Haji mengantarkan kita pada tokoh, kisah dan makna. Kita teringat Haji Danarto (1984) dalam bukunya Orang Jawa Naik Haji memuat kisah perjalanan haji penuh renungan. Seniman Danarto berkisah dengan apik perjalanan haji yang bermodalkan do’a sapu jagat. Seniman Danarto saat di dalam pesawat mengingat haji-haji yang khusyu salat di dalam pesawat yang kekurangan air dan penuh sampah. 
     
           Taufik Ismail mengenang haji adalah sebuah perjalanan air mata. Perjalanan haji menghasilkan kisah dan puisi. Taufik Ismail mengenang haji dengan puisi “Ziarah ke Kubur Sendiri”. Mari simak do’a dari penggalan puisi yang bergema, //Terdengarkah olehmu do’a terakhir itu//Diucapkan menjelang matahari terbenam//Dibacakan oleh dua juta jamaah//Diratapkan oleh mayat-mayat ini//Dua juta mayat yang tegak, yang duduk, yang tiarap//Apalagi beda antara do’a dan ratap//. Puisi menjelma kisah haji yang bermakna. Manusia berhaji dan berpuisi. Memekik renungan perjalanan haji melalui puisi penuh zikir.

            Di masa silam kita dapat menemukan haji yang rajin menulis kisah-kisah perjalanan hajinya. Kisah haji yang disusun Henri Chambert-Loir (2013) yang termuat dalam tiga jilid bukunya Naik Haji di Masa Silam menjadi renungan haji yang memukau. Dalam penelusuran sejarah naik haji itu ditemukan kisah orang sunda naik haji.  

            Salah satunya Raden Demang Panji Nagara pernah melakukan perjalanan haji pada tahun 1852. Raden Demang Panji Nagara merupakan seorang bangsawan berasal dari Sumedang. Ia berangkat bersama 24 orang  melalui desa Tomo lalu menumpang sebuah kapal Arab menjalankan ibadah haji. Dalam buku Ensiklopedi Sunda (2000) tercatat Haji Purwa pernah melakukan perjalanan haji pada tahun 1337. Konon Haji Purwa adalah haji pertama yang melakukan perjalanan haji.  

                        Di masa silam perjalanan haji menuai renungan. Perjalanan haji pun memantik untuk menulis kritik haji sebagai pembelajaran. Kita terkenang akan Boekoe Woelang Hadji karya Raden Moehammad Hoesen (1873). Wulang yang berarti pengajaran ini memang dimaksudkan sebagai buku pelajaran bagi yang berniat naik haji waktu itu. Suryadi (2013) mengatakan Boekoe Woelang Hadji yang disusun oleh sorang pemimpin pribumi di Karesidenan Priangan  ini melihat fenomena haji dengan sangat kritis. Menurut Raden Moehammad Hoesen yang menulis kritiknya melalui syair itu mengatakan bahwa tak ada gunanya beribadah haji itu apabila orang yang melakukannya menyia-nyiakan keluarganya, di kampungnya meninggalkan mereka dalam ketiadaan  jaminan uang dan kebutuhan hidup.

            Kita bisa menduga haji di masa silam dilakukan oleh para priyayi, para menak, yang ditandai dengan melek huruf dan mampu menulis. Perjalanan haji fenomenal dari orang sunda pernah dilakukan bupati R.A.A Wiranatakoesoema.  Ia menulis kisah perjalanan hajinya yang paling bersifat pribadi dan terperinci. Dari kisah bupati naik haji itu kita dapat menduga dapat menelusuri sejarah tanah sunda modern. Biola menjadi kata kunci modernitas.

            Musik menjadi pengingat memori dalam perjalanan haji mengenang tanah kelahiran. Wiranatakoesoema bermain musik dengan menggesek biola. Wiranatakoesoema menulis, “tatkala saya membunyikan lagu-lagu Sunda, maka terbayanglah pada kenang-kenangan saya, diri saya sebagai seorang anak kecil di kabupaten di tengah orang yang saya cintai”.Wiranatakoesoema terkenang akan eropa saat menggesek biola membunyikan lagu-lagu eropa. Saat itulah Wiranatakoesoema merasa, “terkenanglah saya akan masa dipindahkan dari dunia bumiputra ke dunia eropa, dan akan perbantahan yang hebat dalam hati saya antara kedua  pemandangan kehidupan itu. 


            Kisah-kisah haji memuncak pada keyakinan kita bahwa menulis kisah perjalanan haji menjadi do’a dan kenangan. Haji memuat kisah, tokoh, peristiwa, mitos, menjadikan kisah perjalanan haji merupakan khasanah kebudayaan tulis yang sangat berharga. Kita pun dapat mengenang dan mengambil hikmah para haji yang menulis kisahnya di masa silam. Dari sana cerita menjadi do’a.  Menjadi petunjuk hidup mengenang tokoh haji orang sunda yang menulis. Persis apa yang diungkap Ajip Rosidi dalam buku Apa Siapa Orang Sunda, ia mengingatkan,“Di kalangan orang Sunda sendiri tak ada tradisi menulis dan menyusun dokumentasi, sehingga tak heran kalau  generasi belakangan merasa “pareumeun obor’, kehilangan petunjuk tentang hubungan dengan nenek moyang dan saudara-saudara sendiri.Semoga kita tak pernah kehilangan obor itu. Tabik!