Kucing-kucing bertebaran di lorong. Anjing-anjing berjingkat santai melintas sebuah toko. Sepeda bersender begitu saja di dekat toko. Dari sana terlihat James Robert yang pernah menjadi lawan tinju Hemingway berada dekat toko itu. Dengan kecepatan keong ia mendorong sepedanya yang bobrok.

            Pertemuan Michael Pearson dengan “Iron baby”-panggilan James Robert- itu terdapat kisah mengenai Hemingway. Biografi Hemingway dapat saja ditemukan disudut toko-toko buku loakan. Namun, dalam diri “Si Bocah Besi” ada kesaksian ; Hemingway gemar bertinju dan terkadang mewasiti sebuah pertandingan tinju. 

            Michael Pearson menunjukan obsesi yang kuat. Mempertemukan kisah, buku, mitos, sejarah Hemingway dari penelusurannya yang remeh-temeh: menjejakan kaki di tempat-tempat imajiner di mana Hemingway hidup.

            Pengarang hidup di suatu tempat. Pearson begitu percaya dengan  ingatan bocahnya akan karya-karya Hemingway yang pernah dibacanya bertautan dengan tempat pengarang itu tinggal. Kita bisa membayangkan rumah seorang pengarang macam Hemingway. Kita bisa berimajinasi membayangkan sebuah karya muncul di rumah seorang pengarang.

            Rumah menjelma kisah yang tertulis. Inilah obsesi pembaca macam Michael Pearson menelusuri rumah Hemingway yang konon memasukinya mesti membayar 5 dolar. Kita bisa membayangkan tinggi Hemingway yang mesti membungkuk akibat pintu rumahnya yang pendek.

            Membaca karya sastra menjadi semacam ritual mengingat dan mengenang imajinasi si pengarang. Kita percaya membaca karya sastra berarti bertemu dengan pengarang.

            Pertemuan Pearson sebagai pembaca karya Hemingway dengan orang-orang yang pernah dekat dengan Hemingway itu telah menjelma ritual membaca yang imajiner. Menjadi imaji bunga-bunga orkestra yang impresi. Begitu kuat kita terima sebagai dorongan memori.  Kita menduga pertemuan semacam itu yang didasari dengan obsesi dan kemampuan jurnalistik  mempersembahkan potongan-potongan kecil pengarang yang hidup dari ingatan-ingatan orang.

            Obsesi

            Kini obsesi mengetahui kehidupan seorang pengarang bisa terlihat dengan mudah di layar kaca. Kopi yang setengah panas dan sepotong gorengan yang sudah lembab menemani imajinasi kita yang mudah menemukan kicauan twitter seorang pengarang. Inilah obsesi membaca yang tergantikan dengan bahasa digital. Yang sampai-sampai pengarang macam Ahmad Tohari ngomel-ngomel di koran. Konon bahasa kita diganti oleh bahasa digital!

            Obsesi mengenai kata dan peristiwa yang tertulis dalam karya sastra memerlukan tubuh yang gerak. Di sebuah toko buku bekas De’lawas Tanjung Duren, Jakarta  misalnya saya menemukan orang-orang yang  begitu gemar mencari buku-buku yang  tertumpuk. Mencari pengarang yag terselip dalam debu. Dengan penerangan yang kurang membuat saya sendiri agak kesulitan melihat buku-buku dan nama pengarangnya.

            Lalu ada beberapa anak sekolah berseragam masuk toko buku bekas itu dengan gairah yang sulit diukur secara matematika. Mereka masuk dengan pertanyaaan sederhana, “mencari buku paket sekolah.” Sedangkan teman lainnya bertebaran mencari komik.  Dan beberapa lainnya mengotak-atik tumpukan  novel Agatha Cristie.

            Lalu mengapa peristiwa berlama-lama dalam sebuah toko buku  hanya untuk menemukan pengarang di sekian tumpukan ribuan buku dapat menimbulkan gairah? Sebuah pertemuan pembaca dan pengarang di sebuah toko bekas seperti itu semacam ritual yang menggairahkan. Mungkin itu yang disebut dengan obsesi.

            Pernah suatu sore sambil memakan jagung rebus di emperan samping Stasiun Senen dan beradu dengan  suara metro mini bercampur dentuman knalpot bajaj yang melengking, esais Bandung Mawardi berkisah tentang pertemuannya dengan Leila S Chudori pengarang novel Pulang.  Bandung merupakan pembaca karya-karya Leila.  Dari membaca itu dia diantarkan  bertemu dengan Leila. Lalu mereka mengobrol kata dan peristiwa di sebuah restauran mewah yang membuat Bandung Mawardi gerogi. Ini menjadi kisah pertemuan pembaca dengan pengarangnya.

            Budi Darma pernah menjawab dengan lugas akan ciptaan imajinasi peristiwa, kisah, tokoh dalam karya sastranya. Misal nama Olenka yang ia temukan ditumpukan buku telpon. Kita bakal bertemu dengan kesaksian Budi Darma yang begitu percaya “Obsesi” menjadi macam  mesiu pengarang yang penting di bukunya “Kritikus Adinan”.  Obsesi yang selalu bertepuk tangan dengan liar. Dalam sebuah wawancara dengan Zen Hae,  Budi Darma mesti membuka buku telpon yang tebal di dalamnya terselip nama Olenka dari ribuan nama lainnya yang mungkin saja menggodanya untuk dijadikan tokoh dalam karangan-karangannya.

            Pertemuan    

            Pembaca karya sastra selalu mempunyai titik temu. Gabriel Marquez begitu terharu bertemu dengan Hemingway hanya dengan lambaian tangan. Gabriel Marquez mengenang, “Saya mengenalnya segera setelah melihat dia melintas bersama istrinya Mary Welsh di Boulevard St. Michael di Paris pada suatu hari di musim semi yang hujan pada 1957. Dia berjalan di sisi lain jalan menuju Taman Lukemburg. Dia mengenakan celana koboy yang tampak kuat, kemeja wol dan topi pemain bola. Satu hal yang tak menampakan bukan miliknya adalah sepasang kacamata berbingkai logam. Kaca mata ini kecil sekali dan membuatnya seperti seorang yang  belum saatnya menjadi kakek.”

            Gabriel Marquez bingung. Pertemuanya dengan sang maestro hanya berakhir dengan jawaban kecil dari sang Mahaguru, “Adiooos, amigo!”

            Marquez percaya membaca novel-novel karya orang lain hanya untuk membayangkan bagaimana mereka menulis. Pernyataan Marquez pun diamini dengan kisah perjalanan Pearson yang menelusuri gang, rumah, kota kecil, meja yang berserakan, berdasarkan ingatan-ingatan orang di sekitar pengarang Hemingway.  Terkadang di sana ada kesaksian peristiwa, tokoh, mirip dengan kehidupan gerak tubuh si pengarang itu sendiri.

            Kita sebagai pembaca karya sastra, bersiaplah dengan pertemuan-pertemauan dengan pengarang. Menjadi manusia kota seperti Jakarta menjadi tempat yang menggairahkan bertemu dengan buku, kata, peristiwa, tokoh dan tentunya pengarang itu sendiri. Membawa buku menjdi do’a yang terselip dengan kisah yang terduga: sebuah pertemuan dengan pengarang.

             Sebagai Manusia kota kita tentunya tidak begitu bergairah jika suatu sore kita duduk-duduk  di bangku rumah dengan teman lama  di kampung. Lalu berkisah kepada teman: “hanya dosen dan setumpuk tugas saja yang aku temui di Jakarta.” Oh, kita patut bersedih sambil mendengar lagu picisan.

            
*Tulisan ini merupakan esai yang dimuat dibuletin sastra STOMATA