Imajinasi kita tentang pelajar masa lalu tak bisa lepas dari buku-buku. Kita teringat akan pelajar masa lalu yang menjaga ingatan tentang hidup berbuku. Harry Poeze dalam bukunya Di Negeri Penjajah (2014) mencatat ingatan-ingatan pelajar terdahulu yang gemar menjadikan buku dan menulis  risalah-risalah. Abdul Rivai saat menjadi pelajar di belanda tahun 1911 membuat risalah penting Bintang Hindia yang berisi ide-ide kebangsaan. Noto Soroeto pemikir kontroversial pun membuat sebuah perusahaan percetakan Boekhandel en Uitgevers-Mij Hadi Poestaka yang menerbitkan buku puisinya Lotos en Morgendauw (Teratai dan Embun Pagi).

            Jauh sebelum itu, kita pun terkenang akan buku Kartini Door Duisteris tot Licht  yang diterbitkan di Belanda tahun 1901 sebagai bukti penyebaran ide-ide Kartini melalui buku. Buku  dibuat dan dicetak sebagai alat penyebaran gagasan Kartini. Roekmini adik Kartini begitu terharu terbitnya buku kumpulan tulisan Kartini ini. Terbitnya buku membuat Kartini seperti hidup kembali. Kartini hidup sebagai ide yang terus menjadi oase ide perjuangan sekolah dan pendidikan. Roekmini begitu terharu menerima buku dari Tuan dan Nyonya Abendanon yang memuat surat-suarat Kartini.  Roekmini menulis, “seolah-olah Tuan telah mengembalikan masa muda kepada saya, telah membangkitkan diri saya dengan semangat baru dan memberi saya kekuatan untuk terjun kembali dalam perjuangan yang harus dijalani demi kebahagian kami semua, dan khusunya untuk kami, kaum wanita.” Kita percaya  buku mengembalikan ide dan imajinasi perjuangan.

            Buku menjadi agenda penting dalam revolusi kemerdekaan. Koentjaraningrat (1998)  lulusan  SMT Djakarta 1942-1945 mengenang dalam esainya Tugas Mengurus Buku di Zaman Jepang dan Zaman Perjuangan terdapat kisah mengenai  perjuangan penting melalui buku-buku. Koentjaraningrat  mengenang “buku-buku yang dibuang kenpetai dan kami punguti itu diangkut dengan gerobak-gerobak dan delman-delman ke stasiun Manggarai dan Stasiun Jatinegara”. Koentjoroningrat menjadi saksi sejarah bagaiman buku ditelentarakan oleh Kenpetai Jepang dari museum-museum Jakarta.

           Koentjoroningrat eling menyelamatkan buku menjadi agenda penting menjaga ingatan akan pengetahuan. Buku dipunguti dan diangkut ke Yogyakarta. Buku disimpan didalam karung untuk mengelabui tentara Belanda. Koentjaraningrat mengingat,“Buku-buku tersebut kami sembunyikan di bawah karung-karung beras, sayuran, dan bahan-bahan pangan lainnya”. Koentjoroningrat yakin buku akan menjadi suluh pengetahuan yang menjaga mahkota pengetahuan. Ingatan itu dijaga dari risalah-risalah dan buku-buku.


            Kita masuk ke abad 21 yang tak lagi menjadikan buku sebagai mahkota pengetahuan. Kampus-kampus jarang membuat agenda bedah buku dan membicarakan buku. Kampus gebyar spanduk promosi iklan. Perpustakaan berlomba mendapatkan ISO  namun sepi akan acara-acara yang membangkitkan imajinasi dan literasi. Kini kita meributkan ongkos cetakan buku pelajaran yang ditarik kembali akibat kisruh kurikulum 2013. Buku menjadi bahan ributan yang selalu dibaca secara ekonomi (baca uang). Buku mesti dibaca secara kebudayaan yang menjaga tradisi dan ingatan. Kita lupa ingatan akan buku yang menjadi mahkota pengetahuan.