"Menghadapi kekejian yang tidak manusiawi, manusia harus melakukan penentangan. Manusia tidak boleh diam. Dia yang diam dan membisu menghadapi kenyataan ini telah menyangkal tanggung jawabnya sebagai manusia" (Ernst Toller)

Tentu kita ingat nama S.Sudjojono di LKS SD atau SMP. Seingat memori kita itu Sudjojono selalu berdampingan dengan nama-nama pelukis besar lain, sebut saja Affandi atau Basuki Abdullah. Atau memang kini kita sudah melupakan sosok yang 'galak' dalam ide-ide seni lukis Indonesia yang pernah tersangkut prahara 65 ini.

Sudjojono merupakan pelopor berdirinya PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang didirikan tahun 1937. Belum lama, sekitar sebulan yang lalu lukisan-lukisan S. Sudjojono kembali di pamerkan di Galeri Nasional dalam tema "Jiwa Ketok dan Kebangsaan" S.Sudjojono, Persagi dan Kita.

Ini menarik. Kita bisa kembali dalam refleksi kebangsaan dengan melihat lukisan-lukisan 'ganas' Sudjojono yang berbicara tentang lahirnya angkatan 66 misalnya. Atau melihat sejenak kehidupan sehari-hari yang coba Sudjojono gambarkan dalam lukisan "Makan Nasi".

Menurut Sudjojono, jika kalian melihat lukisan-lukisan dan mengagumi karyanya, sebetulnya yang kalian kagumi adalah jiwa pelukisnya. Itulah jiwa ketok. Dalam karangan Sudjojono berjudul Kesenian, Seniman dan Masyarakat, Sudjojono menulis,

Makan Nasi. S.Sudjojono.1956
..Kalau Seorang Seniman membuat suatu barang kesenian, maka sebenarnya buah kesenian tadi tidak lain dari jiwanya sendiri yang kelihatan. Kesenian ialah jiwa ketok. jadi kesenian ialah jiwa... (Seni Lukis, Kesenian dan Seniman, Aksara Indonesia 2000)

Pun tulisan tersebut untuk menjawab pengertian kesenian yang memang susah sekali dijawab. Lalu mengapa ketika melihat gambar/lukisan pada saat itu juga kita dapat melihat, mulai mengobrol tentang kehidupan sehari-hari yang dapat  dimaknai secara budaya, secara teks humanisasi . Kita dapat menelaahnya kembali jawaban itu dalam tulisan Sudjojono yang mengambarkan biografi pendek Vincent van Gogh.  Belajar dari Vincent inilah, melukis bukan hanya kerja keindahan/kebagusan juga merupakan kerja kemanusiaan.

Suatu ketika Vincent bertemu dengan seorang pujangga bernama Zola. Dalam obrolan Zola berkata,

..."Kalau tuan menggambar kebagusan seorang perempuan sama dengan saya menceritakan kebagusan si perempuan tadi sebagaimana juga saya lihat sehari-hari. Tokoh saya itu akan saya ceritakan juga umpamanya, bahwbagai perempuan yang kita kenang-kenangkan, lalu cerita tadi saya baguskan-baguskaa dia pernah sakit kudis, pernah 'lupa' dikatakan: God ver Dom! Saya ceritakan ia tidak sen, akan tetapi saya ceritakan dia sebagaimana perempuan tadi hidup biasa, bukan?"

Vincent pun menjawab,

"Memang, mesti saya gambar perutnya umpamanya tidak seperti perut bidadari, akan tetapi sebagai perut orang perempuan biasa yang berusus" (dari tulisan Sudjojono "Vincent van Gogh (29 Juni 1890) Aksara Indonesia 2000)

Dari tulisan Sudjojono itulah dapat kita lihat sebagai semangat realisme. Melukis realitas. Jadi melukis bukan saja melukis tentang keindahan dan kebagusan, justru disitulah terletak realitas yang memanggil jiwa sang pelukis untuk digoreskan kenyataan hidup manusia. Jadi kebenaran dulu barulah bicara kebagusan.

Menariknya bagi saya Sudjojono bukan hanya pelukis. Sudjojono adalah seorang guru. Guru yang seperti apa? Mia Bustam mengenangnya seperti ini,


(Repro) High Level. S.Sudjojono.1973.
Cara Mas Djon mengajar  tidak seperti pengajaran guru-guru gambar atau kebanyakan pelukis yang lain. Guru gambar yang berdiploma selalu akan mengajarkan perspektif dulu. Dan banyak pelukis menekankan cara melukis mereka sendiri kepada murid-muridnya. Mas Djon tidak. ia memberi model atau obyek. Misalnya sebuah botol di meja, atau rumah di pinggir jalan. Mereka dibiarkan melukis menurut pengamatannya masing-masing. Tanpa dibebani teori perspektif sebelumnya. Yang selalu ditekankan Mas Djon hanya "gunakan baik-baik matamu" (Sudjojono dan Aku, ISAI 2013)

Pada saat mengajar itulah Sudjojono juga melempar anekdot-anekdot atau sejarah para pelukis seperti Rembrandt, Leonardo da Vinci, dan van Gogh. Ini menandakan keluasan literasi dari Sudjojono.

Kembali dalam tulisannya yang tentang Van Gogh ia pun bercerita bagaimana van Googh keluar dari akademi saat di Antwerpen. Menurut van Googh akademi itu hanya suatu insteling, untuk mengajar mahasiswa-mahasiswanya menggambar seperti kemauan gurunya saja, tetapi tidak menggambar atas kemauannya sendiri.

Oleh karena itu dalam mengajar mengambar, bukanlah untuk mencetak Affandi-Affandi dan Sudjojono-Sudjojono baru. Melainkan mencetak Kodir, Agus, Suprapto, yang mempunyai jiwa ketok sendiri. Jadi Kodir, Agus, dan Suprapto ini dapat mengembangkan pribadi-pribadinya sendiri.

Ada Orkes. S Sudjojono.1970
Melihat lukisan Sudjojono di pameran waktu itu bukan saja melihat keindahan-keindahan lukisan. Jauh dari itu, kita bisa memaknai lebih dalam. Sosok Sudjojono atau pun lukisannya mungkin saja hanya benda saja yang tak bunyi. Coba kita cermati lebih dekat, lukisan-lukisannya memanggil kita untuk terus membaca pikiran, membaca ide sang pelopor seni lukis modern ini dalam kacamata kebudayaan, membaca secara keindonesiaan. 

Semangat Sudjojono dalam literasi menjadi contoh bagi guru-guru kebudayaan manapun untuk terus membuktikan bahwa seni lukis Indonesia pernah ada. Mengurai terus kesalahan nenek moyang kita yang jarang  menulis. Jarang sekali melihat pelukis seperti Sudjojono, pelukis yang mau menulis tentang seni lukis Indonesia.Dia tidak hanya melukis, ia mengores pena agar tulisan itu menjadi penyambung imajinasi sejarah seni lukis Indonesia. Dari Sudjojonolah ingatan itu terus terawat.  Mengeras terus semangat literasi itu. Tabik!

*Semua Foto diambil saat penulis mengunjungi Pameran di Galeri Nasional "Jiwa Ketok dan Kebangsaan" S.Sudjojono, Persagi dan Kita. Merayakan 100 tahun S. Sudjojono.

Referensi
Mia Bustam.Sudjojono dan Aku. 2013. ISAI.
S.Sudjojono. Seni Lukis,Kesenian dan Seniman. 2010.Aksara Indonesia.