Siang sehabis baca buku JK.Rowling The Casual Vacancy,
aku mencari hiburan bacaan ringan. Aku ingat ada bacaan anak-anak. Kisah
Smurf dan Hogatha. Yeah, ini dia kisah si biru-biru lucu. Niatnya beli ini buku
untuk dibacain saat kumpul-kumpul sama keponakan. Biar jadi abang yang baik.
Buku berjudul Smurf dan Hogatha
(1985) ini menjadi pertanyaan bagiku. Mengapa kisah-kisah cerita anak kita masih bertahan dan terkadang terus diimpor? Aku menduga pasti karena kita generasi televisi. Televisi membawa
imajinasi baru bagi kita untuk mengenal kisah-kisah lucu dari kartun. Imajiku sendiri
dibesarkan oleh televisi. Imaji kartun yang masuk macam dragon ball, Shinchan,
dan kawan-kawanya itu masuk dalam kepalaku. Minta untuk disantap terus menerus.
Apalagi hari minggu. Beuh,
bisa-bisa seharian di depan televisi. Aku selalu membayangkan orang tuaku selalu
mendongeng untukku ketika tidur lalu datanglah peri-peri pembawa kada dan tongkat
sihirnya segala pengabul permintaan. Aduh, korban televisi!
Aku lebih tertarik dengan
cerita-cerita anak berbentuk buku. Pas ngobrol sama Ami di pendopo IKK UNJ, aku
jadi cerita ngalor-ngidul bicara tentang imajinasi anak. Aku begitu tertarik dengan
orang-orang yang merelakan hidupnya untuk gandrung di dunia cerita anak.
Mohammad Sobary dalam salah satu esainya mengungkapkan menulis cerita anak
lebih susah dibanding menulis esai, cerpen dan lainnya. Ini berurusan dengan
imaji anak. Persis ini pun dialami oleh B.Sanie Kuncoro, ketika aku bertemu
dengannya ngobrol-ngobrol tetang proses kreatifnya. B.Sanie Kuncoro sempat kebingungan
saat menulis novel untuk remaja. Menyambung imaji anak dan remaja sulit loh
saudara-saudara!
Aku ingin mengkoleksi buku-buku
cerita anak. Dari situ aku ingin belajar imaji anak. Agar aku gak melulu sok
dewasa, sok hebat, apalagi sok bijak. Selalu menjadi bocah!
Di awal cerita buku ini, duh buatku
merinding kepingin mengulang-ngulang lagi dibaca. Apalagi kalau dibacain oleh
orang tercinta sebelum tidur. Asik.
“Nun jauh di sana, di tengah hutan
belantara terdapatlah sebuah perkampungan yang rumah-rumahnya berbentuk jamur. Di
sanalah tinggal makhluk Smurf…”
Kamu sebagai penghuni kota, adakah
tradisi membaca/mendongeng sebelum tidur? Aku yang tinggal di kampung tidak ada
tradisi seperti ini. Barangkali aku menebak, masa kecil kamu lebih banyak diisi
dengan LKS dan buku paket. Kita didongengi dengan ketakutan-ketakutan tidak
mengerjakan PR. Jadi kita lebih didongengi oleh pilihan ganda, pilihan ganda,
pilihan ganda. Kalau tidak ngerjain PR nanti gak naik kelas. Waduh!
Kisah-kisah malam yang menakutkan
menjadi agenda penting untuk membaca kisah anak. Malam menjadi waktu untuk berkata.
Malam dijadikan pembentuk imaji jahat. Di waktu malamlah imaji akan kengerian
bocah dibuat.
“Malam telah tiba, nun jauh di
sana, jauh dari pemukiman Smurf tampak menara istana tua membelah bulan yang
sedang bersinar terang keperak-perakan. Sebuah jendela di menara itu tetap
terang benderang; itulah tempat persembunyian si tukang tenung yang menakutkan
Hogatha”
Tetap saja takut-menakuti itu
mengandung unsur kelucuan. Sang Agatha sebagai penyihir membuat ramuan agar dia
menjadi Smurf. Kamu pasti menduga juga kisah-kisah dalam cerita anak banyak penjahat-penjahat.
Tapi penjahatnya pasti dibikin lucu-lucu.
Kejahatan dikalahkan dengan
kebaikan. Kejahatan maupun kebaikan dalam kisah anak kadang-kadang mengandung
unsur kelucuan. Entah itu dari penggambaran mimik dan bentuk tubuh si tokoh
jahat, ataupun dari tingkah kekonyolan-kekonyolan. Seperti niat Agatha
meledakan jembatan malah Agatha sendiri yang dikerjain,
Tiba-tiba ada suara yang
mengagetkan dibelakangnya
“Nih! Sebuah hadiah untukmu!” Smurf
badut yang memberikannya sebuah kotak dihiasi pita. Hogatha keheranan:
“Hadiah ini buat saya? Apa ini?”
tanyanya.
Dibukanya pita kado itu dan…
Blup! Bungkusan itu meledak
ditangannya..
Jadi gak sabar mendongeng ini untuk
kamu. Di malam-malam dingin aku ingin selalu berkata-kata. Saat kau terlelap. Ditengah
kecerewatan nyamuk, katak, jangkrik, aku bergumam dan bergelimang kisah
dihidupmu. Aku ingin kamu kembali tidur penuh mimpi-mimpi. Di saat itu aku berdoa: mimpi indah
itu saat kita terbangun wajah dan tubuh kita kembali polos dan suci.
0 komentar:
Posting Komentar