Sabtu, 15 November 2014

View_of_Delft_-_Jan_Vermeer_van_Delft
BAGI PAMAN ASIA imaji tentang kehadiran seorang malaikat dengan taburan bunga-bunga di kepalanya yang botak itu saat ia membaca majalah kesehatan di pagi hari membuat wajahnya tak terlihat sedap. Aku pastikan bukan majalah itu penyebab mukanya tak terlihat sedap. Tetapi berkat koran hari ini membicarakan berita-berita parlemen berdebat tentang anggaran perang. Ditambah iklan-iklan tentang shampoo dan pasta gigi menghias potret wanita cantik dengan klise memuja akan kepalsuan. 

Apalagi  roti panggang dengan potongan daging tipis tak berbau asap mulai mendingin. Tak dimakannya akibat saos pedas  kesukaanya habis. 

Bagi Paman Asia membuka buku itu sudah cukup untuk membuat imajinasi biasa-biasanya saat pensil ditangannya menjelma monster yang akan menyebulkan kata-kata ajaib. Betul Paman Asia adalah pensiunan dosen di sebuah universitas.  Hidupnya cukup. Hari-harinya kini hanya untuk menulis artikel tentang lingkungan. Sekali-kali dia juga mengisi rubrik ekonomi di sebuah koran lokal.

Paman Asia punya rumah dengan pagar lancip putih. Itu rumah kecil kesukaanya. Bibinya yang pemarah, dua tahun lalu meninggal.Membuat rumah itu menjadi sepi dan dalam situsi tak jelas. Menuruti kata bibinya yang akan djual oleh pemborong perusahaan perumahan swasta atau tetap dipertahankannya. Nampaknya Paman Asia sedang mengusahakan agar rumah itu tidak jatuh pada pemborong swasta.

Imajinasinya langka dan sederhana. Kalau  ia harus meninggalkan rumah itu, kata Paman Asia. Barangkali Paman Asia akan meninggalkan kebiasaan lamanya untuk pergi ke sungai yang menghias desa ini. Suara air sungai menghantam batu-batuan yang cerewet, sangat disukainya. Sungai kesukaanya itu tempat di mana Paman Asia  menghabiskan waktu untuk memancing troul. Ikan besar yang hidup di perairan sungai. Lagi-lagi ia harus merasa kesal kalau mengingat rumah itu akan dijual oleh bibinya itu yang cerewet. Paman Asia akan kehilangan rumah. Kehilangan sungainya. Ah, itu berarti Paman Asia bakal kehilangan ikan troul juga.

“Lekas kamu jual rumah itu,” begitu kata bibi Paman Asia mengingat ucapan bibinya itu yang tak menyukai daging setengah matang. Apalagi daging itu berbau kecap dan bawang merah. Bibinya akan meledak-ledak akibat bau itu mengganggu hidungnya. Yang padahal bau-bauan akan susah masuk di hidungnya yang pesek.

 Paman Asia menutup buku. Paman Asia pun mengunci pintu rumah depan lalu menutup garasi tak bermobilnya. Lagi-lagi rumah bergarasi menjadi ciri paling esensi menjadi manusia kota. Dengan rumah bergarasi, desa sudah mirip kota.  Paman Asia menjual mobilnya untuk biaya pemakanan bibinya itu. Paman Asia tidak akan kehilangan mobil itu kalau mau menyerahkan sertifikat tanah rumah kepada pemborong rumah swasta itu. Lagi pula ia tidak suka mengendarai mobil.

Tetangganya yang berada di depannya sedang berlari-lari kecil dengan anjingnya. Tetangganya itu kalau melihatnya sedang duduk-duduk di bangku atau sedang menutup garasi, ia selalu berkata,

“Halo, pemburu mana ikan troulmu,” kata tetangganya itu.

“Mudah-mudahan aku akan mengantarkannya malam ini dengan dua botol bir,” balas Paman Asia cepat.

            Bagi pensiunan  dosen sepertinya menjauh dari kota menuju desa adalah impian besar menghabisi ambisi imajinasi masa kecilnya. Bukan, bukan, aku salah. Paman Asia selalu berfikir memang menjadikan desa ini sebagai tempat peristirahatan masa pensiunannya.  Paman Asia bisa saja bersurat dengan anak-anaknya yang dikota untuk tinggal di desa selama-lamanya. Menjauh tua dari kota menikmati hari mudanya kembali di desa. Anak Paman Asia selalu menolak untuk tinggal di desa. Di mana radio-radio dan koran adalah hiburan satu-satunya. Mereka sering mengeluh karena jauh untuk mengunjungi drive thru. Membeli kentang goreng ataupun burger besar. 

****
            Paman Asia berjalan menuju sungai untuk memancing. Dia merasa muda kembali kalau di desa untuk memancing ikan troul. Tapi tulang pinggang dan kakinya tak bisa bohong, Paman Asia selalu kesemutan. 

            Paman Asia istirahat menunggu di sebuah jalan lebar dekat patung tentara. Jalan yang terbuat dari batu bata yan adem. Landmark desa yang masih membutuhkan monumen yang menjadi penghias.  Menjadi pemantik ingatan.

“Monumen dibangun untuk mengingat.” Begitu kata Paman Asia.

Paman Asia  berjalan mengelilingi dengan pelan monumen patung tentara itu.  Melihat-lihat. Sekaligus mengingat-ingat.

Seorang lelaki pensiunan dosen bertemu dengan patung gagah macam tentara membuat jantungnya melayang. Berdebar-debar mengapa patung segagah itu tak lapuk oleh usia. Malaikat imajinisi di kepala botaknya menghampirinya meniup ruh berupa kata yang tertata di kepalanya menarik untuk menyusun sebuah kalimat-kalimat yang membayang ikan troul.

“Aku ingin pergi memancing,” pikir Paman Asia. 

Paman Asia pun mencari sandaran untuk bisa duduk-duduk di sebuah bangku taman sambil memijit kakinya yang kesemutan. Cerewet burung gereja dan daun-daun yang gugur saling bersautan. Daun gugur akibat suara burung yang cerewet. Daun yang gugur saling tegur-sapa dengan suara burung yang cerewet. Lalu kata Paman Asia, daun-daun yang gugur menjawab dengan tulus hati menjawab,  

“Jatuh untuk menyuburkan tanah”

 Tidak ada kisah yang indah selain Burung  dan Daun yang gugur.

Paman Asia mendengar kisah itu dari istrinya. Ingatan itu tentunya bukan ingatan kenangan saja. Tapi memori manusia memang selalu menyediakan kenangan. Di sinilah hal-hal yang dulu tak pernah terjamah di masa kecilnya dilumat, dihabiskan dengan hebat-hebatnya. Dan yang gugur persis seperti manusia. Pagi ini opera trik sulap sebuah parlemen rebutan akan anggaran perang. Manusia tak lebih berguna ketimbang sebuah daun yang gugur. 

Berdiri lama-lama di monumen patung-patung. Lama-lama mendengarkan radio, mendengar musik. Ataupun menghabisakn berjam-jam waktu senggang hanya untuk memuaskan hati Paman Asia untuk memancing ikan troul. Itu adalah kenikmatan sendiri baginya.

Tetangganya yang selalu mengucapkan: “Halo pemburu mana ikanmu,?” lewat kembali dengan anjingnya yang selalu mengikutinya dari belakang. 

Katanya, Herman si pengantar susu menunggu di depan rumahnya. Sekaligus untuk mengobrolkan pembelian rumah itu. Paman Asia tidak bisa membayangkan nantinya  harus tinggal di sebuah perumahan yang berpagar gagah dengan satpam dan papan konyol yang selalu tertulis, “Anda memasuki Perumahan Boulevard” jika ia menjual rumahnya itu. Taktik orang kota yang egois. 

Ah tidak, kamu tahu Paman Asia akan memikirkan itu masak-masak. Sebab ia pun ingin mempertahankan sungai kenangan yang banyak sekali akan ikan  troulnya. Sebab apa ia mesti pindah ke perumahan yang menjemukan itu. Lalu bagaimana lagi, anak-anaknya ingin tinggal bersama Paman Asia. Dan permintaan anak adalah sesuci-sucinya kepolosan manusia. Paman Asia akan mengunjungi anaknya di kota. Ah, itu hal yang menjengkelkan, kecuali duduk-duduk di sebuah Taman Kota yang penuh dengan daun dan burung yang cerewet.
****

Posted on Sabtu, November 15, 2014 by Rianto

No comments

Kamis, 13 November 2014

Haji mengantarkan kita pada tokoh, kisah dan makna. Kita teringat Haji Danarto (1984) dalam bukunya Orang Jawa Naik Haji memuat kisah perjalanan haji penuh renungan. Seniman Danarto berkisah dengan apik perjalanan haji yang bermodalkan do’a sapu jagat. Seniman Danarto saat di dalam pesawat mengingat haji-haji yang khusyu salat di dalam pesawat yang kekurangan air dan penuh sampah. 
     
           Taufik Ismail mengenang haji adalah sebuah perjalanan air mata. Perjalanan haji menghasilkan kisah dan puisi. Taufik Ismail mengenang haji dengan puisi “Ziarah ke Kubur Sendiri”. Mari simak do’a dari penggalan puisi yang bergema, //Terdengarkah olehmu do’a terakhir itu//Diucapkan menjelang matahari terbenam//Dibacakan oleh dua juta jamaah//Diratapkan oleh mayat-mayat ini//Dua juta mayat yang tegak, yang duduk, yang tiarap//Apalagi beda antara do’a dan ratap//. Puisi menjelma kisah haji yang bermakna. Manusia berhaji dan berpuisi. Memekik renungan perjalanan haji melalui puisi penuh zikir.

            Di masa silam kita dapat menemukan haji yang rajin menulis kisah-kisah perjalanan hajinya. Kisah haji yang disusun Henri Chambert-Loir (2013) yang termuat dalam tiga jilid bukunya Naik Haji di Masa Silam menjadi renungan haji yang memukau. Dalam penelusuran sejarah naik haji itu ditemukan kisah orang sunda naik haji.  

            Salah satunya Raden Demang Panji Nagara pernah melakukan perjalanan haji pada tahun 1852. Raden Demang Panji Nagara merupakan seorang bangsawan berasal dari Sumedang. Ia berangkat bersama 24 orang  melalui desa Tomo lalu menumpang sebuah kapal Arab menjalankan ibadah haji. Dalam buku Ensiklopedi Sunda (2000) tercatat Haji Purwa pernah melakukan perjalanan haji pada tahun 1337. Konon Haji Purwa adalah haji pertama yang melakukan perjalanan haji.  

                        Di masa silam perjalanan haji menuai renungan. Perjalanan haji pun memantik untuk menulis kritik haji sebagai pembelajaran. Kita terkenang akan Boekoe Woelang Hadji karya Raden Moehammad Hoesen (1873). Wulang yang berarti pengajaran ini memang dimaksudkan sebagai buku pelajaran bagi yang berniat naik haji waktu itu. Suryadi (2013) mengatakan Boekoe Woelang Hadji yang disusun oleh sorang pemimpin pribumi di Karesidenan Priangan  ini melihat fenomena haji dengan sangat kritis. Menurut Raden Moehammad Hoesen yang menulis kritiknya melalui syair itu mengatakan bahwa tak ada gunanya beribadah haji itu apabila orang yang melakukannya menyia-nyiakan keluarganya, di kampungnya meninggalkan mereka dalam ketiadaan  jaminan uang dan kebutuhan hidup.

            Kita bisa menduga haji di masa silam dilakukan oleh para priyayi, para menak, yang ditandai dengan melek huruf dan mampu menulis. Perjalanan haji fenomenal dari orang sunda pernah dilakukan bupati R.A.A Wiranatakoesoema.  Ia menulis kisah perjalanan hajinya yang paling bersifat pribadi dan terperinci. Dari kisah bupati naik haji itu kita dapat menduga dapat menelusuri sejarah tanah sunda modern. Biola menjadi kata kunci modernitas.

            Musik menjadi pengingat memori dalam perjalanan haji mengenang tanah kelahiran. Wiranatakoesoema bermain musik dengan menggesek biola. Wiranatakoesoema menulis, “tatkala saya membunyikan lagu-lagu Sunda, maka terbayanglah pada kenang-kenangan saya, diri saya sebagai seorang anak kecil di kabupaten di tengah orang yang saya cintai”.Wiranatakoesoema terkenang akan eropa saat menggesek biola membunyikan lagu-lagu eropa. Saat itulah Wiranatakoesoema merasa, “terkenanglah saya akan masa dipindahkan dari dunia bumiputra ke dunia eropa, dan akan perbantahan yang hebat dalam hati saya antara kedua  pemandangan kehidupan itu. 


            Kisah-kisah haji memuncak pada keyakinan kita bahwa menulis kisah perjalanan haji menjadi do’a dan kenangan. Haji memuat kisah, tokoh, peristiwa, mitos, menjadikan kisah perjalanan haji merupakan khasanah kebudayaan tulis yang sangat berharga. Kita pun dapat mengenang dan mengambil hikmah para haji yang menulis kisahnya di masa silam. Dari sana cerita menjadi do’a.  Menjadi petunjuk hidup mengenang tokoh haji orang sunda yang menulis. Persis apa yang diungkap Ajip Rosidi dalam buku Apa Siapa Orang Sunda, ia mengingatkan,“Di kalangan orang Sunda sendiri tak ada tradisi menulis dan menyusun dokumentasi, sehingga tak heran kalau  generasi belakangan merasa “pareumeun obor’, kehilangan petunjuk tentang hubungan dengan nenek moyang dan saudara-saudara sendiri.Semoga kita tak pernah kehilangan obor itu. Tabik!
           

Posted on Kamis, November 13, 2014 by Rianto

No comments