Jakarta, aku ingin membenci kamu sayang. Siang tadi tubuhku mengajak aku malas, tidur-tiduran. Akibat malam bergadang dan main futsal. Dirimu tak mengerti aku sayang. Kemacetan kau hadiahkan kepadaku. Begitu pula asap-asap dari motor membuatku benci menciummu. Aduh, begitu kejam dirimu padaku, sayang. Jadinya, Aku dan Lutfy mesti merangkak menuju Sekolah Kanisius. Kejam sekali orang-orang bermain orkestra klakson semanunya.

Paket buletin sastra Stomata ada di tas. Kami ingin mengatarnya ke Romo Mudji. Siang itu, aku mengirim pesan pendek ke Romo, “Salam Romo, aku menulis tentang sketsa berwarna Romo di buletin sastra Stomata, kampus UNJ. Aku ingin memberikan buletin itu untuk Romo. Terimakasih.”

Telepon genggamku bergetar.

Cepat romo membalas , “Dengan senang hati, terimakasih, terimakasih banyak. Kalau saya sedang di luar rumah titipkan ke satpam gardu SMU Kanisius Jalan Menteng Raya 64 Jakarta Pusat tetangganya PP Muhammadiyah,” begitu balasnya.

Romo Mudji sering aku disapanya lewat tulisan. Saat mataku masih pusing, badan terasa pegal-pegal. Kadang-kadang loper koran membangunkanku dengan lemparan korannya di ruang tiga kosong lima itu. Saat itulah, lembar demi lembar bau koran itu masuk ke hidungku. Kata-kata begitu liar berdesak-desakan terkadang tidak mau mengantri masuk ke otakku. Terkadang, aku menemukan tulisan Romo muncul menjadi oase di tengah berita yang penuh dengan politik, politik, politik.  Membuat kita tidak bisa tertawa.

Sekitar pukul tiga sore kami tiba di Kanisius. Kami menitipkan buletin Stomata berisi tulisanku mengenai sketsa berwarna itu. Wah, aku terkadang malu memberikan tulisanku yang tak bagus itu. Aku hanya terkadang berfikir, menyapa dengan tulisan adalah bentuk apresiasi seni yang aku sukai. Disitu aku bisa bergelimang kata dan berenang makna. Melalui menulis, terkadang KATA begitu genit. Aku dicumbunya, diciumnya, kadang-kadang ia selalu mengajaku bermain, pergi ke mana saja ia selalu mengatakan, “Ya aku mau menemui dan menemanimu”.

Tulisanku di buletin itu berjudul, “Sketsa Berwarna Yang Menjelma Kata Mengundang Sapa,”. Aku jadi teringat kembali dengan Solo. Karena di tengah suara azan subuh dan cerewetnya kereta-kereta aku menyelesaikan tulisan itu di Stasiun Solo Jebres. Oh, Solo aku rindu padamu.

Tadi siang, sebelum mengirim buletin itu ke Kanisius. Aku membuat surat kecil untuk romo. Surat kecil itu berisi aku mengapresiasi sktesa romo melalui tulisan. Sebab mesti tidak bertatap muka, terkadang manusia itu selalu bersapa kata. Esok, atau lusa kita bakal berkisah mengenai kata dan buku lagi. Aku jadi teringat saat mengobrol dengan Romo dua tahun lalu ada bekal kata dan buku :Wajah-Wajah Kebudayaan menjadi oleh-oleh paling bermakna dari Romo. Aku pun diajak waktu itu ke Galeri Nasional untuk membaca seni secara kajian budaya. Asyik. Dan  ini bukan kuliah loh!

Jakarta begitu aku memaknainya, mempertemukanku dengan orang-orang hebat. Aku mau bilang, sekejam-kejamnya dirimu padaku, kau selalu menghiburku dengan hal-hal kecil. Tadi sore sehabis dari Kanisius kami sempatkan mampir di Stasiun Manggarai.  Ada lapak kecil penjual buku. Aku begitu terayu oleh majalah bobo, buku-buku katalog lukisan dan satu buku tentang kritik karangan  Terry Eagleton. Ternyata dibalik kejamnya kamu, kadang-kadang tanpa sepengetahuanku kau menyelipkan kado yang mesti aku gali di sudut-sudut hatimu. Aku bersyukur.

Sehabis maghrib, aku mesti meninggalkan sejenak Jakarta dengan Metromini 47 Senen-Pondok Kopi. Aku dan temanku, Handi, menumpang duduk di mobil itu. Pukul setengah delapan lebih, arsitektur kota Jakarta begitu membosankan. Gemerlap lampu-lampu yang begitu sombong, begitu angkuh menyerang mataku (menarik untuk membeli!) ditengah mengantuknya aku.

Akhirnya aku berfikir sayang, mesti aku membencimu dengan sentuhan kemacetanmu, asap-asap motor. Aku begitu diam-diam, menyimpan perasaan jatuh cinta padamu. Saat lama-lama aku menjauh dari Jakarta. Aku Jatuh cinta pada buku-bukumu. Jatuh cinta pada ruang-ruang memori saat aku melintas jalan-jalanmu. Jatuh cinta pada memori saataku pernah tidur-tiduran di tanah dan stasiun-stasiunmu. Aduhai, aku ditemani Mia Bustam di buku Sudjojono dan Aku di tengah aku tersipu-sipu malu dan sedih meninggalkan Jakarta menuju Stasiun Bekasi.

Telepon genggamku bergetar lagi.

Romo Mudji menulis, “Rian terimakasih banyak. Tulisan lengkap meramu sketser dan sketsa-sketsa serta proses pendidikan guru kebudayaan,” belum sempat aku membalas, Romo mengirim pesan kembali: “Rian makin saya baca bahasa tulisanmu indah dan dalam. Teruslah nulis Rian,” begitu balasnya.

Duh, hati dan pikiranku jadi bergetar. Romo memuji tulisanku. Entah mengapa, aku hanya teringat akan teman-temanku. Aku teringat Larissa Huda yang telah melayout buletin itu. Aku teringat Hamzah Muhammad, Irsyad, Ridwan dan para awak buletin Stomata lainnya yang mau mampir dan mengembara melalui kata dan tulisanku. Aku teringat dengan teman-teman di ruang tiga kosong lima yang begitu bergembira menyatu, melipat, kertas-kertas buletin itu.  Aku begitu.. 

Ah, aku makhluk picisan yang bermimpi menjadi penulis hebat. Tanpa mereka gerak kosmologis tubuhku, tanganku, kata-kataku, tidak mungkin bisa bermunculan dan menjadi kuas kata yang berwarna, indah kata-katanya. Malam mingguku selalu kelabu. Tetapi ada buku dan teman-teman hebat yang selalu mengeloniku dengan kata-kata. Di malam minggu sebelum naik angkot, aku mengucap dan  berdo'a : "Ibu aku ingin menjadi penulis". Begitu.