Rabu, 25 November 2015

Barangkali manusia adalah makhluk yang tak kenal kata ‘cukup’. Oleh karena itu Budayawan Radhar Panca Dahana memberikan kritik budaya pada kapitalisme dengan mengusung ekonomi cukup.  Kritik budaya yang diambil dari pengalaman bahari ini termuat dalam buku  Ekonomi Cukup  Kritik Budaya pada Kapitalisme (2015). Kritik yang memberikan pandangan ulang mengenai ilmu ekonomi.
Sri Edi Swasono dalam kata pengantar menyebutkan ilmu ekonomi konvensional  memberi corak pada manusia sebagai homo-economicus berikut pamrih pribadi sedangkan ekonomi kontemporer memberikan  corak pada manusia sebagai homo-etichus, homo-humanus, homo-socius dan homo-magnificus (hal xxii). Ekonomi yang merubah status manusia yang beretika menjadi rakus tak terkendali.

Radhar mengingatkan kita akan aktor yang mempengaruhi ekonomi yakni Trio P. Permainan politik ekonomi antara Pengusaha-Pemerintah-Parlemen (Trio P) yang mempengaruh sendi-sendi ekonomi rakyat kecil. 

Radhar mencapnya sebagai Trio pemeras (Hal 16). Telah berubah obligasi  dasar pemerintah dan parlemen, dari semula sebagai public servant kini menjadi public master atau jangan-jangan menjadi public monster? (hal 17)

Korupsi adalah ancaman bagi kehidupan bangsa yang berbudaya. Perang melawan korupsi berarti melawan musuh inernal dalam diri. Korupsi berjalan terus, tak perlu kabinet, presiden, mahkamah, atau parlemen sebagaimana yang kita maknai selama ini. Ia sudah menjadi  sebuah sistem dengan tradisi, habit, bahkan rules of the games-nya sendiri (hal 63).Pemilu menjadi sorotan Radhar sebagai pesta  pemborosan menghabiskan uang mencapai 254Triliun.

Hitungan angka itu secara nyata mampu memberi kita modal untuk berbuat banyak mengatasi persoalan-persoalan kritis negeri ini. Dengan nilai uang sebesar itu, misalnya, kita  dimungkinkan untuk membangun 5.675 km rel kereta api ganda (cukup untuk seluruh Sumatera), atau 3.200 km jalan rol (sama dengan target 25 tahun kita) atau sebanding dnegan mengratiskan biaya kuliah seluruh mahasiswa Indoensia selama 32 tahun berdasar hitungan Mendikbud RI. (Hal 78)  

Justru menurut Radhar di kalangan rakyat kecillah ada ruang kebudayaan yang menjadi ruang merenung mengenai arti cukup di zaman kapitalisme ini. Hidup yang bernaung pada kerja sama, gotong royong, teduh membantu, bukan saling menikam dan menjatuhkan seperti kompetisi. Ekonomi cukup mencoba melawan budaya hidup lebih.

Kita akan merenungi ‘hidup lebih’ yang mendasari kita seolah wajib untuk bekerja keras, berkompetisi, bahkan jika perlu menggunakan semua cara, antara lain dengan menyikut atau menghabisi para pesaing (157).

Hidup yang cukup itu didapati dari pengalaman dan perhatian Radhar dari seorang pedagang nasi uduk bernama Bang Uki. Bang uki yang telah berdagang nasi uduk di pinggir pasar Kebayoran Lama, Jakarta selatan selama dua puluh tahun telah  mengajarkan akan arti cukup.

Prinsip hidup yang cukup adalah landasan bagi sebuah “ekonomi cukup“ di mana manusia tidak lagi mengeksploitasi diri (nafsu)nya sendiri, juga lingkungan hidup sekitarnya (168). Hidup yang dicukupi adalah hidup yang dipenuhi seluruh kebutuhannya sebatas yang perlu, tidak dilebihkan tidak dikurangkan (hal 206)

Hidup tradisional masyarakat kita yang bahari mengajarkan akan bisnis dan ekonomi yang mengajarkan moralitas dan etika. Disinilah ekonomi cukup yang berada pada adab kultural.

Perilaku bisnis dan ekonomi tradisional negeri ini mengajarkan satu moralitas: hidup wajib dicukupi, tapi haram dilebih-lebihkan (hal 166). Ekonomi cukup adalah sebuah sistem ekonomi yang sungguh berfondasi pada nilai-nilai luhur dan mulia yang dikembangkan, dipertahankan dan diwariskan oleh sebuah kebudayaan (hal 207)

Dalam nuansa budaya bahari warisan adab ekonomi cukup dapat kita ambil contoh. Nelayan kita  hidup dengan laut yang mengajarkan  hidup cukup dengan  mensyukuri alam.

Ekonomi cukup yang berbasis pada adab bahari, persaingan keras-dengan maksud memenangkan atau menaklukan diganti oleh semangat berbagi dan membagi (rezeki) untuk kemashlatan kolektif. Persaingan hanya ada dalam hiburan, yang sifatnya sementara tidak terlembagakan tidak jadi acuan atau simbol status, apalagi sumber dari penghasilan, sebagaimana adab modern mengajarkan dan mempraktikannnya di semua bangsa ( hal 208)

Resesensi ini masuk di Koran Jakarta  edisi 5 November 2015 

http://www.koran-jakarta.com/?pg=berita_detail&berita_id=38020&menu_id=41





Posted on Rabu, November 25, 2015 by Rianto

No comments

Kamis, 11 Juni 2015

Di masa depan masyarakat akan semakin luas terkoneksi lewat internet. Mereka mampu menembus batas geografis dengan hadir di dunia maya. Ini cukup memiliki telepon genggam berinternet. Kemudahan berbisnis masa depan tecermin dalam ramalan buku The New Digital Age yang ditulis Erich Schmidt dan Jared Cohen. Dunia telah memasuki era baru digital di mana kemudahan dan juga tantangan saling berkelindan.

Ada cakrawala baru dalam memandang negara, bisnis, dan hidup. Fenomena pemecah belahan internet akan terjadi akibat negara masuk mengaturnya terutama terkait keamanan negara. Setiap negara akan mengembangkan internet dengan penyaringan yang berbeda-beda sesuai kebijakan. Maka ke depan internet dunia menjadikan jejaring negara-negara saling terhubung dengan batasan dan kontrol.

Informasi akan mengalir bebas di dalam negeri, tetapi tidak melintas ke negara lain karena penyaringan, bahasa, atau sekadar preferensi pengguna (hal 85). Meskipun ada sensor yang membatasi pengguna internet, masyarakat akan saling terhubung. Pengunaan internet akan membuat taraf hidup meningkat di masa depan. Namun tantangan terberat dalam masa depan negara dalam era baru digital banyak perubahan terus-menerus terkait aksi-aksi terorisme. Negara tak boleh abai dengan kemungkinan-kemungkinan terorisme yang beradaptasi dengan teknologi informasi seperti internet dan telepon pintar. Ini bakal membawa wajah baru terorisme masa datang.

Buku secara khusus mem- bahas masalah terorisme dan keamanan suatu negara di bab lima. Teknologi adalah alat ampuh untuk berbagai kepentingan, termasuk oleh para teroris. Masih segar dalam ingatan saat ISIS menggunakan Youtube mengirimkan ‘pesan’ melalui video- video. Di daerah konflik seperti Irak, teroris mampu membuat bom telepon genggam hanya dengan modus getar. Kini kehadiran internet dan telepon genggam yang semakin canggih akan membuat teroris memanfaatkannya untuk tindak kejahatan.

Teroris akan mengalihkan operasi ke ranah maya dan memadukannya dengan serangan dunia nyata (164). Para teroris akan makin gencar menyusup ke perusahaan seluler dan internet (167). Buku ini membuka cakrawala baru masa depan. Masyarakat akan mengakses internet semakin mudah.
Di era baru digital manusia ditantang beradaptasi akan perubahan cepat dalam bisnis, hidup, dan bersosialisasi. Pemahaman mengenai internet mesti diinstal ulang. Sebab kemudahan bisa saja memunculkan kejahatan- kejahatan dan terorisme. Mesti begitu, era baru digital adalah zaman di mana mayoritas penghuni dunia akan diuntungkan oleh konektivitas, mengalami efisiensi, kesempatan baik, serta taraf hidup meningkat.

 Diresensi Rianto, lulusan Universitas Negeri Jakarta. Tulisan ini masuk di Koran Jakarta 10 Ju

ni 2015




Posted on Kamis, Juni 11, 2015 by Rianto

No comments

Sabtu, 06 Juni 2015

Mei '98 adalah tragedi kolektif yang terus mengundang ingatan dan perayaan seremonial. Kini kealpaan akan ingatan tentang tragedi Mei 98 itu berujung pada pembangunan prasasti. Kita berpengharapan dengan adanya prasasti akan menjadi obat mujarab untuk terus menjaga ingatan memorial kolektif atas tragedi Mei 98. Monumen diharapkan juga sebagai simbol perlawanan akan amnesia sejarah. Ahok dijadwalkan meresmikan prasasti Mei 98  yang di bangun di Taman Pemakaman Umum (TPU) Pondok Ranggon, Jakarta (Republika, 12 Mei 2015).

  Ingatan kita mengenang sejarah dengan pembangunan monumen ataupun prasasti  selalu merujuk pada cara Soeharto. Soeharto tampil sebagai pahlawan dalam menumbangkan orde lama dengan meninggalkan jejak-jejak kepahlawanannya melalui pembangunan monumen dan prasasti. Saat Soeharto tumbang warisan simbol-simbol itu masih ada. Kita pun ditinggalkan warisan berupa monumen pahlawan revolusi jenderal-jenderal  yang dihabisi oleh PKI di Lubang Buaya. Tidak hanya itu, ingatan akan “jasa” Soeharto pun menjelma pada monumen, museum, pendirian Taman Mini, dan juga penamaan jalan-jalan yang berlabel militeristik.

 Dua tahun sebelum tragedi Mei 98, Soeharto masih sempat meninggalkan ingatan. Dalam buku 50 tahun Indonesia Merdeka (1997) menampilkan rekam jejak kepahlawanan ala Soeharto menumpas PKI.  Sekaligus menghimpun foto-foto yang melabelkan beliau sebagai pahlawan tragedi 65 serta pelabelan sosok Soeharto sebagai bapak pembangunan. Konon di sana kita terpaksa mengingat Soeharto yang selalu ditampilkan hadir membuka peletakan dan peresmian sebuah proyek pembangunan. Kita pun patut meyakini seremonial  ingatan mengenai tragedi dengan mendirikan dan peresmian berupa monumen, prasasti,  adalah sisa-sisa cara berpikir “Orde Baru ala Soeharto” untuk menertibkan ingatan pikiran kolektif. Kita mesti ingat Soeharto berkuasa, banyak menghasilkan sastra perlawanan berupa puisi, cerita pendek, novel.

Kita mesti eling sejarah tanpa harus mengingat dengan prasasti. Widji Thukul tokoh yang hilang dalam tragedi 98 justru mengingat kekejaman militer saat itu melalui puisi. Widji Thukul sadar puisi lebih sangar dibanding harus membangun prasasti. Widji Thukul mengingatkan kita akan dengan puisi,//ingatan rakyat serupa bangunan candi//kekejaman penguasa setiap jaman//terbaca di setiap sudut dan sisi yang menjulang tinggi// (Apa Penguasa Kira, Tempo 2013). Di zaman Soeharto berkuasa Widji Thukul juga terbilang aktivis yang rajin menulis puisi di selebaran mahasiswa, koran, buletin, dan sebagainya. Widji Thukul juga mengurusi cetakan buletin Ajang dan Suara Kampung. Pilihan literatif lebih dipilh dibanding seremonial.

Martin Alieda menghimpun ingatan-ingatan dan suara para eksil akan tragedi 65 melalui kumpulan cerpennya Leontin Dewangga (2003). Dalam cerpennya Leontin Dewangga, Malam Kelabu, Ode untuk selembar KTP justru menampilkan wajah militer berlatar tragedi 1965. Seno Gumira Ajidarma sastrawan cum wartawan juga mengenang tragedi melalui cerita-cerita pendek yang digubahnya dari sebuah tragedi kemanusiaan. Senogumira dalam cerpennya Aku Pembunuh Munir (2013) mengabarkan melalui sastra proses mengingat akan susahnya mengungkap pelaku pembunuh aktivitis Munir. Sastra mesti bersuara. Melalui sastra lebih bersuara ketimbang membangun prasasti.

Mengenang ingatan melalui prasasti justru mengungkapkan kemunduran dan pengaminan cara berfikir Soeharto yang menertibkan ingatan dengan membangun monumen, prasasti, museum. Kita lebih terhormat memilih menjaga ingatan dengan membaca puisi-puisi Widjhi Thukul dibanding harus mengikuti upacara seremonial pembangunan prasasti tragedi Mei 98. Jika Soeharto berkuasa tampil sastra-sastra perlawanan. Justru di zaman reformasi ini kita malah menampilkan prasasti sebagai ingatan kolektif.  

Tulisan ini masuk di Koran Berita Bekasi (04/06/2015)


Posted on Sabtu, Juni 06, 2015 by Rianto

No comments

Kamis, 02 April 2015

Penyair hadir di kota melukiskan suasana dengan sajak. Kuntowijoyo saat di Amerika merekam suasana kota dengan Sajak. Buku kumpulan puisinya “Isyarat” (Pustaka Jaya, 1974) menjadi mata baca suasana dan peristiwa itu. Buku yang aku beli dari teman dengan harga sepuluh ribu ini merupakan kumpulan puisi  Kuntowojoyo yang pertama kali aku koleksi.

Kuntowijoyo merupakan sastrawan cum sejarawan. Karya-karyanya terkadang melukiskan keadan desa dan kota. Orang-orang dan pergulatan hidupnya terkadang dilukiskan Kuntowijoyo melalui sastra, entah itu puisi maupun cerita pendek.  Buku puisi isyarat ini pun menghadirkan manusia dari segi filosofis. Bahkan dikatakan di buku itu Kuntowijoyo melukiskan keadaan kotapun ia berusaha mencari dan melihat latar belakang yang jauh lagi. Aku menyukai sajak New Heaven di buku itu.

Mari kita simak sajak New Heaven,
Di Kota
angin tidak berhenti  
mengetuk jendela
            membangunkan perempuan tua
            yang tertidur di sofa tua

        Susana kesepian perempuan tua itu digambarkan Kuntowijoyo melalalui sajaknya itu. Menunggu anak cucu berdatangan di apartemen perempuan tua..

            Gedung kelabu
            menyembunyikan Chihuahua
memainkan ujung kupingnya
kepada kaki kursi
Kadang duduk di situ
anak dan cucu
yang datang pada libur christmas

Telepon menjadi penghibur perempuan tua itu. Mengajak mengobrol perempuan tua lain untuk membunuh sepi. Di rumah para tua itu perempuan tua yang lain adalah kawan  sekamar. Peristiwa menelpon adalah suasana kangen akibat lama tak bersua sesudah bye-bye.

Tidak ada lagi peghuni petak itu
ketika perempuan tua menelpon seseorang
perempuan tua yang lain
yang bakal jadi kawan sekamar
di sebuah rumah para tua
Tidak meletkan gagang kembali
lama sesudah bye-bye

Perasaan cemas akan kota dengan gedung-gedungnya menyingkirkan imajinasinya, kenangan mereka yang tua. Kita pun merasa cemas menjadi tua di kota. Terkadang perasaaan tak ramah itu datang dari keramaian sebagai memori yang mengingatkan akan kenangan.

tiba-tiba ia merasa cemas
apartemenet itu tak ramah lagi
seolah ia penunggu yang ceroboh
lalu lintas di bawah
terdengar sebagai kenangan silam
yang ingin ia lupakan

Sebuah kota hanya menawarkan keanehan bagi si perempuan tua. Kota pun menjelma seperti pengusir orang-orang tua. Kita pun menduga kota mengasingkan dan menyingkirkan yang tua bukan hanya melalui gedung-gedung dan keramaian yang mencipta keanehan bagi si perempuan tua.Oh, kota mengasingkannya.

Seluruh kota sudah jadi aneh baginya
Dunia sedang mengasingkannya

dengan pasti 

Posted on Kamis, April 02, 2015 by Rianto

No comments

Rabu, 01 April 2015

Imajinasi kita tentang pelajar masa lalu tak bisa lepas dari buku-buku. Kita teringat akan pelajar masa lalu yang menjaga ingatan tentang hidup berbuku. Harry Poeze dalam bukunya Di Negeri Penjajah (2014) mencatat ingatan-ingatan pelajar terdahulu yang gemar menjadikan buku dan menulis  risalah-risalah. Abdul Rivai saat menjadi pelajar di belanda tahun 1911 membuat risalah penting Bintang Hindia yang berisi ide-ide kebangsaan. Noto Soroeto pemikir kontroversial pun membuat sebuah perusahaan percetakan Boekhandel en Uitgevers-Mij Hadi Poestaka yang menerbitkan buku puisinya Lotos en Morgendauw (Teratai dan Embun Pagi).

            Jauh sebelum itu, kita pun terkenang akan buku Kartini Door Duisteris tot Licht  yang diterbitkan di Belanda tahun 1901 sebagai bukti penyebaran ide-ide Kartini melalui buku. Buku  dibuat dan dicetak sebagai alat penyebaran gagasan Kartini. Roekmini adik Kartini begitu terharu terbitnya buku kumpulan tulisan Kartini ini. Terbitnya buku membuat Kartini seperti hidup kembali. Kartini hidup sebagai ide yang terus menjadi oase ide perjuangan sekolah dan pendidikan. Roekmini begitu terharu menerima buku dari Tuan dan Nyonya Abendanon yang memuat surat-suarat Kartini.  Roekmini menulis, “seolah-olah Tuan telah mengembalikan masa muda kepada saya, telah membangkitkan diri saya dengan semangat baru dan memberi saya kekuatan untuk terjun kembali dalam perjuangan yang harus dijalani demi kebahagian kami semua, dan khusunya untuk kami, kaum wanita.” Kita percaya  buku mengembalikan ide dan imajinasi perjuangan.

            Buku menjadi agenda penting dalam revolusi kemerdekaan. Koentjaraningrat (1998)  lulusan  SMT Djakarta 1942-1945 mengenang dalam esainya Tugas Mengurus Buku di Zaman Jepang dan Zaman Perjuangan terdapat kisah mengenai  perjuangan penting melalui buku-buku. Koentjaraningrat  mengenang “buku-buku yang dibuang kenpetai dan kami punguti itu diangkut dengan gerobak-gerobak dan delman-delman ke stasiun Manggarai dan Stasiun Jatinegara”. Koentjoroningrat menjadi saksi sejarah bagaiman buku ditelentarakan oleh Kenpetai Jepang dari museum-museum Jakarta.

           Koentjoroningrat eling menyelamatkan buku menjadi agenda penting menjaga ingatan akan pengetahuan. Buku dipunguti dan diangkut ke Yogyakarta. Buku disimpan didalam karung untuk mengelabui tentara Belanda. Koentjaraningrat mengingat,“Buku-buku tersebut kami sembunyikan di bawah karung-karung beras, sayuran, dan bahan-bahan pangan lainnya”. Koentjoroningrat yakin buku akan menjadi suluh pengetahuan yang menjaga mahkota pengetahuan. Ingatan itu dijaga dari risalah-risalah dan buku-buku.


            Kita masuk ke abad 21 yang tak lagi menjadikan buku sebagai mahkota pengetahuan. Kampus-kampus jarang membuat agenda bedah buku dan membicarakan buku. Kampus gebyar spanduk promosi iklan. Perpustakaan berlomba mendapatkan ISO  namun sepi akan acara-acara yang membangkitkan imajinasi dan literasi. Kini kita meributkan ongkos cetakan buku pelajaran yang ditarik kembali akibat kisruh kurikulum 2013. Buku menjadi bahan ributan yang selalu dibaca secara ekonomi (baca uang). Buku mesti dibaca secara kebudayaan yang menjaga tradisi dan ingatan. Kita lupa ingatan akan buku yang menjadi mahkota pengetahuan.

Posted on Rabu, April 01, 2015 by Rianto

No comments

Selasa, 31 Maret 2015

Sous le pont Mirabeu coule la Seine
(Di bawah jembatan Mirabeau mengalir Sungai Seine)

Sitor mengawali esainya Paris :Yang Dikenang, Yang Dilupakan (1999)  mengutip sajak “Le pont  Mirabeu “ oleh G. Apollinaire itu. Sungai yang membelah kota terkadang menjadi agenda tak pernah selesai sebagai pemantik imaji dalam bersajak.  Penyair selalu punya dalih dan mengingat ‘kilas balik’ sebuah kota melalui sajak. Simbol-simbol kota dan jejak perjalanan pada sajak yang digubah sang penyair menjadi kunci “membaca kota” sekaligus membaca biografi hidup sang penyair.

Kota-kota yang bersentuhan dengan penyair memantik ingatan “perjalanan” sang penyair dalam proses pematangan dalam mencipta sajak. Kita tak bisa pungkiri tubuh sang penyair yang membaca teduh dan gaduh kota mengingat prosesi itu dengan sajak. Barangkali kita bisa menikmati kota-kota yang tak pernah tersentuh, yang kadang nampak imajiner itu melalui puisi, esai, maupun cerita pendek sang sastrawan.

Penyair selalu ingin bergerak dari kota ke kota. Dari rumah ke rumah yang lain. Dari kampung halaman ke kampung halaman yang lain. Penyair selalu punya “keinginan” transit ke sebuah kota dengan mengingat perjalanan ‘kilas balik’ itu melalui sajak. Kita yang membaca sajak dalam proses kreatif sang penyair menjadi merindu, kasmaran bahkan menjadi mengingat-ingat akan kota yang digambaran melalui sajak itu.

Pemantik awal

Sitor mengaku saat remaja membaca buku “Melawat Ke Barat”  karya wartawan kondang Adinegoro. Buku yang berisi perjalanan-perjalanan yaang ditulis Adinegoro itu menjadi pengingat akan barat yang menjadi kiblat pengetahuan. Sitor mengingat, “Di masa remaja saya pernah membaca buku karangan Adinegoro, wartawan pioner  yang pernah bersekolah di Nederland di tahun 1920-an. Ia menulis cerita perjalanannya waktu  pertama kali  ke Eropa, yang di masa itu  berarti naik kapal laut menempuh perjalanan selama 6 minggu , lewat terusan Suez” (Sitor Situmorang Seorang Sastrawan 45, hal 120)  

Penyair menjadi mata membaca kota. Perjalanan-perjalanannya dimungkinkan dengan lahirnya puisi-puisi dengan kata sebgai simbol penyair yang ingin menggambarkan apa yang dilihat dan dirasakan. Suasana dan peristiwa, gambaran orang-orang yang bakal tercermin dalam syairnya justru membuat kita betah membaca biografis kota dari puisi.

Sitor yang hidup dengan imaji kampung dan kedekatannya dengan sang ayah sebagai kepala suku menjadikan sitor ingin hidup mengembara. Sitor ingat betul dengan filosofi ayahnya yang membuatnya ingin berkelana. Sejak kecil Sitor diajak ayahnya yang kepala suku itu mengembara dari desa ke desa lain. Menyusuri kampung ke kampung dan melewati pelbagai bukit. Disanalah Sitor mengerti, tugas kepala suku adalah pencatat sejarah. Perjalanan seorang ayah yang membawa keyakinan kepada Sitor telah mencipta imajinasi pengembara sekaligus pencatat sejarah.

Hidup Sitor ditengah pergulatan primodial kesukuan, kemerdekaan, perang, dan kota-kota yang merangkak menjadi modern menjadikan Sitor sebagai penyair yang banyak mempunyai banyak ingatan akan kampung halaman. Ajip Rosidi dalam kata pengantar buku “Sitor Situmorang Kumpulan Sajak 1948-1979” (Komunitas Bambu, 2006) menyebut Sitor sebagai penyair yang mempunyai banyak kampung halaman. Yogyakarta, Jakarta, Bali adalah kota yang mengembangkan imajinasinya. Di Asia kita akan menemukan kota ynag disingahinya di China maupun Jepang. Begitupula Eropa dengan Parisnya telah menghilangkan rasa hausnya akan kesusasteraan barat yang hanya didapatkan lewat membaca buku maupun berdiskusi.

Mari kita menikmati beberapa sajak Sitor yang menjadi kata kunci membaca kota. Dalam Sajak Pasar Senen Sitor kehilangan akan gadis “Aminah”. Suasana kesepiannya akan Aminah, berdialog dengan kawan-kawannya macam tukang becak, tukang delman, supir yang menjadi teman menikmati keindahan senyum Si Kebaya Merah. Terkadang kita masih menikmati di tempat-tempat pangkalan macam warkop masih berkumpul orang-orang melepas penat sehabis bekerja dengan menyeruput kopi dan memandang perempuan-perempuan. Di sanalah hidup apa yang dimaksud dengan gejala migrasi ke kota. A Teeuw mengatakan setiap penyair tentu sibuk dengan hidup dan pikirannya. Penyair melalui sajak pun hadir menjadi pemantik ingatan akan perkembangan kota.

Ke mana kawan  semua
Supir, tukang delman
Teman berdampingan
Kita semua bersenda                                                          
Menampung senyuman
Si Kebaya Merah
Dari Kepulan asap merekah
Hai Tukang becak
Bilang padaku
Dewiku
Ke mana kau Bawa
(Sajak Pasar Senen)
Paris di Mata Sitor
            Paris sebagai kota kebudayaan selalu seksi di mata penyair. Wing Kardjo penyair yang membuat disertasi tentang Sitor Situmorang justru menyebut Paris sebagai kota yang dapat bicara tentang hidupnya. Wing Kardjo menganggap sajaklah yang dapat berbicara keras tentang hidup penyair dan jejaknya. Kita pun dapat membaca perjalanan penyair melalui jejak-jejak sajak itu. Kita simak sajak Sitor,

Inilah Paris, kota penyair
            Gua segala yang terusir 
Laut lupakan  sesah
Dalam dekapan satu wajah

(Paris Janvier,1953)
           
            Paris kota penyair. Kita menyadari betul konsep Paris yang kita duga adalah kota yang penuh cinta dan romansa. Seorang penyair macam Wing Kardjo menyindir dengan menyebut Paris sebagai kota yang dirindukan tetapi un mal aime yakni kota yang mirip dengan cinta yang jahat. Kita pun memandang kota yang penuh dengan clochard (gelandangan). Kota yang dihuni binatang serakah. Sitor pun menggambarkannya dengan,

            Kelupaan sebuah kota
            Di mana duka berwujud manusia
            Dan bahagia pada manusia tak punya
           
(Paris Janvier,1953)                                                                                                          

Kembali dalam esainya, “Paris Yang Dikenang Dan Yang Dilupakan” Sitor mengungkapkan Paris sebagai kota yang dikunjungi saat ia menjadi wartawan. Tahun 1952 Sitor berkesempatan menikmati “Pameran abad ke 20”. Sitor menulis, “Di saat itu saya merasa seakan-akan semua itu digelarkan demi memenuhi kebutuhan saya pribadi memuaskan kehausan saya “minum langsung dari sumbernya” (kesenian modern).”. Sitor pun mengenang Paris pada perjalannya di tahun 1952, 1957, 1964, 1977, 1981, 1986, 1989, dan terakhir 1991.

Penyair berkunjung dan hadir di kota yang pernah ia singgahi sebagai “kunjungan kilas balik” untuk mengenang tempat, suasana, maupun peristiwa. Penyair menjadi pencatat sebuah kota. Di perjalanann Sitor ke Paris tahun 1992 adalah hari istimewa bagi Sitor. Sebuah puisi  Apollinaire yang ia kutip, terbayang  Sitor akan penyair itu singgah di sebuah rumah dengan plaque tertulis,

plaque Dans cette maison
vecut et mourant
(janvier 1913-9 novembre 1918)
Le Poete Guillaume Apollinaire 

Seorang penyair hadir di kota bukan menjadi orang asing melainkan menjadi perantau yang mempunyai imaji setiap kota adalah kampung halamannya. Barangkali itu juga yang diyakini oleh Sitor. Restauran saat makan malam bersama temannya Francoise dan Jean, Sitor merasa bukan sebagai orang asing. Kilas balik ingatan saat pertama kali tinggal di Paris tahun 1952 pun terbayang. Kenangan akan eropa itulah yang dianggap Subagio Sastrowardoyo menempatkan Si anak hilang itu sebagai sosok yang eropa mesti ia pun kangen dengan kampung halamannya di Indonesia. “Hanya jasmani anak itu yang kembali ke tengah keluarga dan desanya, tetapi jiwanya masih tetap tinggal di eropa,” kata Subagio (Subagio,1980:100).

Di sebuah restaurant, Sitor mungkin bertemu dengan orang-orang baru, namun yang membuat Sitor kasmaran adalah mengingat puisi dan penyairnya. Seperti saat Sitor teringat akan Apollanaire dengan sajaknya hadir bersama di restauran itu. Ingat, penyair akan hadir di kota dan mengingat perubahan kota melalui imaji “kilas balik” melalui sajak. Barangkali setiap kota adalah kampung halaman bagi penyair. Sitor pun menulis sajak,

Akankah aku ikut latah?- berkata:
Paris Sudah berubah!
30 tahun kemudian, aku kini
kembali
di peron yang sama, hanya

Kau tak ada.
(Paris 1977 (chanson kecil) )


Posted on Selasa, Maret 31, 2015 by Rianto

No comments

Di suatu diskusi yang diadakan Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) saya mengajukan Ni Jo Lan sebagai penulis sastra tionghoa peranakan yang patut untuk didiskusikan. Kita mungkin lupa, merayakan imlek bukan saja merayakannya dengan mengucapkan  Gon Xi Fa Coi di media sosial seperti Path, twitter, maupun facebook. Kita pun bisa merayakan imlek dengan berdiskusi buku-buku sastra tionghoa peranakan atau yang dikenal dengan sastra yinhua. Agar kegembiraan merayakan imlek melalui buku menjadikan kita waras dan tak amnesia tentang sejarah sastra peranakan Tionghoa-Indonesia.

Lan Fang (2012) dalam esainya “Ghirah Sastra Tionghoa Terus Menyala” mengatakan sejak Inpres tahun 1967 sebagai politik orba, gairah sastra tionghoa peranakan mati suri. Lan Fang menganggap  sastra tionghoa peranakan pun ibarat mati segan  hidup pun tak mau. Kita mengenang  majalah  Xing Ho dan koran-koran Ta Kung Siang Po, sebagai tempat menulis.

Ni Jo Lan pernah menulis buku yang berjudul Sastera Indonesia Tionghoa (1957). Buku tersebut ditulis agar menjadi pengingat akan sejarah sastra yang ditulis orang-orang tionghoa peranakan. Ni Jo Lan dalam kata pengantarnya mengatakan,“hasil sastera itu merupakan tipifikasi suatu zaman jang sudah silam, sedjarah kemasjarakatan suatu golongan bangsa di Indonesia kita pada masa itu, dan alat penundjuk angan-angan jang hidup dalam golongan itu”.

Justru dari sastra itu Ni Jo Lan ingin mengajukan pembacaan sejarah Indonesia  melalui buku-buku sastra Indonesia-Tionghoa. Ni Jo Lan percaya hasil karya sastra tionghoa peranakan meski “bahasanja miskin”, namun penuh dengan bahan-bahan pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman studi.   

Leo Suryadinata mengatakan Ni Jo Lan merupakan tokoh penting yang menulis tentang sejarah sastra tionghoa peranakan. Tahun demi tahun, Ni Jo Lan pun senyap karena jarang didiskusikan buku-bukunya. Pramoedya Ananta Toer-lah sastrawan Indonesia yang memulai memasukan karya-karya sastra peranakan tionghoa ini. Pram mengamini apa yang dikhawatirkan oleh Ni Jo Lan bahwa jika tidak ada penelitian lebih lanjut sastra tionghoa peranakan akan hilang begitu saja. Ni Jo Lan (1957) gelisah dengan menulis,“sastera  ini akan lenjap terseret arus sang Kala”. Ni Jo Lan banyak mengajukan penulis-penulis Tionghoa peranakan yang banyak menerbitkan karyanya sebagai pemuas dahaga akan bacaaan sastra tionghoa. 

Selain Ni Jo Lan, kita pun patut merujuk pada Djames Danandjaya. Djames Danandjaya pernah menulis tentang Folklor Tionghoa (2007). Djames Danandjaya menulis buku itu sebagai upaya mengobati amnesia sejarah. Menurut Djames Danandjaya suku bangsa  mayoritas Indonesia  mengalami hypnoticamnesia sedangkan suku bangsa Tionghoa adalah autohypnotic amnesia. Patut menjadi catatan adalah mengenai autohpynotic amnesia ini.

Djames mengatakan autohypnotic amnesia disebabkan oleh penguasa. Indoktrinasi yang dilakukan oleh penguasa Orba berupa pelarangan sekolah dan penerbitan berbahasa Cina, penggantian nama, pelarangan upacara di depan umum menyebabkan suku bangsa tionghoa melupakan jati dirinya. Dalam kata pengantar Djames Danandjaya menulis, “Akibat indoktrinisasi yang dilakukan secara sitematik itu, kebanyakan orang tionghoa karena patuh  pada politik pemerintah Orba dengan sadar atau tidak sadar telah melupakan jati dirinya” 

Di era reformasi Gusdur membawa angin segar bagi perkembangan sastra yinhua ini. Agus Setiadi (2010) dalam esainya “Geliat Sang Naga Dalam Pustaka” mencatat beberapa buku yang hadir menghias di toko buku setelah reformasi. Kita pun dapat mencatat novel-novel yang hadir menjadi referensi membaca sang naga dalam pustaka. Remy Sylado salah satu sastrawan yang rajin menulis novel bernuansa tionghoa. Kita bisa mnegingat karya-karaya Remy seperti Siau Ling Cau Bau Kan, Sam Po Kong Perjalanan Pertama. Ataupun karya terjemahan Pramoedya Annata Toer berupa Dewi Uban dan Opera Lima Babak.     


Kita mesti merayakan imlek dengan berliterasi. Menggalakan kembali membaca dan mendiskusikan buku-buku sastra Indonesia-Tionghoa.  Djames Danandjaya mengingatkan kita bahwa orang tionghoa bukan hanya dikenang melalui jenis makanan macam: bakmi, tahu, tauco, dan sebangainya. Kita pun patut mengajukan referensi berupa buku-buku karangan penulis-penulis Indonesia-Tionghoa. Mengenang sekaligus menjadi mengobati penyakit amnesia sejarah.     

Posted on Selasa, Maret 31, 2015 by Rianto

No comments

Jakarta sebagai ibu kota sering mendapatkan kritik dari orang-orang dengan pelbagai cara. Cap Jakarta sebagai kota langganan banjir serta termasuk kota yang tidak aman menghadirkan meme di media sosial. Meme pun hadir menjadi penghibur sekaligus kritik akan Jakarta.

Kita gampang tertawa melihat meme yang dihadirkan untuk sekedar hiburan dan mengundang tawa. Meme yang kita kenal selama ini merupakan plesetan berupa gambar dan kata dengan tujuan menghibur. Kita mengenal meme yang hadir sebagai kritik yang mengundang tawa. Richard Brodie (2014) dalam bukunya Virus Akal Budi : Ilmu Pengetahuan Baru Tentang Meme mengatakan meme dapat bekerja seperti virus. Meme dapat mempengaruhi perilaku dan pikiran orang-orang.

Abad 21 dalam dunia digital menghadirkan meme sebagai media kritik dan hiburan.  Kita jarang menghadirkan puisi sebagai penghibur dan renungan akan kota. Sebuah puisi juga sanggup berbicara dan bergelimang makna akan imajinasi kota. Ajip Rosidi dalam puisinya “Kepada Jakarta”(1955) memantik ingatan kita membaca kota. Melalui puisi itu Ajip memberikan gambaran melankolik,”Tiada nyanyi seduka Jakarta” barangkali menjadi kritik pada kota Jakarta. Penyair hadir menyemarakan sketsa kota melalui puisi. A Teeuw mengatakan setiap penyair tentu sibuk dengan hidup dan pikirannya. Penyair melalui puisi pun hadir menjadi pemantik ingatan akan perkembangan kota.

             Puisi menjadi obat lupa ingatan akan sejarah. Puisi Zeffry Alkatiri misalnya sering menghadirkan imaji sejarah dengan menghadirkan tokoh-tokoh moncer macam Raffles, J.P. Coen, Mojen. Bandung Mawardi (2014)  menghadirkan Zeffry Alkatiri sebagai penyair yang mengamanatkan sejarah. Puisi menghadirkan imaji akan ingatan akan sejarah. Sebuah puisi dihadirkan menjadi mata yang awas akan perkembangan kota. Puisi menjadi renungan akan masalah sosial, ekonomi, politik. Melalui puisi penyair mengantarkan kita pada renungan akan kota.

            Puisi Zeffry Alkatiri berjudul, “Kapan Kau datang Lagi, Jaap” (2002-2005), menghadirkan tokoh-tokoh sejarah yang pernah mendirikan kota di Hindia Belanda. Dalam puisi itu, Zeffry membuat renungan dengan menulis, //oleh sebab itu, kirimkan kami J.P. Coen, Deandles //dan Mojen kembali//agar kami dapat belajar membangun beberapa kota//.

            Kita mengenang Deandels merupakan gubernur jenderal yang membuka Jalan Raya Pos. Jalan yang membuka gerbang kota-kota lain bermunculan seperti Bandung, Cirebon, Semarang. Emile  Leushuis (2014) menyebutkan bahwa Daendels jugalah yang memberikan perintah penataan kembali kota-kota penting di pesisir utara Jawa. Kini kita pun mengenang kota-kota pusaka semacam Jakarta, Cirebon, Bandung, dan Semarang sebagai warisan peradaban kota.

            Chairil Anwar membuat puisi yang meninggalkan jejak-jejak membaca kota. Chairil menghadirkan puisi-puisi yang berkisah tentang modernitas dalam kota. Marco Kusumawijaya (2008) menganggap Chairil sebagai penyair yang membaca kota. Marco menganggap di dalam ruang kota, sajak bisa bicara tentang zaman. Puisi pun menjadi ‘dokumentasi kata’ akan gerak perkembangan kota Jakarta yang merangkak menunju modernitas. Chairil dalam sajak “Aku Berkisar Pada Mereka” (1949) mengungkap kota melalui jalan, film, musik, lampu jalan dalam larik-lariknya sebagai rekam jejak kota Jakarta dalam sajak.  Persis  apa yang dikatakan Afrizal Malna bahwa para penyair dapat melihat perkembangan kota yang lebih progresif melakukan modernisasi melalui puisi.         

            Saat Jakarta diserang banjir kita melulu mengabarkan banjir melalu medai sosial. Lalu bercanda dengan gambar meme yang mengundang tawa. Mengunggah foto dan berkicau  mengenai banjir melaui facebook, path, maupun twitter. Justru kita rindu dengan puisi yang menjadi mata hati membaca kota. Kita mengabaikan peran puisi dalam memaknai kota. Puisi pun berhak dihadirkan menjadi lentera membaca kota. 

Posted on Selasa, Maret 31, 2015 by Rianto

No comments

Selasa, 27 Januari 2015

I
            Kota kecil macam Spectre dengan rumput dan daun-daun yang hijau tetap saja membutuhkan seorang penyair sebagai pemikat pagi yang penuh susu dan roti. Imajinasi itu muncul ketika  penyair  yang mirip“ikan kecil” masuk ke kota kecil pula yang di dalamnya orang-orang enggan, bahkan tak ingin bersepatu. Barangkali kota tak membutuhkan sepatu. Kota butuh penyair saat malam-malam gembira dengan musik penuh gairah membuat orang-orang menghentakan kaki ikut berdansa sambil bersajak.

            Sang penyair duduk dikelilingi perempuan-perempuan cantik yang penuh pesona menunggu kata pertama dalam bait syair sang penyair itu. Kertas yang sedari tadi dipegangnya memikat wanita-wanita disekelilingnya. Saat penyair membacakan dengan pelan dan datar sajaknya, “Mawar merah// violet biru// Aku cinta Spectre”. Itulah puisi penghabisan dari sang penyair bernama Norther Winslow dalam film Big Fish. Yang tak tersadari dari sang penyair sendiri: kota hanya menjadi tempat transit saja bagi seorang penyair. Mendiami kota untuk berpisah dan bersajak.

            Terkadang kota dengan deru dan debu menjadi ruang imaji yang dipuisikan dan dituliskan oleh orang-orang. Sebab itu saat Chairil Anwar menyebutkan kata ‘pelabuhan’ dalam sajak  “Kawanku dan Aku” ada kesan kerinduan imajinatif tentang hidup bahwa kita makhluk yang mengenang dan memikat simbol-simbol kota dengan sajak. Chairil memang orang yang mengungkapkan lapar hidupnya dalam sajak-sajak begitu kata  Teeuw dalam bukunya Tergantung Pada Kata (1983).

                        Kami sama pejalan larut
                        Menembus kabut
                        Hujan mengucur badan
                        Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan

Kota selalu dihidupi oleh orang-orang dengan rasa lapar akan sajak dan prosa. Kita merasakan serigala-serigala yang mengungkapkan kota dengan sedikit sendu. Kota tak berdaya tanpa sebuah sajak dan prosa.
II

            Kota memperoleh cahaya lampu modernitas melalui sajak.  Dalam cetakan terbatas  Chairil dan Kota (2008) yang digubah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Marco Kusumawijaya menulis esai memikat akan tafsiran aku sebagai subyek dalam modernitas. Esai panjangnya memuat kutipan penuh sajak-sajak Chairil. Menempatkan sajak-sajak Chairil pada tafsir landasan modernitas membaca kota.  Marco memberi koma yang mesti dilanjutkan bagi penafisr kota dalam sajak Chairil “Aku Bekisar Antara Mereka” merupakan sajak “jagoan” pilihan Marco yang paling mengena. Lagu pop, trem, lampu, serta  bioskop yang memutar film Amerika memadat dalam sajak yang mengerti kota dengan, “aku pakai mata mereka”.

                            Sandarkan tulang belulang pada lampu jalan saja,

                        Sedang tahun gempita terus berkata.
                        Hujan menimpa. Kami tunggu trem dari kota


            Dari pembacaan sajak itu, saat saya berjalan di sela kota yang murung akibat mendung, bau aspal yang lebab sehabis hujan semalam kaki memasuki ruang pameran di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki yang gemerlap dengan lampu-lampu terkenang akan sajak Chairil itu.

            Meminjam istilah Bre Redana “kita merayakan hal-hal kecil“ dalam mengerti simbol kota dengan lampu, jalan aspal, menara-menara. Barangkali apa yang dimaksud oleh Rudolf Mrazek dalam bukunya Engineers Of Happy Land (2006) ada perkembangan kota yang terus memikat kita dengan para pesolek kota. Di buku itu ada seorang yang hidup di zaman bergerak macam Marco Kartidikromo yang tajam ide-idenya membuat novel Student Hidjo di tahun 1918-an di saat kota-kota tumbuh merangkak  menjadi remaja. Pesolek yang  merekam perkembangan kota melaui novel.

            Kota hidup melalui kata. Justru novel Student Hidjo memikat kita bukan hanya karena novel ini menjadi pemantik imajinasi akan kota, disanalah hidup tokoh yang ditulisnya menjadi gambaran Marco sendiri sebagai pengarang menanggapi ikhwal kota dalam narasinya menjadikan Mas Marco sendiri sebagai orang modern. Orang yang merekam kota melalui sastra. Justru menjadi gambaran penulis itu sendiri yang bergeliat dengan kota.  Rudolf Mrazek menulis,“Mas Marco suka tampil dalam pakaian barat, terutama serba putih“.

III
            Mencatat kota melalui sajak ataupun novel menjadi ruang transit kata keseharian kita. Ikhwal kota transit yang begitu gemerlap dengan “imaji“ kota yang merangkak modern. Dalam novel Student Hidjo itu kita bisa membayangkan Hidjo yang mengenakan celana panjang, jas, dan dasi, ala mode dan tak dapat diragukan tentang hal ini ia memamerkan dua pena di saku jasnya sebagai simbol modernitas. Pena menjadi simbol kota yang bisa kita bayangkan sebagai gebyar modernitas.

            Orang berpena, maka ia telah menyentuh modernitas. Hidjo makhluk kota yang berpena. Serta hidup gemerlap bergadengan gadis belanda sambil menonton drama Faust. Sekali lagi, kota hanya menjadi transit bagi Hidjo. Berpisah dengan Betje, si gadis Belanda. Ia memberikan buku Post Spaarbannk sebagai tanda perpisahan di sebuah Stasiun Amsterdam. Dalam imaji Mas Marco kita dihadirkan anak manusia yang berpisah dengan kota. Di sebuah stasiun kereta Hidjo seorang terpelajar yang kembali ke tanah jawa sehabis dari Amsterdam. Lalu kota menjadi tempat perpisahan melalui buku yang di dalamnya terselip uang. Dalam sebuah perpisahan di Stasiun Amstedam Hidjo berucap, “Buku ini kamu simpan, dan uangnya boleh kamu ambil, kalau kamu ada keperluan“

            Kita bisa membayangkan imaji Mas Marco yang memunculkan Hidjo sebagai simbol manusia kota yang berada dalam ironi. Dari karyanya itu justru Mas Marco menggambarkan guratan manusia mesti siap transit dari kota ke kota lainnnya.  Kota yang dengan sendirinya terus bergerak penuh dengan simbol modernitas yang bergema dengan auto, trem dan pena-pena.

                Kapal Gunung meniupkan peluitnya yang pertama, sebagai tanda supaya orang-orang yang mengantarkan passagiers (penumpang) kapal itu supaya turun ke darat. Waktu itulah orang-orang  yang hendak pergi dan para pengantarnya saling berjabat tangan. Sebagai tanda selamat tinggal dan selamat jalan. (Student Hidjo, Hal 22)

            Kota menjadi ruang transit berpisah dan bersendu. Bersedih seperti Hidjo yang mesti bertolak dari pelabuhan Tanjung Priok menyisakan ingatan, Sriwedari, Hotel des Indes serta kekasihnya. Ataupun perpisahannya dengan gadis belanda di sebuah stasiun kereta yang ditutup dengan rasa “kangen”, airmata dan buku.

            Kita berimaji dan mengingat kota dari sebuah karya sastra. Ingatan itu muncul dari gambaran jalan, stasiun, bioskop pelabuhan di mana manusia kota lalu lalang dan berkebudayaan. Dengan membaca imaji itu, kita sudah hampir mirip penyemir sepatu yang menjaga ingatan kita tentang “sepatu yang mesti hitam mengkilap” sehabis menapaki jalan kota.

            Kota memuat kisah kesenduan yang disajakkan ataupun berupa prosa yang memikat untuk dibaca. Akankah kita sengaja dibekali ribuan buku sajak, novel yang berbicara tentang kota  agaknya agar kita dapat membaca kota dalam sastra. Tak melulu dari iklan properti dan televisi.

             Kita memerlukan siasat membaca kota. Kita sebagai manusia transit ketika di sebuah kota butuh menenteng dan menyelipkan sebuah novel maupun buku sajak ditas adalah siasat cara membaca kota. Siasat yanga gak sulit dilakukan ditengah kota yang ganas, gaduh nan muram.

             Terkadang saat membaca itu kita terpikat ingin menjadi sebuah tokoh yang dituliskan dan dikisahkan. Inilah apa yang dimaksud oleh Sindhunata dalam esainya Ambil dan Bacalah mengatakan membaca memang bisa mengubah seseorang untuk menjadi seperti yang dibacanya. Merujuk pada kisah Miguel de Cervantes tentang Don Quixote de la Mancha. Akankah kita akan menjadi Chairil  dalam sajak-sajaknya dan Mas Marco yang menghidupi lampu sajak dan prosa kota melalui novel.


            Akankah kita hidup seribu tahun lagi di semesta kota yang gebyar sastra penuh dengan kata, sajak, dan novel. Beberapa kali juga kita meratapi kesedihan ingin transit dari semesta kota yang kita diami dengan bersajak lalu berterimakasih setelahnya. Membaca karya sastra barangkali siasat untuk mengingat sekaligus melawan kesenduan kenangan. 

Posted on Selasa, Januari 27, 2015 by Rianto

No comments