Debu dan deru knalpot metro mini menggumam di macet siang itu. Pasar Senen begitu lelah dan gerah dengan kerumunan orang-orang kota di sebuah lampu merah yang ramai.  Pengamen kecil dengan  suaranya yang serak bernyanyi bak Jojo keong racun.  

            “Baru kenal kok ngajak tidur, “ begitu dia menyanyi.

            Di sebuah toko Triarga, belakang bioskop yang bobrok itulah aku bertemu dengan ribuan buku dengan banyak pengarang. Penjelajahan penuh gairah bertemu dengan buku, tokoh, wacana,  kata.  Bertemu dengan catatan seorang pemuda yang menghembuskan nafas terakhir akibat motor yang berlari kencang menabrak dirinya 31 Maret 1973.  Meninggalkan 17 jilid buku catatan di mejanya. Goenawan Mohamad dalam catatan pinggir, “ Catatan“,  menulis, 

            ...Ahmad Wahib  pada umur 31 tahun, meninggalkan 17 jilid itu sebagai  sesuatu yang belum selesai. Tapi apa arti selesai sebenarnya? Ketika kemudian catatan itu kita baca, kita tahu Wahib membuka jalan  ke sebuah hamparan yang luas, penuh lurah, liang gua, juga belukar keras, di mana Tuhan, Quran, dan iman dipersoalkan..

            Di manakah catatan itu yang diterbitkan sebagai buku? Oh, barangkali catatan yang tertumpuk debu itu yang terselip di ribuan buku di toko berlantai tiga itu hanya aku ketahui sebagai catatan yang pernah kawanku yang kini menjadi dosen di jurusan Sosiologi UNJ berkomentar, “Nanti gak mau sholat lu,“ begitu komentarnya jika kita membaca catatan Wahib.  Kita tertawa dengan lega.

            Mungkin pemuda yang tak dikenal itu bagiku ingin sekali kepolosan dalam hatinya sebagai  yang biasa. Wahib dalam catatanya ini menarik kita ajukan hipotesa bahwa Wahib pun adalah makhluk kebudayaan.  Bergeliat dengan katakanlah Wahib tak melulu berbicara ayat suci. Aku memandang Wahib dengan tanpa ayat apapun. Mesti Tuhan yang dipertanyakan merupakan inti dari pergolakan pemikiran Ahmad Wahib.

            Buku catatan Ahwad Wahib itu aku dapatkan di toko buku Triarga, Senen di belakang bioskop yang bobrok.

            Bagiku Ahwad Wahib menarik dikaji secara kebudayaan. Ah, aku mesti mengutip apa yang di katakan Raymond Williams sebagai kebudayaan sehari-hari. Bukankah catatan harian Ahmad Wahib terdapat kata kunci kebudayaan yang menarik kita ajukan sebagai tesis bahwa  Wahib orang biasa yang suka dengan budaya sehari-hari yang remeh temeh. 

Dalam catatan bertanggal 17 Agustus Ahmad Wahib menulis, 

…Kekasih engkaulah matahari yang tak perrnah terbenam. Engkaulah yang mengajari pelita bercahaya... kata-kata yang padat berisi ini ku dengar dalam filem Romeo and Juliet yang kutonton tadi malam. Tuhan menganugerahkan cinta antar dua remaja, dan Shakespeare menggali anugerah cinta itu… 

       Wahib menyatakan seniman selalu berbicara pada  keadaan yang paling hakiki. Cinta sebagai yang hakiki yang sedikit nan lucu Wahib nyatakan dalam catatan yang terselip pendek, rapi dan licin.  Oleh karena itu, “Seseorang manusia seniman” kata Wahib,  “ adalah orang yang paling potensial bertemu dengan Tuhan”

            Catatan-catatan kebudayaan tentang seni, musik, film, kota, warung bahkan cinta barangkali luput dari cerita Wahib yang melulu dipandang secara sebagai pemuda yang kritis atas agama. 

            Sebelumnya tanggal 2 Juni 1969, Wahib menulis catatatan usai menonton sebuah ballet  yang mempesonakan.  “The  First Chamber of Dance Quartet,” kata Wahib, “ adalah bentuk  tarian ballet asli yang pertama kali saya tonton  kemarin di THR dua setengah jam." Dari tarian ballet itu nalar wahib mengelana pada tokoh, tema, cinta dan ingatan akan seorang  yang ia cintai.

            Januari lalu, di galeri cipta tiga Taman Ismail Marzuki,  Romo Mudji mengadakan pameran sketsa warnanya. Kisah Borobudur yang ia maknai secara budaya dalam sketsa-sketsa tersimpan makna, tak beku, batu, bisu.  Barangkali Ahmad Wahib pun demikian, dalam catatannya Borobudur  10 November 1969 ia menulis, 

…Mengagumkan. Suatu kedahsyatan tangan manusia dan kedalaman pertemuan dengan Tuhan tertulis dengan jelas dalam suatu bangunan mahabesar  dengan stupa-stupa, relief-relief dan mahkota puncaknya. Candi ini, terlepas dari riwayat pembuatannya yang mungkin menelan ribuan korban dengan penindasan rakyat, merupakan monumen yang baik sekali untuk mempelajari sebagian dari sejarah masa lalu...

             Ingatan akan arsitektur  barangkali merupakn cermin hidup kita.  Persisi seperti Romo Mangun ungkap dalam bukunya Wastu Citra mengingatkan kita tentang mentalitas arsitektur yang mencerminkan etos hidup. Oh, kita hidup seperti burung manyar yang menenun sebuah asitektur  agar bermakna!

            Pasar yang tak henti berdialog dengan gema hidup pun menjadi catatan Wahib yang menarik. Wahib justru sadar membaca buku saja tak cukup. Kaki kesti melangkah ke sebuah pasar. Menurut Wahib pikiran-pikiran perlu dipersegar dengan kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
“Karena itu tadi pagi,“ kata Wahib,  “Aku berjalan kaki sepanjang kurang lebih tiga kilometer, masuk ke pasar lihat orang jual semprong dan sebagainya."

            Lalu aku terharu  pada catatan hidup yang gersang  9 Oktober 1972,  Wahib di sebuah warung  mengingat rumah . Rumah menjadi tempat yang Wahib rindukan. Ia menulis setelah berbuka puasa di sebuah warung. Justru pengalaman rohani terjadi di warung. 

...sukar menduga, apakah ini akan  merupakan penagalamna rohani yang berarti.  Semua ini tergantung pada upaya batinku sendiri untuk memanfaatkan  makna yang dalam pada sebuah lintasan hidup..