Mei '98 adalah tragedi kolektif yang terus mengundang ingatan dan perayaan seremonial. Kini kealpaan akan ingatan tentang tragedi Mei 98 itu berujung pada pembangunan prasasti. Kita berpengharapan dengan adanya prasasti akan menjadi obat mujarab untuk terus menjaga ingatan memorial kolektif atas tragedi Mei 98. Monumen diharapkan juga sebagai simbol perlawanan akan amnesia sejarah. Ahok dijadwalkan meresmikan prasasti Mei 98  yang di bangun di Taman Pemakaman Umum (TPU) Pondok Ranggon, Jakarta (Republika, 12 Mei 2015).

  Ingatan kita mengenang sejarah dengan pembangunan monumen ataupun prasasti  selalu merujuk pada cara Soeharto. Soeharto tampil sebagai pahlawan dalam menumbangkan orde lama dengan meninggalkan jejak-jejak kepahlawanannya melalui pembangunan monumen dan prasasti. Saat Soeharto tumbang warisan simbol-simbol itu masih ada. Kita pun ditinggalkan warisan berupa monumen pahlawan revolusi jenderal-jenderal  yang dihabisi oleh PKI di Lubang Buaya. Tidak hanya itu, ingatan akan “jasa” Soeharto pun menjelma pada monumen, museum, pendirian Taman Mini, dan juga penamaan jalan-jalan yang berlabel militeristik.

 Dua tahun sebelum tragedi Mei 98, Soeharto masih sempat meninggalkan ingatan. Dalam buku 50 tahun Indonesia Merdeka (1997) menampilkan rekam jejak kepahlawanan ala Soeharto menumpas PKI.  Sekaligus menghimpun foto-foto yang melabelkan beliau sebagai pahlawan tragedi 65 serta pelabelan sosok Soeharto sebagai bapak pembangunan. Konon di sana kita terpaksa mengingat Soeharto yang selalu ditampilkan hadir membuka peletakan dan peresmian sebuah proyek pembangunan. Kita pun patut meyakini seremonial  ingatan mengenai tragedi dengan mendirikan dan peresmian berupa monumen, prasasti,  adalah sisa-sisa cara berpikir “Orde Baru ala Soeharto” untuk menertibkan ingatan pikiran kolektif. Kita mesti ingat Soeharto berkuasa, banyak menghasilkan sastra perlawanan berupa puisi, cerita pendek, novel.

Kita mesti eling sejarah tanpa harus mengingat dengan prasasti. Widji Thukul tokoh yang hilang dalam tragedi 98 justru mengingat kekejaman militer saat itu melalui puisi. Widji Thukul sadar puisi lebih sangar dibanding harus membangun prasasti. Widji Thukul mengingatkan kita akan dengan puisi,//ingatan rakyat serupa bangunan candi//kekejaman penguasa setiap jaman//terbaca di setiap sudut dan sisi yang menjulang tinggi// (Apa Penguasa Kira, Tempo 2013). Di zaman Soeharto berkuasa Widji Thukul juga terbilang aktivis yang rajin menulis puisi di selebaran mahasiswa, koran, buletin, dan sebagainya. Widji Thukul juga mengurusi cetakan buletin Ajang dan Suara Kampung. Pilihan literatif lebih dipilh dibanding seremonial.

Martin Alieda menghimpun ingatan-ingatan dan suara para eksil akan tragedi 65 melalui kumpulan cerpennya Leontin Dewangga (2003). Dalam cerpennya Leontin Dewangga, Malam Kelabu, Ode untuk selembar KTP justru menampilkan wajah militer berlatar tragedi 1965. Seno Gumira Ajidarma sastrawan cum wartawan juga mengenang tragedi melalui cerita-cerita pendek yang digubahnya dari sebuah tragedi kemanusiaan. Senogumira dalam cerpennya Aku Pembunuh Munir (2013) mengabarkan melalui sastra proses mengingat akan susahnya mengungkap pelaku pembunuh aktivitis Munir. Sastra mesti bersuara. Melalui sastra lebih bersuara ketimbang membangun prasasti.

Mengenang ingatan melalui prasasti justru mengungkapkan kemunduran dan pengaminan cara berfikir Soeharto yang menertibkan ingatan dengan membangun monumen, prasasti, museum. Kita lebih terhormat memilih menjaga ingatan dengan membaca puisi-puisi Widjhi Thukul dibanding harus mengikuti upacara seremonial pembangunan prasasti tragedi Mei 98. Jika Soeharto berkuasa tampil sastra-sastra perlawanan. Justru di zaman reformasi ini kita malah menampilkan prasasti sebagai ingatan kolektif.  

Tulisan ini masuk di Koran Berita Bekasi (04/06/2015)