal. Kadang-kadang loper koran membangunkanku dengan lemparan korannya di ruang tiga kosong lima itu. Saat itulah, lembar demi lembar bau koran itu masuk ke hidungku. Kata-kata begitu liar berdesak-desakan terkadang tidak mau mengantri masuk ke otakku. Terkadang, aku menemukan tulisan Romo muncul menjadi oase di tengah berita yang penuh dengan politik, politik, politik.  Membuat kita tidak bisa tertawa.

Sekitar pukul tiga sore kami tiba di Kanisius. Kami menitipkan buletin Stomata berisi tulisanku mengenai sketsa berwarna itu. Wah, aku terkadang malu memberikan tulisanku yang tak bagus itu. Aku hanya terkadang berfikir, menyapa dengan tulisan adalah bentuk apresiasi seni yang aku sukai. Disitu aku bisa bergelimang kata dan berenang makna. Melalui menulis, terkadang KATA begitu genit. Aku dicumbunya, diciumnya, kadang-kadang ia selalu mengajaku bermain, pergi ke mana saja ia selalu mengatakan, “Ya aku mau menemui dan menemanimu”.

Tulisanku di buletin itu berjudul, “Sketsa Berwarna Yang Menjelma Kata Mengundang Sapa,”. Aku jadi teringat kembali dengan Solo. Karena di tengah suara azan subuh dan cerewetnya kereta-kereta aku menyelesaikan tulisan itu di Stasiun Solo Jebres. Oh, Solo aku rindu padamu.

Tadi siang, sebelum mengirim buletin itu ke Kanisius. Aku membuat surat kecil untuk romo. Surat kecil itu berisi aku mengapresiasi sktesa romo melalui tulisan. Sebab mesti tidak bertatap muka, terkadang manusia itu selalu bersapa kata. Esok, atau lusa kita bakal berkisah mengenai kata dan buku lagi. Aku jadi teringat saat mengobrol dengan Romo dua tahun lalu ada bekal kata dan buku :Wajah-Wajah Kebudayaan menjadi oleh-oleh paling bermakna dari Romo. Aku pun diajak waktu itu ke Galeri Nasional untuk membaca seni secara kajian budaya. Asyik. Dan  ini bukan kuliah loh!

Jakarta begitu aku memaknainya, mempertemukanku dengan orang-orang hebat. Aku mau bilang, sekejam-kejamnya dirimu padaku, kau selalu menghiburku dengan hal-hal kecil. Tadi sore sehabis dari Kanisius kami sempatkan mampir di Stasiun Manggarai.  Ada lapak kecil penjual buku. Aku begitu terayu oleh majalah bobo, buku-buku katalog lukisan dan satu buku tentang kritik karangan  Terry Eagleton. Ternyata dibalik kejamnya kamu, kadang-kadang tanpa sepengetahuanku kau menyelipkan kado yang mesti aku gali di sudut-sudut hatimu. Aku bersyukur.

Sehabis maghrib, aku mesti meninggalkan sejenak Jakarta dengan Metromini 47 Senen-Pondok Kopi. Aku dan temanku, Handi, menumpang duduk di mobil itu. Pukul setengah delapan lebih, arsitektur kota Jakarta begitu membosankan. Gemerlap lampu-lampu yang begitu sombong, begitu angkuh menyerang mataku (menarik untuk membeli!) ditengah mengantuknya aku.

Akhirnya aku berfikir sayang, mesti aku membencimu dengan sentuhan kemacetanmu, asap-asap motor. Aku begitu diam-diam, menyimpan perasaan jatuh cinta padamu. Saat lama-lama aku menjauh dari Jakarta. Aku Jatuh cinta pada buku-bukumu. Jatuh cinta pada ruang-ruang memori saat aku melintas jalan-jalanmu. Jatuh cinta pada memori saataku pernah tidur-tiduran di tanah dan stasiun-stasiunmu. Aduhai, aku ditemani Mia Bustam di buku Sudjojono dan Aku di tengah aku tersipu-sipu malu dan sedih meninggalkan Jakarta menuju Stasiun Bekasi.

Telepon genggamku bergetar lagi.

Romo Mudji menulis, “Rian terimakasih banyak. Tulisan lengkap meramu sketser dan sketsa-sketsa serta proses pendidikan guru kebudayaan,” belum sempat aku membalas, Romo mengirim pesan kembali: “Rian makin saya baca bahasa tulisanmu indah dan dalam. Teruslah nulis Rian,” begitu balasnya.

Duh, hati dan pikiranku jadi bergetar. Romo memuji tulisanku. Entah mengapa, aku hanya teringat akan teman-temanku. Aku teringat Larissa Huda yang telah melayout buletin itu. Aku teringat Hamzah Muhammad, Irsyad, Ridwan dan para awak buletin Stomata lainnya yang mau mampir dan mengembara melalui kata dan tulisanku. Aku teringat dengan teman-teman di ruang tiga kosong lima yang begitu bergembira menyatu, melipat, kertas-kertas buletin itu.  Aku begitu.. 

Ah, aku makhluk picisan yang bermimpi menjadi penulis hebat. Tanpa mereka gerak kosmologis tubuhku, tanganku, kata-kataku, tidak mungkin bisa bermunculan dan menjadi kuas kata yang berwarna, indah kata-katanya. Malam mingguku selalu kelabu. Tetapi ada buku dan teman-teman hebat yang selalu mengeloniku dengan kata-kata. Di malam minggu sebelum naik angkot, aku mengucap dan  berdo'a : "Ibu aku ingin menjadi penulis". Begitu.


Posted on Sabtu, Maret 01, 2014 by Rianto

No comments

Senin, 24 Februari 2014




Hujan membasahi jalan Jakarta. Hujan menulis biografi harmoni kota ini dimanjakan juga oleh udara yang sejuk, yang adem. Mesti udara yang adem belum meredakan kepala yang pusing sehabis dari diskusi buku“Kekerasan Budaya Pasca 1965” karangan Wijaya Herlambang (Marjin Kiri,2013) mengenai penghancuran PKI melalui budaya. 

Untuk mengademkan pikiran, aku bersama Larissa Huda melangkah ke tempat sketsa Romo Mudji. Di pintu masuk pameran, mata dibasuh siraman sketsa berwarna Romo Mudji. Membuat mata kami segar mandi dengan stupa-stupa yang  mengundang imajinasi sebuah goresan perjalanan-perjalanan. 

Melihat sketsa Romo Mudji mengembalikan kita pada ritus purba nan hakiki. Manusia adalah makhluk religius. Rupa kita sebagai makhluk religius bisa ditelusuri melalui rupa arsitektur stupa-stupa, begitu kiranya. Dalam kuliah estetika ekstension course STF Dryarkara, Romo Mudji pernah mengatakan melalui perjalananlah sebuah ritus hayat-menghayati inti kehidupan itu dapat dimaknai. 

Sebab itulah, perjalanan adalah sebuah hirup makna. Hasilnya goresan sketsa Romo Mudji selalu penuh dengan makna perjalanan estetik berinti pada religiusitas itu sendiri. Maka dapat kita temui dialog inspirasi religius bertemu yang estetik rupa stupa-stupa. 

Kali ini berwarna, begitu kata Romo Mudji. Perjalanan-perjalanan penuh religiusitas bersama Seno Joko Suyanto di Kathmandu, Nepal memberi inspirasi warna pada sketsa-sketsanya.
“Jika kalian ke Kathmandu,” menurut Romo Mudji, “Inspirasi warna ritus suci merah, kuning, hijau yang tersiram di puncak-puncak stupa merupakan tanda ucap syukur atas hidup.”

Sketsa Romo  Mudji yang terbiasa dengan hitam putih kini menjelma warna menyibak rasa suasana religius. Warna dalam sketsa-sketsa ini persis dioleskan Romo Mudji sebagai tanda kita sebagai manusia yang merayakan yang hidup. Itulah sebuah perayaan hidup, meriahlah kita sebagai manusia yang merayakan wajah kehidupan itu sendiri.  

Dalam sketsa “Perayaan Kehidupan”, goresan warna-warna sketsa itu merupa stupa menjadi tegur sapa dari yang warna ke yang estetik, lalu menjelma menjadi yang religius. Menurutku, sketsa stupa-stupa itu bisa dikatakan sebagai bayang dari hidup yang dibalut dalam pengalaman dan perjalanan menjelma sketsa yang riuh, gaduh, senyap, lalu sunyi dari Romo Mudji mengingatkan pada kecintaannya terhadap Borobudur. 

Di sinilah aku disapa untuk  menyalami apa yang diucap Romo sebagai pemaknaan kembali dengan perjalanan itu sendiri. Stupa-stupa yang dikunjungi dan digoreskan oleh Romo merupakan pemaknaan kembali ritual hidup itu sendiri dalam mengenal kearsitekturan religius kita yakni simbol-simbol yang diwakili oleh Borobudur itu sendiri. 

“Kecintaan pada Borobudur” menurutnya,  “Telah membawaku tidak hanya upaya mengenalnya dalam perbandingan dengan candi-candi budhis di Ayuthaya Thailand dan Angkor Watt di Kamboja namun pula membuatku mengajar dan menulis mengenai Budhisme, bahkan ketika di Kamakura Jepang mendalami perkembangannya dalam Budhisme Zen setelah Budhisme dari India bergerak ke China lalu ke Jepang dalam perbandingan dengan yang di Asia Tenggara. Dari pandangan keluar tersembullah dorongan pandang ke dalam untuk menulis renung estetika religiusitas Borobudur.” 

Aku begitu terharu, atas pengalaman Romo Mudji dalam memaknai Borobudur. Kita sering melihat Borobudur sebagai situs mati. Tidak hidup. Romo Mudji mencoba menghidupkan Borobudur itu sebagai jalan religi. Jika hari ini kita melihat banyak anak-anak seragam lalu lalang  naik tangga lengkap dengan kameranya memotret diri dan Borobudur, ada pertanyaan polos yang mesti kita ajukan, apakah Borobudur itu hidup sebagai yang berbicara atau mati menumpuk di album-album dan instagram?

Borobudur mengajak dialog saudara-saudara. Romo Mudji mengatakan, “Ketika masih kanak”, begitu menurut Romo,  “Mendaki Borobudur adalah lomba cepat berlari ke atas lalu turun lagi”. Dalam lomba lari yang membuatnya abai itulah ia bersyukur ditemani oleh guru yang sudi berkisah mengenai candi dan perjalanan hidup Sidharta Gautama. 


Kita juga sering abai. Saat melakukan perjalanan-perjalanan seperti ke candi dan stupa.Kita sibuk dan asyik memotret diri dengan latar candai atau stupa. Bukan berjaan dengan hening dan tenang membaca kembali memori masa lalu melalui candi dan stupa.  Padahal disitulah rima religiusitas kita diasah kembali. 

Bukankah arsitektur berupa candi dan stupa itu bukan saja kita maknai sebagai ritus sejarah yang didalamnya bercerita kehebatan tentang raja-raja? Kita diajak menyelami kembali untuk merasakan jalan religisitas hening kita, melalui mereka yang membangun stupa dan candi itu untuk menyiram kembali kecintaan kita akan ritus negeri ini bagi siapa saja yang melihat, menyentuh, sekaligus memotretnya melalui sketsa maupun foto.



          Dalam sketsanya stupa-stupa rupa Romo Mudji mengatakan, “Warna kuning simbol yang membentuk bulat diatas stupa itu persis wajah religiusitas kita. Kadang besar, kadang kecil, bahkan redup sama sekali”

           Oleh karena itu perlulah kita guru-guru kebudayaaan yang mengenalkan kita tentang Borobudur yang hidup itu melalui cerita-cerita. Lalu guru kebudayaan seperti apa? Menurut Mudji Sutrisno dalam bukunya Ranah-Ranah Kebudayaan (Kanisius, 2009) ada sosok guru sejati yang mengajari keteladanan; pengorbanan satu kata dan perbuatan. Guru seperti ini mengajarkan bahwa hidup itu sebuah proses  jatuh bangun merajut, menenun ide dan membatik dengan tangan keringat dan kreativitas ide.

Seminari menegah Mertoyudan Magelang itulah Romo Mudji bertemu dengan guru kebudayaannya. Guru yang menurut Romo telah menyapa, guru yang mengajak mencintai dan mengenal Borobudur. Pijakan awal inilah yang menjadikan perjalanan untuk mengenal candi demi rasa ingin tahu memintal perjalanannya dari stupa ke stupa yang lain. 

“Inilah guru budaya yang mengajak dan menanamkan pada kami dalam tindak laku pepatah yang berbunyi: yang tidak mengenal akan tidak mampu menyayangi,”  begitu kata Romo.

Barangkali saja sketsa-sketsa romo Mudji ini telah mengundang kita juga untuk memaknai religiusitas dengan perjalanan kita sendiri. Dari sketsa berwarna itu telah menjelma kata yang menyapa kita untuk merayakan hidup.Selama kita merayakan hidup melalui religiusitas, manusia bukanlah makhluk picisan. Sapaan sketsa berwarna Romo Mudji ini seperti sudah menjelma puisi. Mungkin saja lebih dari itu. Mungkin saja….

Tulisan ini aku kirim ke buletin sastra STOMATA...


Posted on Senin, Februari 24, 2014 by Rianto

No comments