Imajinasi akan pasir-pasir suci nan haru tak lain adalah mengenang Haji. Taufiq Ismail mengatakan perjalanan haji sebagai perjalanan penuh air mata. Haji Danarto mengajakku melintas kota, mitos, do’a,  makian, serta haru dalam haji.  Lalu apa yang membedakan Haji Danarto dengan haji lainnya? Ini menarik. Danarto menuliskan kisahnya dalam buku alit Orang Jawa Naik Haji. Taufiq Ismail berkomentar,

"Danarto yang kapas itu. Luluh dan lumat di hamparan terik padang pasir Arafah, tersaruk-saruk di mas’a dan tersungkur sujud, menangis, di atas pualam Masjidil Haram“

            Perjalanan haji  memuat kisah dan makna. Haji Danarto konon berkisah tentang do’a sapu jagat yang mengantarkan jemaah-jemah tenang menenun haji dengan bermodal do’a pendek itu. Tuhan menciptakan bahasa, berujung do’a yang memudahkan umatnya. Kini do'a singkat penuh haru itu menjadi pengantar haji yang tak bisa membaca dan menulis.

            Danarto menulis, “ Jika ternyata anda buta huruf, ya kitab suci itu dipegang-pegang saja cukup. Lalu dibalik-balik, kayaknya bisa membaca, gitu,“ mengutip pembimbing hajinya saat di asrama Pondok Gede.

            Perjalanan haji membawa ketakutan. Haji Danarto takut, hajinya tidak membawa berkah. Danarto pernah ditanya oleh temannya, masa kok sehabis ke paris langsung naik haji, dari mana uangnya? Haji adalah adegan  menjaga diri dari tubuh yaag ringkih akan dosa. Danarto pun berdo’a  

 “Wahai mataku, mulutku, dan telingaku, tertutuplah kamu dari hal-hal di luar ibadat," ujar saya kepada anggota-anggota badan saya.

            Haji semacam keluh yang tak terobati. Keluh dan keluh berujung cerita menarik yang diungkap Haji Danarto. Menurutku, seniman Danarto ini berkisah hal-hal remeh temah tentang haji menjadi kisah haji yang lucu nan kritik. Sepasang kakek-nenek yang  selalu ribut di dalam pesawat yang jarang air untuk berwudhu dan salat. Haji begitu menguji hambanya!

            Imaji-imaji tentang  manusia dan arsitektur terbalut makna nan hakiki tentang ruang. Barangkali manusia memuji tuhan dengan gayanya yang kolosal: butuh arsitektur sebagai pengingat.  Masjid Nabawi begitu menjadi magnet kita yang berhaji. D sanalah ada  sejarah mitos berbalut do’a nan haru hadir  memuji tuhan. 

......Bersolat disamping makam Nabi, hati jadi begitu berbahagia, kata sementara jemaah. Dan dari sinilah perjuangan untuk mendapatkan tempat yang terbaik bermula...(hal 17)

           Oh ada kisah copet  juga dikisahkan Haji Danarto.  Siwalan, begitu Danarto ketika kesal melihat keadaan berhaji. Henri Chambert-Loir mengisahkan buku ini menjadi refensi menarik dalam menalaah kisah haji.  Bagiku buku Danarto ini menjadi kisah orang dan kota. Gambarkan kota dan manusia di tanah suci  tahun 85-an  ini tentang hal-hal yang ringan. Aku merasa membaca buku ini kisah seniman berhaji dengan gaya bertutur. 

            Aku merasa berhaji bersama Danarto. Bertemu  Kota Mina yang jorok namun tetap dicintai. Percekcokan antar Arab-dan Arab. Tidur dengan blower yang mengundang sakit. Melempar jumrah dengan jam tangan. Ah, kisah haji  bernama manusia yang tetap dalam khasanah yang hakiki:  memohon  mati di tanah suci.