Tampilkan postingan dengan label SASTRA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SASTRA. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 April 2015

Penyair hadir di kota melukiskan suasana dengan sajak. Kuntowijoyo saat di Amerika merekam suasana kota dengan Sajak. Buku kumpulan puisinya “Isyarat” (Pustaka Jaya, 1974) menjadi mata baca suasana dan peristiwa itu. Buku yang aku beli dari teman dengan harga sepuluh ribu ini merupakan kumpulan puisi  Kuntowojoyo yang pertama kali aku koleksi.

Kuntowijoyo merupakan sastrawan cum sejarawan. Karya-karyanya terkadang melukiskan keadan desa dan kota. Orang-orang dan pergulatan hidupnya terkadang dilukiskan Kuntowijoyo melalui sastra, entah itu puisi maupun cerita pendek.  Buku puisi isyarat ini pun menghadirkan manusia dari segi filosofis. Bahkan dikatakan di buku itu Kuntowijoyo melukiskan keadaan kotapun ia berusaha mencari dan melihat latar belakang yang jauh lagi. Aku menyukai sajak New Heaven di buku itu.

Mari kita simak sajak New Heaven,
Di Kota
angin tidak berhenti  
mengetuk jendela
            membangunkan perempuan tua
            yang tertidur di sofa tua

        Susana kesepian perempuan tua itu digambarkan Kuntowijoyo melalalui sajaknya itu. Menunggu anak cucu berdatangan di apartemen perempuan tua..

            Gedung kelabu
            menyembunyikan Chihuahua
memainkan ujung kupingnya
kepada kaki kursi
Kadang duduk di situ
anak dan cucu
yang datang pada libur christmas

Telepon menjadi penghibur perempuan tua itu. Mengajak mengobrol perempuan tua lain untuk membunuh sepi. Di rumah para tua itu perempuan tua yang lain adalah kawan  sekamar. Peristiwa menelpon adalah suasana kangen akibat lama tak bersua sesudah bye-bye.

Tidak ada lagi peghuni petak itu
ketika perempuan tua menelpon seseorang
perempuan tua yang lain
yang bakal jadi kawan sekamar
di sebuah rumah para tua
Tidak meletkan gagang kembali
lama sesudah bye-bye

Perasaan cemas akan kota dengan gedung-gedungnya menyingkirkan imajinasinya, kenangan mereka yang tua. Kita pun merasa cemas menjadi tua di kota. Terkadang perasaaan tak ramah itu datang dari keramaian sebagai memori yang mengingatkan akan kenangan.

tiba-tiba ia merasa cemas
apartemenet itu tak ramah lagi
seolah ia penunggu yang ceroboh
lalu lintas di bawah
terdengar sebagai kenangan silam
yang ingin ia lupakan

Sebuah kota hanya menawarkan keanehan bagi si perempuan tua. Kota pun menjelma seperti pengusir orang-orang tua. Kita pun menduga kota mengasingkan dan menyingkirkan yang tua bukan hanya melalui gedung-gedung dan keramaian yang mencipta keanehan bagi si perempuan tua.Oh, kota mengasingkannya.

Seluruh kota sudah jadi aneh baginya
Dunia sedang mengasingkannya

dengan pasti 

Posted on Kamis, April 02, 2015 by Rianto

No comments

Sabtu, 15 November 2014

View_of_Delft_-_Jan_Vermeer_van_Delft
BAGI PAMAN ASIA imaji tentang kehadiran seorang malaikat dengan taburan bunga-bunga di kepalanya yang botak itu saat ia membaca majalah kesehatan di pagi hari membuat wajahnya tak terlihat sedap. Aku pastikan bukan majalah itu penyebab mukanya tak terlihat sedap. Tetapi berkat koran hari ini membicarakan berita-berita parlemen berdebat tentang anggaran perang. Ditambah iklan-iklan tentang shampoo dan pasta gigi menghias potret wanita cantik dengan klise memuja akan kepalsuan. 

Apalagi  roti panggang dengan potongan daging tipis tak berbau asap mulai mendingin. Tak dimakannya akibat saos pedas  kesukaanya habis. 

Bagi Paman Asia membuka buku itu sudah cukup untuk membuat imajinasi biasa-biasanya saat pensil ditangannya menjelma monster yang akan menyebulkan kata-kata ajaib. Betul Paman Asia adalah pensiunan dosen di sebuah universitas.  Hidupnya cukup. Hari-harinya kini hanya untuk menulis artikel tentang lingkungan. Sekali-kali dia juga mengisi rubrik ekonomi di sebuah koran lokal.

Paman Asia punya rumah dengan pagar lancip putih. Itu rumah kecil kesukaanya. Bibinya yang pemarah, dua tahun lalu meninggal.Membuat rumah itu menjadi sepi dan dalam situsi tak jelas. Menuruti kata bibinya yang akan djual oleh pemborong perusahaan perumahan swasta atau tetap dipertahankannya. Nampaknya Paman Asia sedang mengusahakan agar rumah itu tidak jatuh pada pemborong swasta.

Imajinasinya langka dan sederhana. Kalau  ia harus meninggalkan rumah itu, kata Paman Asia. Barangkali Paman Asia akan meninggalkan kebiasaan lamanya untuk pergi ke sungai yang menghias desa ini. Suara air sungai menghantam batu-batuan yang cerewet, sangat disukainya. Sungai kesukaanya itu tempat di mana Paman Asia  menghabiskan waktu untuk memancing troul. Ikan besar yang hidup di perairan sungai. Lagi-lagi ia harus merasa kesal kalau mengingat rumah itu akan dijual oleh bibinya itu yang cerewet. Paman Asia akan kehilangan rumah. Kehilangan sungainya. Ah, itu berarti Paman Asia bakal kehilangan ikan troul juga.

“Lekas kamu jual rumah itu,” begitu kata bibi Paman Asia mengingat ucapan bibinya itu yang tak menyukai daging setengah matang. Apalagi daging itu berbau kecap dan bawang merah. Bibinya akan meledak-ledak akibat bau itu mengganggu hidungnya. Yang padahal bau-bauan akan susah masuk di hidungnya yang pesek.

 Paman Asia menutup buku. Paman Asia pun mengunci pintu rumah depan lalu menutup garasi tak bermobilnya. Lagi-lagi rumah bergarasi menjadi ciri paling esensi menjadi manusia kota. Dengan rumah bergarasi, desa sudah mirip kota.  Paman Asia menjual mobilnya untuk biaya pemakanan bibinya itu. Paman Asia tidak akan kehilangan mobil itu kalau mau menyerahkan sertifikat tanah rumah kepada pemborong rumah swasta itu. Lagi pula ia tidak suka mengendarai mobil.

Tetangganya yang berada di depannya sedang berlari-lari kecil dengan anjingnya. Tetangganya itu kalau melihatnya sedang duduk-duduk di bangku atau sedang menutup garasi, ia selalu berkata,

“Halo, pemburu mana ikan troulmu,” kata tetangganya itu.

“Mudah-mudahan aku akan mengantarkannya malam ini dengan dua botol bir,” balas Paman Asia cepat.

            Bagi pensiunan  dosen sepertinya menjauh dari kota menuju desa adalah impian besar menghabisi ambisi imajinasi masa kecilnya. Bukan, bukan, aku salah. Paman Asia selalu berfikir memang menjadikan desa ini sebagai tempat peristirahatan masa pensiunannya.  Paman Asia bisa saja bersurat dengan anak-anaknya yang dikota untuk tinggal di desa selama-lamanya. Menjauh tua dari kota menikmati hari mudanya kembali di desa. Anak Paman Asia selalu menolak untuk tinggal di desa. Di mana radio-radio dan koran adalah hiburan satu-satunya. Mereka sering mengeluh karena jauh untuk mengunjungi drive thru. Membeli kentang goreng ataupun burger besar. 

****
            Paman Asia berjalan menuju sungai untuk memancing. Dia merasa muda kembali kalau di desa untuk memancing ikan troul. Tapi tulang pinggang dan kakinya tak bisa bohong, Paman Asia selalu kesemutan. 

            Paman Asia istirahat menunggu di sebuah jalan lebar dekat patung tentara. Jalan yang terbuat dari batu bata yan adem. Landmark desa yang masih membutuhkan monumen yang menjadi penghias.  Menjadi pemantik ingatan.

“Monumen dibangun untuk mengingat.” Begitu kata Paman Asia.

Paman Asia  berjalan mengelilingi dengan pelan monumen patung tentara itu.  Melihat-lihat. Sekaligus mengingat-ingat.

Seorang lelaki pensiunan dosen bertemu dengan patung gagah macam tentara membuat jantungnya melayang. Berdebar-debar mengapa patung segagah itu tak lapuk oleh usia. Malaikat imajinisi di kepala botaknya menghampirinya meniup ruh berupa kata yang tertata di kepalanya menarik untuk menyusun sebuah kalimat-kalimat yang membayang ikan troul.

“Aku ingin pergi memancing,” pikir Paman Asia. 

Paman Asia pun mencari sandaran untuk bisa duduk-duduk di sebuah bangku taman sambil memijit kakinya yang kesemutan. Cerewet burung gereja dan daun-daun yang gugur saling bersautan. Daun gugur akibat suara burung yang cerewet. Daun yang gugur saling tegur-sapa dengan suara burung yang cerewet. Lalu kata Paman Asia, daun-daun yang gugur menjawab dengan tulus hati menjawab,  

“Jatuh untuk menyuburkan tanah”

 Tidak ada kisah yang indah selain Burung  dan Daun yang gugur.

Paman Asia mendengar kisah itu dari istrinya. Ingatan itu tentunya bukan ingatan kenangan saja. Tapi memori manusia memang selalu menyediakan kenangan. Di sinilah hal-hal yang dulu tak pernah terjamah di masa kecilnya dilumat, dihabiskan dengan hebat-hebatnya. Dan yang gugur persis seperti manusia. Pagi ini opera trik sulap sebuah parlemen rebutan akan anggaran perang. Manusia tak lebih berguna ketimbang sebuah daun yang gugur. 

Berdiri lama-lama di monumen patung-patung. Lama-lama mendengarkan radio, mendengar musik. Ataupun menghabisakn berjam-jam waktu senggang hanya untuk memuaskan hati Paman Asia untuk memancing ikan troul. Itu adalah kenikmatan sendiri baginya.

Tetangganya yang selalu mengucapkan: “Halo pemburu mana ikanmu,?” lewat kembali dengan anjingnya yang selalu mengikutinya dari belakang. 

Katanya, Herman si pengantar susu menunggu di depan rumahnya. Sekaligus untuk mengobrolkan pembelian rumah itu. Paman Asia tidak bisa membayangkan nantinya  harus tinggal di sebuah perumahan yang berpagar gagah dengan satpam dan papan konyol yang selalu tertulis, “Anda memasuki Perumahan Boulevard” jika ia menjual rumahnya itu. Taktik orang kota yang egois. 

Ah tidak, kamu tahu Paman Asia akan memikirkan itu masak-masak. Sebab ia pun ingin mempertahankan sungai kenangan yang banyak sekali akan ikan  troulnya. Sebab apa ia mesti pindah ke perumahan yang menjemukan itu. Lalu bagaimana lagi, anak-anaknya ingin tinggal bersama Paman Asia. Dan permintaan anak adalah sesuci-sucinya kepolosan manusia. Paman Asia akan mengunjungi anaknya di kota. Ah, itu hal yang menjengkelkan, kecuali duduk-duduk di sebuah Taman Kota yang penuh dengan daun dan burung yang cerewet.
****

Posted on Sabtu, November 15, 2014 by Rianto

No comments

Sabtu, 12 April 2014

Cerita pendek ini aku mulai dengan imajinasiku tentang buku puisi. Lalu aku menulisnya dengan letupan-letupan fakta penuh prosa pula. Bagiku ini tetaplah imajinasi. Mesti berisi puisi-puisi hidup.

Aku tidak ingat siapa pacarkecilku hari ini. Yang setiap bangun pagi karena Azan Subuh lalu mendekapku dengan mesra: basuhlah mukamu dengan air suci. Kini aku begitu dibawa oleh kata yang ditulis oleh penyair Joko Pinurbo di buku alit ini. Wah, ini buku menjadi buku puisi yang akan aku simpan baik-baik. Diam-diam aku terbawa emosi, suasana, dan jeritan-jeritan kata dalam puisi-puisinya.

Saat itu hujan membasahi Jakarta. Kamu tahu, aku duduk di dekat jendela-jendela penuh buku-buku di toko buku sekitar Senen, Jakarta. Di situlah aku bertemu dengan pacarkecilku. Di hujan yang sebentar itu Jokpin aku baca lama-lama sampai aku lupa harus membeli buku pesanan temanku. Aku memang bukan penyair. Tadi dua puluh menit sebelum aku berada di jendela itu. Saat aku terhenti di sebuah warteg beberapa temanku berkata,

“Kamu tak mengerti puisi. Walau begitu coba baca saja,” begitu katanya.

Kata seorang pengarang, penyair selalu berkiprah dengan kata penuh permenungan**.

Aku memang jarang sekali mengkoleksi buku-buku berbau puisi. Temanku pernah membelikanku puisi Kuntowijoyo dan Bakdi Soemanto. Tetap itu tak membuatku tertarik menjadi penyair. Ah, hidup mungkin mesti berpuisi. Maka aku begitu terharu biru membaca (diam-diam) dalam hati  puisi pacarkecilku yang berkata,

“pacarkecilku bangun di subuh hari ketika Azan datang//membangunkan mimpi. Pacarkecilku berlari ke halaman,//menadah hujan dengan botol mainan, menyimpannya//di kulkas sepanjang hari, dan malam harinya ia lihat di botol itu gumpalan cahaya warna-warni”(pacarkecilku, bait pertama)

Berat hatiku membacakan (masih) dalam hati kata ‘Azan datang’ disela-sela gerimis yang kunjung henti di klakson-klakson angkot. Kamu sering hadir di ranjangku. Lalu berbisik,

“Mas sudah subuh,” katamu penuh hening.

Seperti lantunan ayat-ayat tuhan dalam Qur’an, aku masih lelap lalu dengan sabar kamu membangunkanku. Aku pun membacakan puisi itu yang berlanjut dengan berbisik mirip berdo’a,  

“Pacarkecilku lelap tidurnya, botol pelangi dalam dekapnya.//ketika bangun ia berkata, “tadi kamu kemana?//Aku mencarimu di rerimbun taman bunga.”// aku terdiam.sepanjang malam aku hanya berjaga di samping tidurnya agar dapat melihat bagaimana azan pelan-pelan membuka matanya “(pacarkecilku, bait kedua)

Aku sudah lupa bagaimana kamu punya memori ingatan tentang subuh itu. Pacarkecilku aku ingin mengiris-iris ingatanku menjadi beberapa bagian. Lalu kita bangun sebuah rumah penuh akar. Di akar-akar itu menjelma gedung-gedung tinggi kota penuh badut-badut mengajak kita ke mana-mana. Di jantung kota dengan komedi putar  kita berdetak kembali menjalin cinta yang penuh polos kekanak-kanakan. Tak lupa membeli gulali dan cap cay. Nah, barangkali dari situ aku mudah-mudahan tak menangis melulu karena ketinggalan bus. Karena kamu selalu ada di sampingku menawarkan,

“Ini ada gulali, jangan menangis ya,” katamu dengan senyum lebar-lebar.

Air matakupun kuseka dengan  manisnya gulali dari kamu itu. Kamu masih ingatkah dengan memori itu. Kita hilang ingatan tentang  memori kekanak-kekanakan kita. Karena kita melulu emosi orang dewasa. Menamparmu, menghinamu, meledak-ledak dengan kata tak sopan.

Lalu kamu bilang juga. Katamu, aku selalu bersedih. Karena aku selalu ditinggal bus. Sebab aku selalu menunggu sepatu  yang dipakai kakakku berjualan di pasar malam. Aku sering bergantian memakai sepatu jembel itu. Kamu tahu, apa yang kamu ungkap saat aku menangis lagi,

“Ini ada gulali, jangan menangis ya,” katamu lagi dengan senyum lebar-lebar.

Padahal waktu itu kamu tahu aku tetap menangis. Karena aku tidak mau harus ketinggalan bus lagi karena sepatu itu. Aku ingin membeli sepatu. Lalu kamu memelukku. Hilang ketakutan dan kesedihanku. Lagi-lagi kantung-kantung bajumu penuh gulali. Dan kamu mesti ingat aku berkata padamu setelah dewasa kelak,

“pacarkecilku tak akan mengerti;pelangi dalam botol cintanya// bakal berganti menjadi kuntum-kuntuk mawar-melati//yang akan ia taburkan diatas jasadku, nanti.”(pacarkecilku, bait ketiga)

Pacarkecilku barangkali disaku celanaku kali ini ada pistol untuk membunuh ingatanku tentang dirimu yang tak juga kunjung datang di halte ini. Halte tempat aku menangis dan kamu menawarkan kembali gulalimu itu. Jelas aku terkapar dalam kesendirian yang heboh dengan dencit-dencit suara pengemis meminta uang dariku. Aku kasih semaunya. Aku akhirnya tak sanggup naik taksi. Terpaksa aku naik becak  yang kata penulis puisi ini, kamu tahu  pacarkecilku, katanya aku  mesti menuju ke sebuah kuburan. Lawatan kesedihan dan orkestra penuh bunga-bunga.
Pacarkecilku apakah kamu ada disitu. Aku tak sanggup membayar becak yang mengantarkanku ke kuburan itu. datanglah. Datanglah dengan taburan bunga-bunga dari botol mainan kecil itu. Agar aku tak lesu harus bagaimana menghadapi persolaan ini. Agar aku kembali hebat. Persis seperti pacarkecilku.

Barangkali aku tiba juga dipintu rumah kita yang  putih lancip-lancip pagarnya. Aku buka sepatuku lalu mengetuk pintu, ternyata pacarkecilku membuka pintu dengan senyum penuh kantung airmata di sela-sela mata polosnya itu. dalam banjir airmata,  kamu berkata,

“Maafkan aku mas,” katamu nyaris terdengar lirih.

Aku pun memelukmu dengan membawakan oleh-oleh berupa buku–buku. tanpa membawa bunga.

Kamu datang membasuhku dengan tawa, kesedihan, lalu aku memelukmu lagi dengan erat-erat kata maaf  polos itu. Aku marah lalu membeli buku ini untukmu. Semoga kita baik-baik saja, lalu saat tidur nanti, aku diam-diam membacakan, membisikan puisi ini ke kamu,

“Sebelum tidur ia selalu berdoa: bangunkan aku jam tiga pagi, .”( Bangunkan Aku Jam Tiga Pagi, bait pertama)” kataku pelan-pelan mirip berdo’a.

Kamu datang keranjangku. Membawa gulali lalu cerita banyak-banyak. Aku mendengarkan itu. kita bertengkar tadi pagi, malam kita kembali polos. Makanya tuhan selalu mengingatkan kita saat malam berdo’alah. Maka aku berdo’a dengan melanjutkan membaca puisi itu dengan (masih) diam-diam,

“jam tiga pagi mimpi mungkin sudah kembali ke nol lagi//ia ingin dengar bagiamana ranjang menyanyikan tubuhnya// dan tubuh menyanyikan sakitnya//” (Bangunkan Aku Jam Tiga Pagi, bait kedua)

Begitu barangkali aku ingin menjerit-jerit menyesali perbuatan kita yang bertengkar karena dewasa. Kembalilah. Kembalilah pacarkecilku dalam dekapanku. Di ranjang ini aku menemukan kembali sosok malaikat berwajah cantik menemaniku dalam desah-desah mimpi. Barangkali itu bukan mimpi. 

*Judul buku puisi Joko Pinurbo yang diterbitkan oleh Indonesiatera (2002)
**Cek kata pengantar oleh Ignas Kleden dalam Catatan Pinggir 2 (Grafiti, 2003)

Posted on Sabtu, April 12, 2014 by Rianto

No comments

Kamis, 03 Oktober 2013


GERIMIS YANG MELUNCUR di papan besar bergambar Ronald McDonald yang terkenal itu menjadi gambar yang begitu membosankan bagi seorang Paman Asia berkaos biru bertuliskan “CHE” yang duduk-duduk di sebuah  kedai kopi dengan jendela-jendela uniknya yang berwarna coklat dengan kaca yang kebinar-binaran.

Sebab bosannya normal saja, di manapun ia selalu bertemu dengan gambar Ronald McDonald, di papan besar, di bandara ibu kota pertama kali ia mendarat, di rumah sakit, di bus-bus sekolah,  bahkan di cangkir kopi tempat di mana ia sedang duduk-duduk saja Ronald McDonald selalu ada. Ini ajaib, katanya.  Di televisi Ronald mirip politikus, penyihir kapitalisme papan atas.

Ya  di seberang papan besar Ronald McDonald itu, ada  perempuan yang sedang  ia tunggu lengkap dengan keranjangnya. Sedari tadi masuk toko kelontong sebelah  Drive in.

 Jika saja matahari sore ini datang memasuki celah-celah kaca jendela, bisiknya dalam hati. Pastinya cahaya itu bakal dibuatnya berbelok-belok,  membentuk seperti jalan-jalan aspal yang panjang di bukit-bukit. Jalan yang terbuat dari cahaya imajinasi. Dan ia sengaja memindahkan, mengumpulkan cahaya di cangkir kopi bergambar Ronald McDonald. Kebiasaan itu lagi. 

Pastinya suasana unik yang selalu membayang-bayang  imajinasi palupinya saat bermain-main cahaya akan memecahkan pagi tadi yang begitu redup karena mendung. Kini Paman Asia tidak bisa bermain cahaya sore di cangkir-cangkirnya. Hingga sorenya dilalui saja dengan duduk–duduk sambil membolak-balik buku telpon.

Lalu, seorang perempuan kulit putih keluar dari pintu toko kelontong seberang tempat duduknya. Dari jendela jua, Paman Asia melihat gerimis menyapa perempuan itu lebih dulu.  Perempuan kulit putih yang  membawa sebuah keranjang. Betul keranjang yang agak besar. 

Perempuan itu menunggu sejenak di bawah papan besar  Ronald McDonald,  merapikan barang-barang di keranjangnya dan merapikan kancing  baju  tebalnya. Tak lupa rambutnya.  Beberapa kali ia menepuk-nepuk baju tebalnya yang kotor karena debu.  Suasana  Drive in yang agak ramai, kebanyakan anak muda,  membuatnya timbul tenggelam bersama lalu-lalang mobil-mobil.

Perempuan kulit putih itu tersenyum membuka tas kecil melambai sapu tangan  kepadanya. Paman Asia membalas dengan mengangkat tangan. Tanda untuk segera duduk-duduk bersamanya.

Dari dekat, perempuan kulit putih itu mengenakan baju tebal dengan bulu-bulunya sebagai penghalang hujan dan dingin. Alisnya yang tipis, rambut yang panjang bergelombang, bibir yang tipis pula tersenyum sambil mencium pipi Paman Asia dengan  mesra. Duduklah  ia mengobrol-ngobrol. 

“Apa yang kamu dapat?” Paman Asia memulai pembicaraan.

“Banyak sekali,” jawabnya singkat.

Perempuan kulit putih itu banyak menunjukan barang-barang yang  ia beli dari toko kelontong.  Jam tangan, jam beker, sepatu  kulit, seragam tentara, dan tak lupa mainan-mainan kecil. Sementara deru-deru suara mobil  yang keluar dari Drive in seperti menenun gerimis yang membuat sikap Paman Asia melaju dingin seperti ban-ban yang melaju pelan di aspal.  

Percakapan mengenai barang bekas seperti ini sebetulnya selalu dinantinya.

Terutama barang bekas yang meninggalkan jejak perang. Perang dunia pertama, Perang dunia kedua, perang saudara di Afrika, jatuhnya Bom Hiroshima dan Nagasaki. Tulisan feature pasca jatuhnya Bom Hiroshima dan Nagasaki oleh Jhon Hersey dari majalah The New Yorker menjadi pengetuk hati sepasang kekasih itu pergi ke Negeri Sakura, mengantarkan kimono tua milik korban bom yang didapatinya di sebuah pameran bulan oktober di Munich Jerman. 

Jam tangan,  jam beker, sepatu kulit, seragam  tentara, membuat mereka merasa asik membicarakan pemilik barang bekas yang dulu. Mulai dari kesan pertama apiknya barang-barang bekas itu saat  dijaga pemiliknya sampai imajinasi di mana barang bekas itu sudah dilupakan akibat perang. Kenapa dilupakan? Mungkin saja bukan dilupakan, hanya tertinggal. Hanya saja semudah  itukah  memori manusia. Mudah lupa, mudah pula mengingat.

“Bukankah itu hal yang lucu sekaligus tragedi, layaknya kisah Alice in Wonderland?,” kata Paman Asia .

“Ya, ya.. aku pun membayangkan seperti itu,” perempuan itu menyahut dengan senyum-senyum lebarnya. 

Dengan tanggap ia membungkus barang-barang bekas agar terlihat rapi, tak lupa mengelapnya juga.“Aku menyukai pekerjan  ini. Aku menyukainya,” sambil membungkus. 

“Lalu adakah jejak-jejak perang yang ditinggalkan pemiliknya, tulisan-tulisan, nama, tanggal,  lalu kita cari alamatnya. Ya alamatnya,” Paman Asia itu mulai bergairah.

“Tunggu dulu!” perempuan itu menyela, “Jangan lupa, bukankah kita  malam  ini akan mengunjungi rumah Alann Klitckhof. Benarkah alamatnya di  Meriddian Flannel No 5? Surat-surat dan tamagochi ini  harus sampai padanya bukan?”

Di mata Paman Asia, perempuan itu begitu cerdas. Paman  Asia menyukainya.

Ada yang janggal,  perempuan itu seperti sedang  ragu untuk mengungkapan hal yang penting. Penting sekali. Tapi belum dapat celah karena Paman Asia sedang bergairah dengan catatan dan buku telpon.

Saat membungkus sering kali bola mata perempuan itu mencuri tatapan,  melihat wajah Paman Asia  yang juga sibuk membuka buku telpon.  Namun senyum, kerut dahi plus alis perempuan itu yang naik seakan memberi makna berbeda. Lihat saja, saat Paman Asia membalas tatapan itu. Taktik yang selalu sama yang dilakukan oleh perempuan  manapun.

MALAM SEHABIS SEHARIAN HUJAN. Pukul tujuh lebih tiga belas menit di sebuah jarum jam hitam metalik  yang besar di stasiun kota ini, mereka naik taksi menuju jalan  Meriddian Flannel yang basah aspalnya. Sepasang  kekasih itu menuju rumah Alann Klitckhof. Tak henti-hentinya mereka membicarakan kereta yang baru saja mereka naiki. 

Taksi berhenti di sebuah rumah yang agak kecil dengan pagar putih lancip menjadikannya  lebih unik dibandingkan dengan deretan rumah lain di sekitarnya. Ya  itulah rumah Alann Klitckhof. Tamannya bagus. Tumbuh bunga-bunga lengkap dengan  rumput-rumput yang selalu basah. Tak ada garasi. Padahal di kota ini hampir semua penduduknya mempunyai mobil. Industri mobil di negara ini sedang maju-majunya. Menurut supir taksi tadi, kredit mobil, rumah, juga sangat mudah.  

Jalan mulus di depan  halaman rumah Alann Klitckhof itu bakal terlihat batu-batu granit besar tertanam di halamannya, tentunya setelah melewati pintu pagar yang putih lancip lengkap dengan tempat surat yang berdiri gagah di depan pintu pagar, sepasang kekasih itu menemui tangga kecil dengan dua-tiga langkah kaki tingginya. Setelah menaiki tangga ada sebuah bangku panjang dari kayu dengan koran-koran yang bertumpuk begitu saja barulah bisa terlihat. Oh ada juga dua kucing berbulu cantik sedang bermalas-malasan dengan makanan kucing di piring yang belum habis disantapnya. Naluri mencintai binatang  perempuan itu pun muncul, mengelus-elus bulu si kucing, sementara jari telunjuk Paman Asia menekan bel.

Bel pun berbunyi.  Sambil menunggu, perempuan itu tersenyum  ke Paman Asia.

Perempuan itu merapikan kemeja Paman Asia. Pun topinya. Paman Asia membalasnya dengan kecupan di kening. Tentunya mereka tetap bergandengan.

Seorang Bapak dengan kumis tebal dan kepalanya yang hampir botak membuka pintu.

“Apakah benar ini rumah Alann Klitckhof?” tanya perempuan itu dengan bahasa lokal yang terbata-bata terbalut senyum dan semangatnya.

“Ya benar, itu saudara kembarku,” jawabnya cepat.

 “Silahkan  masuk,” ajaknya ramah.

Sejam. Dua jam. Sepasang kekasih itu bersenda gurau dengan kembaran Alann Klitckhof yang berkisah seputar  isi surat-surat dan tamagochi Alann Klitckhof.

“Alann Klitckhof? Si Badut lucu itu  memang selalu melakukan hal-hal bodoh,” tutur Paman Bred memberitahukan kisah menarik tentang kembarannya itu. 

Alann Klitckhof, ia lihai membuat tertawa siapa saja. Alann Klitckhof  dikenal tenaga medis, tetangganya sering memanggilnya, “Hai Badut Medis selamat pagi!” tutur adiknya terkekeh. 

Saat kota ini menjadi pusat perang, saat pesawat-pesawat tempur fasis menggempur kota, Alann Klitckhof dikenal sebagai badut medis. Ia berdandan seperti badut menghibur anak-anak korban perang sambil sibuk sana-sini membawa obat, begitu juga saat mengangkat mayat. 

Di meja-meja penuh dengan makanan kecil dari gandum dan kacang-kacang, keju dan  susu.  Tak lupa minuman bersoda seperti coca-cola selalu hadir di negara ini. 

Sepasang kekasih itu pun pulang dengan bahagianya. Mereka mendapatkan teks-teks yang menarik. Teks-teks yang mampu berbicara di radio. Menggantikan pidato-pidato yang tak berguna dari anggota parlemen yang menjijikan.

“Apa tadi kau merekamnya,” Paman Asia itu menanyainya.

“Ya, aku merekamnya. Paman Bred juga lucu. Meski Alann Klitckhof belum pulang dari perantauan sirkus kelilingnya. Bulan depan mungkin kita akan menemuinya lagi. Kata Paman Bred, Alann Klitckhof akan mengirimi kita surat. Jadi tunggu saja.”

“Surat-surat dan tamagochi itu?”

“Itu juga sudah aku titipkan kepada Paman Bred. Saat  itu kau keluar mengangkat  telpon dari  redaktur.”

Pintu Paman Bred masih terbuka saat ia mengantar sebentar sepasang kekasih itu meninggalkan rumahnya yang berpagar putih lancip. Sepasang kekasih itu bergegas menaiki taksi yang sudah ditelpon Paman Bred. Mengantar mereka ke  stasiun kereta yang bakal berangkat pukul 11 malam ini.
Di tengah-tengah cerita kekaguman mereka dengan kereta-kereta lagi, Perempuan itu menceritakan  hal yang tertunda sore tadi.

“Aku ingin menceritakan sesuatu,” tutur perempuan itu. 

Menurut tutur penjaga toko yang ditemuinya sore tadi,  toko kelontong itu akan dijualnya. Begitu juga toko-toko di sekitarnya. Perusahaan fast food  memberikan penawaran yang  ‘tidak biasa’. Begitu menggairahkan. Toko kelontong tadi yang dikunjunginya untuk  membeli barang-barang bekas berupa jam  tangan, jam beker, seragam tentara,  katanya juga akan disulap menjadi sebuah taman bermain untuk anak-anak. 

Bila jadi, toko itu akan tertanam di memori Perempuan itu saja saat bangunan fisik diratakan.

“Taman bermain seperti Disney, Ronald McDonald?”

“Ya betul…”

“Ini gila, sore tadi saat duduk-duduk aku sudah memikirkan hal itu,” jawab  Paman Asia sambil mengangguk-angguk, membuka topinya, berjalan, berpikir tajam  memasuki pintu kereta. 
***
Cerita pendek ini masuk dalam 13 nominasi lomba cerpen se Jawa-Bali 2013 yang diadakan oleh UKMP Malang


Posted on Kamis, Oktober 03, 2013 by Rianto

No comments