View_of_Delft_-_Jan_Vermeer_van_Delft
BAGI PAMAN ASIA imaji tentang kehadiran seorang malaikat dengan taburan bunga-bunga di kepalanya yang botak itu saat ia membaca majalah kesehatan di pagi hari membuat wajahnya tak terlihat sedap. Aku pastikan bukan majalah itu penyebab mukanya tak terlihat sedap. Tetapi berkat koran hari ini membicarakan berita-berita parlemen berdebat tentang anggaran perang. Ditambah iklan-iklan tentang shampoo dan pasta gigi menghias potret wanita cantik dengan klise memuja akan kepalsuan. 

Apalagi  roti panggang dengan potongan daging tipis tak berbau asap mulai mendingin. Tak dimakannya akibat saos pedas  kesukaanya habis. 

Bagi Paman Asia membuka buku itu sudah cukup untuk membuat imajinasi biasa-biasanya saat pensil ditangannya menjelma monster yang akan menyebulkan kata-kata ajaib. Betul Paman Asia adalah pensiunan dosen di sebuah universitas.  Hidupnya cukup. Hari-harinya kini hanya untuk menulis artikel tentang lingkungan. Sekali-kali dia juga mengisi rubrik ekonomi di sebuah koran lokal.

Paman Asia punya rumah dengan pagar lancip putih. Itu rumah kecil kesukaanya. Bibinya yang pemarah, dua tahun lalu meninggal.Membuat rumah itu menjadi sepi dan dalam situsi tak jelas. Menuruti kata bibinya yang akan djual oleh pemborong perusahaan perumahan swasta atau tetap dipertahankannya. Nampaknya Paman Asia sedang mengusahakan agar rumah itu tidak jatuh pada pemborong swasta.

Imajinasinya langka dan sederhana. Kalau  ia harus meninggalkan rumah itu, kata Paman Asia. Barangkali Paman Asia akan meninggalkan kebiasaan lamanya untuk pergi ke sungai yang menghias desa ini. Suara air sungai menghantam batu-batuan yang cerewet, sangat disukainya. Sungai kesukaanya itu tempat di mana Paman Asia  menghabiskan waktu untuk memancing troul. Ikan besar yang hidup di perairan sungai. Lagi-lagi ia harus merasa kesal kalau mengingat rumah itu akan dijual oleh bibinya itu yang cerewet. Paman Asia akan kehilangan rumah. Kehilangan sungainya. Ah, itu berarti Paman Asia bakal kehilangan ikan troul juga.

“Lekas kamu jual rumah itu,” begitu kata bibi Paman Asia mengingat ucapan bibinya itu yang tak menyukai daging setengah matang. Apalagi daging itu berbau kecap dan bawang merah. Bibinya akan meledak-ledak akibat bau itu mengganggu hidungnya. Yang padahal bau-bauan akan susah masuk di hidungnya yang pesek.

 Paman Asia menutup buku. Paman Asia pun mengunci pintu rumah depan lalu menutup garasi tak bermobilnya. Lagi-lagi rumah bergarasi menjadi ciri paling esensi menjadi manusia kota. Dengan rumah bergarasi, desa sudah mirip kota.  Paman Asia menjual mobilnya untuk biaya pemakanan bibinya itu. Paman Asia tidak akan kehilangan mobil itu kalau mau menyerahkan sertifikat tanah rumah kepada pemborong rumah swasta itu. Lagi pula ia tidak suka mengendarai mobil.

Tetangganya yang berada di depannya sedang berlari-lari kecil dengan anjingnya. Tetangganya itu kalau melihatnya sedang duduk-duduk di bangku atau sedang menutup garasi, ia selalu berkata,

“Halo, pemburu mana ikan troulmu,” kata tetangganya itu.

“Mudah-mudahan aku akan mengantarkannya malam ini dengan dua botol bir,” balas Paman Asia cepat.

            Bagi pensiunan  dosen sepertinya menjauh dari kota menuju desa adalah impian besar menghabisi ambisi imajinasi masa kecilnya. Bukan, bukan, aku salah. Paman Asia selalu berfikir memang menjadikan desa ini sebagai tempat peristirahatan masa pensiunannya.  Paman Asia bisa saja bersurat dengan anak-anaknya yang dikota untuk tinggal di desa selama-lamanya. Menjauh tua dari kota menikmati hari mudanya kembali di desa. Anak Paman Asia selalu menolak untuk tinggal di desa. Di mana radio-radio dan koran adalah hiburan satu-satunya. Mereka sering mengeluh karena jauh untuk mengunjungi drive thru. Membeli kentang goreng ataupun burger besar. 

****
            Paman Asia berjalan menuju sungai untuk memancing. Dia merasa muda kembali kalau di desa untuk memancing ikan troul. Tapi tulang pinggang dan kakinya tak bisa bohong, Paman Asia selalu kesemutan. 

            Paman Asia istirahat menunggu di sebuah jalan lebar dekat patung tentara. Jalan yang terbuat dari batu bata yan adem. Landmark desa yang masih membutuhkan monumen yang menjadi penghias.  Menjadi pemantik ingatan.

“Monumen dibangun untuk mengingat.” Begitu kata Paman Asia.

Paman Asia  berjalan mengelilingi dengan pelan monumen patung tentara itu.  Melihat-lihat. Sekaligus mengingat-ingat.

Seorang lelaki pensiunan dosen bertemu dengan patung gagah macam tentara membuat jantungnya melayang. Berdebar-debar mengapa patung segagah itu tak lapuk oleh usia. Malaikat imajinisi di kepala botaknya menghampirinya meniup ruh berupa kata yang tertata di kepalanya menarik untuk menyusun sebuah kalimat-kalimat yang membayang ikan troul.

“Aku ingin pergi memancing,” pikir Paman Asia. 

Paman Asia pun mencari sandaran untuk bisa duduk-duduk di sebuah bangku taman sambil memijit kakinya yang kesemutan. Cerewet burung gereja dan daun-daun yang gugur saling bersautan. Daun gugur akibat suara burung yang cerewet. Daun yang gugur saling tegur-sapa dengan suara burung yang cerewet. Lalu kata Paman Asia, daun-daun yang gugur menjawab dengan tulus hati menjawab,  

“Jatuh untuk menyuburkan tanah”

 Tidak ada kisah yang indah selain Burung  dan Daun yang gugur.

Paman Asia mendengar kisah itu dari istrinya. Ingatan itu tentunya bukan ingatan kenangan saja. Tapi memori manusia memang selalu menyediakan kenangan. Di sinilah hal-hal yang dulu tak pernah terjamah di masa kecilnya dilumat, dihabiskan dengan hebat-hebatnya. Dan yang gugur persis seperti manusia. Pagi ini opera trik sulap sebuah parlemen rebutan akan anggaran perang. Manusia tak lebih berguna ketimbang sebuah daun yang gugur. 

Berdiri lama-lama di monumen patung-patung. Lama-lama mendengarkan radio, mendengar musik. Ataupun menghabisakn berjam-jam waktu senggang hanya untuk memuaskan hati Paman Asia untuk memancing ikan troul. Itu adalah kenikmatan sendiri baginya.

Tetangganya yang selalu mengucapkan: “Halo pemburu mana ikanmu,?” lewat kembali dengan anjingnya yang selalu mengikutinya dari belakang. 

Katanya, Herman si pengantar susu menunggu di depan rumahnya. Sekaligus untuk mengobrolkan pembelian rumah itu. Paman Asia tidak bisa membayangkan nantinya  harus tinggal di sebuah perumahan yang berpagar gagah dengan satpam dan papan konyol yang selalu tertulis, “Anda memasuki Perumahan Boulevard” jika ia menjual rumahnya itu. Taktik orang kota yang egois. 

Ah tidak, kamu tahu Paman Asia akan memikirkan itu masak-masak. Sebab ia pun ingin mempertahankan sungai kenangan yang banyak sekali akan ikan  troulnya. Sebab apa ia mesti pindah ke perumahan yang menjemukan itu. Lalu bagaimana lagi, anak-anaknya ingin tinggal bersama Paman Asia. Dan permintaan anak adalah sesuci-sucinya kepolosan manusia. Paman Asia akan mengunjungi anaknya di kota. Ah, itu hal yang menjengkelkan, kecuali duduk-duduk di sebuah Taman Kota yang penuh dengan daun dan burung yang cerewet.
****