Warung selalu menyediakan memori, ingatan. Warung  hadir menjadi episode perenungan kita. Jika melihat warung-warung di pinggir jalan misalnya, kita tertarik untuk membeli. Disitulah sebenarnya kita bukan saja membeli barang, makanan, minuman.  Kita pun membeli ingatan. 

Coba perhatikan warung-warung yang berdiri di sekitar jalan-jalan di pantura. Kita bakal disuguhi warung dadakan berupa buah-buah segar, mangga misalnya. Sering kita melihat itu, namun tak meyadari warung-warung tersebut yang  menjual hasil bumi kita berupa umbi cilembu, nanas madu telah menjadi juru bicara musim buah. Kita bisa membayangan,  menebak, memikirkan  pekarangan-pekarangan petani kita tumbuh subur pohon-pohon yang mengandung buah terbaik.

Warung-warung yang menjual buah itu pun menjadi pemantik ingatan tentang desa. Jadi warung bukan berdiri begitu saja sebagai penghias jalan-jalan yang sepi.  Warung yanag menjual buah itu memperlihatkan pada kita memori gerak musim buah di desa. Saat rasa buah yang manis dilidah-lidah kita menyulut ingatan untuk memunculkan memori tentang desa, saat itu pulalah pikiran kota kita yang menjejali perlahan sejenak hilang dimanjakan buah dari desa itu. Ada jejak-jejak yang dapat kita refleksikan, desa tak pernah padam memberikan perlakuan terbaiknya bagi pikiran kota kita.

Maka dari itu tidak aneh jika mulai bermunculan warung-warung yang mengkonsepkan kedesaan. Kita rindu, mencicipi makanan dengan suasana desa. Kita rindu dengan buah segar yang alami tumbuh di pekaranagan rumah di kampung-kampung. Kita tak sabar untuk membungkus buah-buah itu sebagai oleh-oleh untuk keluarga. Di meja makan kita mulai menanyakan, mendiskusi, meraba ingatan tentang warung dan buah itu. 

Dalam tulisan Andreas Maryoto,”Makanan Desa, Makanan Kita Sesungguhnya”, menyebutkan bagaimana di kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, Di Yogyakarta ada warung yang menjual belalang goreng.  Ada juga penjual yang mengikatkan belalang segar yang sengaja digantungkan agar para pengendara tertarik untuk membeli (Jejak Pangan, Sejarah, Silang budaya, dan Masa Depan).  

Dari situlah para pelanggan yang tertarik membeli bukan saja membeli belalang  juga membeli ingatan. Mereka ingat belalang goreng  merupakan tanda di mana musim kemarau menerjang daerah ini. Akibat minimnya sumber protein belalang pun diburu, dijual, dan dijadikan rempeyek belalang. Bagi mereka yang merindu bagaimana asyiknya berburu belalang dan jika lidah kangen berat dengan rasa rempeyek itu telah memanggil untuk membeli belalang. Itulah kondisi purba kita jika dihadapkan dengan makanan desa, selalu mengingat, selalu merindu. Jika kita lupa tentang ingatan desa, warung-warung pinggir jalan selalu menyediakan memori itu.