Senin, 23 September 2013

Sudah pasti kita mengenal sederet nama berikut: Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar, dan W.S Rendra; sebagai tokoh-tokoh besar dalam ranah kesusastraan kita. Sumbangan karya-karya mereka seharusnya ditempatkan pada ‘ruangan’ yang-semestinya, selain patut untuk sekedar diacungi jempol. Misalnya: pemberian ruang apresiasi dalam hal pengkritikan sastra. Yang bersifat secara umum, ataupun teoritis.

Upaya dalam pengarangan karya-karya oleh keempat penyair tersebut –yang berbentuk sajak– tentu memiliki sebuah “kondisi” dalam kelahirannya. Yakni bagaimana penyair menganggap dirinya di tengah lingkungan masyarakat dan buday
anya. Demikian keberadaan si sosok pengarang –yang-pribadi– ditampilkan: pada “kondisi” tersebut. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana memperlihatkan soal ”kondisi” sosok-yang-pribadi?

Inilah yang Subagio Sastrowardoyo (SS), coba untuk mengungkap penyosokan kepribadian mereka. Dalam buku serial kritik: Sosok Pribadi Dalam Sajak. Di antara ulasan-ulasannya, pernah termuat di majalah Budaya Jaya tahun 1973-1974 dan 1976. Perhatian SS terhadap empat penyair tersebut, semata-mata demi kelangsungan hayatnya. Tulisnya di pengantar buku:

“...Hanya karya sastra yang tak sanggup menarik perhatian atau yang telah terbenam di bawah debu sejarah, yang terhindar dari perlakuan penilaian...” (hlm. 8)
*
Pembahasan pertama dimulai dengan Chairil Anwar, bagaimana sosok kepenyairannya yang berorientasi pada kebudayaan sastra barat. Namun, SS takzim dengan rendah hati. Ia tulis di kalimat pembuka, “Ini bukan kecaman terhadap Chairil Anwar. Kurang keberanian dari saya untuk mengutik-utik kedudukan tokoh sastra yang kenamaan itu...” (hlm. 11)

SS menilai, pemikiran Chairil dalam menyajak bertolak dari kebudayaan yang Indonesia-Eropa, yang Pribumi-Asing, yang Timur-Barat. Sebab tak bisa dipungkiri lagi bahwa sejak kota di Indonesia –representasi dari tempat Chairil bersajak– terjajah pada zaman kolonial, ia merupakan perpaduan dua unsur budaya.

Perspektif SS tak berhenti pada “keadaan” dua budaya yang memungkinkan Chairil dapat bersajak. Secara tangkas dan penuh kejujuran, SS melihat ekspresi gerak batin dalam Chairil:
“Kematangan pengalaman bersajak penyair angkatan ’45 ini terbukti juga pada cara mengucapkan diri yang lebih padat dan langsung. Hal ini terutama kentara pada kenyataan makin hilangnya gejala perbandingan yang sekedar menjajarkan dua barang yang serupa, dengan mengucapkan yang lebih lazim dalam bentuk metafora, yang pada dasarnya menyatukan hakikat dua barang. Chairil Anwar tidak mengatakan “Aku ini seperti binatang jalang”, melainkan lebih langsung menghujam pada hakikatnya “Aku ini binatang jalang”. Dengan demikian, gaya ucapannya lebih kental.” (hlm. 38)
Di samping itu, yang-estetik dari logat Chairil, mengacu pada ke-alamsemesta-an. Gerak batinnya tersebut, terdorong oleh intuisi yang muncul dengan kehendaknya. Chairil pun bersajak dari peleburannya dengan alam semesta. Seakan ia menyatu dengan irama –alam semestanya.

Intuisi yang dengan alamiahnya muncul tersebut, akan mengalamatkan kepada Chairil; bahwa kapan ia bangkit sebagai penyair, dan kapan pula ia berakhir. Tulis di sajaknya yang dibuat pada tahun kematiannya (1949); “Yang Terampas dan Yang Luput”: ...tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.

Demikianlah Chairil, (dan teman se-angkatannya), dipengaruhi oleh budaya barat. Mereka humanisme yang universal –begitu kata SS. “Dengan meninggalkan sajak-sajak demikian pada akhir hidupnya, maka orientasi budaya Chairil yang hendak berpusat di benua Eropa telah pula berlalu beku.” (hlm. 55)

*

Sitor Situmorang. Pembahasan berlanjut untuk sastrawan ini. Menurut SS dalam esainya berjudul “Manusia Terasing di Balik Simbolisme Sitor”, sajak-sajak Sitor merepresentasikan bahwa ia adalah “manusia terasing”. Berangkat dari unsur eksistensialisme yang terlekat dalam karya-karyanya.

Dalam “Sajak Gadis Itali” misal. Pantun ini bersampir dengan “...arti dan bunyi katanya membayangkan latar belakang ketempatan dan latar belakang kejiwaan...” (hlm. 58). Yakni, suasana di teluk Napoli, Italia.

Akan tetapi, Sitor lebih mengiblat pada Perancis. Yakni ketika Sartre dan Camus bilang bahwa hidup adalah Absurd. Maka Sitor –dalam penokohan Basuki dalam Lakonnya, Jalan Mutiara– menyatakan kehilangannya terhadap kepercayaan dari, dan untuk Tuhan. Basuki menentang takdir dengan caranya bunuh diri. Kutip SS dalam lakon Jalan Mutiara:

“...jika kita sendiri tak berkuasa menolak kelahiran kita, mencegah adanya kita di dunia ini, kebebasan yang tersisa ialah mengakhirinya sendiri.” (hlm. 127)

Persoalan bunuh diri, setidaknya mengingatkan kita akan esai-esai Camus yang terhimpun dalam Le Myth de Sisyphe (Mitos Sisiphus) –yang bersoalan dengan bagaimana mengatasi Absurditas. Sepertinya, pengaruh Camus dalam penokohan Basuki-nya Sitor, menobatkan dan mempertegaskan dirinya bahwa Sitor adalah “manusia terasing”.
*
Kemudian SS membahas kepenyairan Toto Sudarto Bachtiar. Yang memperlihatkan bahwa penyair Toto berhati sabar. Yakni menerima nasib. Berangkat dari sajak “Malam Laut” yang bersuasana gagah: “...Karena laut tak pernah takluk, lautlah aku/ Karena laut tak pernah dusta, lautlah aku...”

Individualitas penyair, “...tidak berkeinginan hendak melawan serta mengubah keadaan, melainkan tinggal mencatat serta menerimanya,” –begitu SS bilang. Kesabaran Toto adalah sahaja, “...dari rangka kesadaran hidup dan dunia yang berseluk-seluk.” (hlm. 144)

Dalam situasi kesusastraan Indonesia ketika SS menulis Sosok Pribadi Dalam Sajak, sikap Toto yang sahaja telah membuatnya terpukau. Sebab ditulisnya, Toto sendiri telah merintis pencarian ilham sebagaimana ia membuka jalan perkembangan baru yang kemudian ditempuh penyair setelahnya. Semisal Ajip Rosidi, Rendra, Ramadhan K.H.
*
Sementara terakhir, Rendra terulas sebagai pribadi yang kekanak-kanakan, di balik lantang persajakannya. Demikian SS menulis dalam “Kerancuan Pribadi Rendra-Lorca”.

Banyak diurai SS, bahwa metafor-metafor yang ditempatkan Rendra dalam persajakannya, adalah dunia utopisnya.

Menurutnya, kesan yang ditujukan kepada sajak-sajak Rendra lebih banyak berperan khayal daripada angan-angan. Yang dimaksud di sini, perbedaan fancy dan imagination yang dianggap kritikus-kritikus di zaman Romantik Inggris, melihat “khayal” sebagai permainan angan-angan yang lebih ringan serta kurang sungguh-sungguh. SS menguatkan hal ini dengan mengutip apa yang dikatakan Coleridge berkenaan akan-hal-itu:

“...good sense is the body of poetics genius, fancy its drapery, motion its life, and imagination the soul that every where, and in each.” (hlm. 211)

Balada-balada Rendra yang terhimpun dalam kumpulan sajaknya yang pertama, “Ballada Orang-Orang Tercinta”, ditegaskan SS sebagai peniruan atas berbagai segi subyektif pada balada-balada Federico Garcia Lorca (1899-1936), penyair kenamaan Spanyol.

Citra Rendra terjatuh di sini, manakala SS secara cermat membandingkan karya keduanya. Tulisnya: “...Balada-balada Rendra membayangkan suasana perasaan yang sama. Rendra rupanya tidak pernah mengenal tragedi di dalam kehidupannya. Gerak jiwanya, yang tinggal pada permukaan hidup, menjaganya sehingga tidak terperosok ke dalam perasaan hidup yang murung dan sedih. Penglihatan hidupnya seperti yang ada pada anak yang tak bersalah, yang menikmati pesona dunia tanpa sadar akan bayangan-bayangan gelap yang mungkin merundung di belakang setiap pengalaman.” (hlm. 199)

Dengan penuh nada-nada satire, tulisannya (SS) ditutup, “...Rendra terlalu banyak berpulas dan berjingkrak-jingkrak di atas pentas sastra, di hadapan publik yang disangkanya terlalu dungu untuk bisa membedakan antara permukaan dan gerak-gerik yang sungguh-sungguh dan yang pura-pura.” (hlm. 212)

*
Meski demikian, Sosok Pribadi Dalam Sajak telah serta-merta berbicara yang-pribadi, yang-kritis. Pembaca patut menempatkan buku ini pada garda depan barisan literatur susastra kita. SS mencipta proses yang-kreatif: buah kritik menyoal “sosok pribadi” yang dalam sajak keempat tokoh sastra kita; yang barangkali belum pernah dipikirkan penyair se-generasinya.

Bagi pengamat sastra: yang pemula dan yang telah bergiat; pekerjaan rumah selanjutnya adalah: bagaimana kita terus menyikapi karya sastra. Dengan cara mengapresiasi. Penyair Subagio Sastrowardoyo telah membuktikan akan-hal-itu. Bagaimana kita?






Judul: Sosok Pribadi Dalam Sajak
Penulis: Subagio Sastrowardoyo
Penerbit: Pustaka Jaya
Tahun: 1980

Jakarta, 19 September 2013
*Oleh Rahmat Mustakim, terimakasih resensi koleksi buku saya ini. 

Posted on Senin, September 23, 2013 by Rianto

No comments

Jumat, 13 September 2013


Di masa sekolah tentu kita ingat dengan seremonial upacara bendera di hari senin. Di mana upacara ini menjadi kidhmat saat bendera sang merah putih dikibarkan dengan nyanyian merdu "Indonesia tanah airku.." menambah getar keindoensian.

Terlebih saat 17-an, kita semua diajak oleh guru-guru kita untuk memadati alun-alun, kembali melaksanakan upacara bendera.Uniknya kita merasa dikembalikan pada masa revolusi saat getar-getar  teks proklamasi yang dibacakan oleh Bung Karno melalui rekaman ataupun pembacaan teks oleh petugas upacara.

Namun sayangnya pemaknaan kemerdekaan itu sepintas lalu saja pada seremonial upacara. Setelah itu kita disibukan dengan bermacam-macam perlombaan. Ataupun didendangkan merdu suara biduan dangdut yang sengaja sudah disewa (oleh pejabat) untuk memeriahkan kemerdekaan. Kita pun akhirnya banyak dikecewakan dengan pidato remeh-temeh pejabat yang menjurus pada usaha politis "Pilihlah Aku di 2014."

Hilanglah sudah makna suara Bung Karno yang sepintas lalu kita dengar di upacara bendera karena redam suara biduan  dan pejabat yang gebyar dengan panggung-panggungnya. Inikah yang  disebut dengan estetisasi sebagai negara panggung telah merasuk ke pola pikir kita dalam mengungkapkan kemerdekaan dalam bingkai estetisasi yang diketahui pola pikir ini berasal dari watak dan perilaku kolonialis? Disinilah kita pun terkenal dengan negara gebyar.

Persis wacana gebyar berpesta ria ala kolonialis ini dilakukan oleh raja-raja untuk menunjukan rsa hormat terhadap VOC yang menutupi kenyataan bahwa kita terjajah teritorial. Oleh karena itu kita harus berfikir ulang mengenai semangat kemerdekaan yang dibumbui dengan estetisasi yakni memberi tampilan hias yang cantik pada pangung-pangung tapi kita kehilangan makna yang sesungguhnya mengenai kemerdekaan. Sebagai Homo luden kita berhak untuk bermain-main mengikuti perlombaan untuk memeriahkan kemerdekaan, namun kita patut pula bertanya dalam hening wacana apa dan siapa yang dibawa ini? Begitu.

Posted on Jumat, September 13, 2013 by Rianto

No comments