Seperti apa Idrus bagimu? Idrus lebih dari perumpamaan. Lebih dari seorang pendongeng. Ah, tidak bagiku ia guru. Kata-kata yang dituturkan dalam buku ini buatku merinding. Aku sedang didongengi guru sejarah! Revolusi bukan hanya ada di buku-buku sejarah, dikta-diktat, sejarah juga milik Idrus. Milik imajinasinya.

Persis tokoh Open dalam ceritanya Djalan Lain Ke Roma. Kita akan dibawa oleh pengembaran-pengembaraan pikiran seorang yang jujur di zaman Jepang. Idrus menggambarkan saat Open ditangkap Jepang akibat tulisan-tulisannya yang berbahaya bagi penguasa.

“Ia bisa pergi kemana-mana,” kata Idrus, “dengan pikirannya biar pun di sekeliling badannja mendjulang tinggi tembok empat persegi” (Hal 195)

Bagi Idrus zaman bukan saja romantika. Namun Idrus pun berawal dari romantika. Aku terharu membaca karangan romantis di awal buku terbitan Balai Pustaka 1956 ini.  Mengenai kisah cinta yang salah, Ave Maria. Cinta yang salah, mungkin salah mencintai. Sebab, tokoh Wartini sedang merindu teman yang ia cintai itu, Sjamsu. Padahal kala itu ia sungguh mencintai yang lain. Sjamsu adalah  teman yang seharusnya memiliki Wartini. Musik menyatukan cinta mereka. Wartini dan Sjamsu memainkan lagu Ave Maria. Wartini jatuh dalam kesedihan saat terkenang masa lalu bermain biola dan memainkan lagu Ave Maria. Pertanyaan lugu ini yang membuatku terharu,

“Sjam. Dapatkah seorang perempuan menjintai dua orang laki-laki”

Dari situ aku percaya, menulis berawal dari yang romantik. Tentu romantik itu cinta, begitu dekat dengan kita. Romantika menguasai tubuh dan pikiran untuk berkata yang manis, yang cinta, yang  penyesalan, yang kerinduan. Bayangkan saja, ketika mau menulis, yang romantis, cinta-cintan terkadang lebih menguasai kata dan bahasa kita. Mabuk cinta.

Toh, akhirnnya Idrus pun meninggalkan yang romantik. Realisme memuncak pada karya-karya selanjutnya. Bosan barangkali. HB, Jassin berkomentar dengan,

“Idrus tidak terus menjadi orang jang skeptis, tapi pernah mengalami romantiknja, dan oleh karena kemudian bosan dengan romantik itu, dengan sengadja mentcari djalan lain dan tiba pada ke tjorak “kesederhanaan baru” (Nieuwe Zakelijkheid).”

Pendudukan Jepang, kedatangan Belanda dan Inggris melahirkan karya realis Idrus. Namun, zaman jepang adalah kalender. Karangannya obat lupa, pengingat hening bagi kita menerawang apa itu Jepang, Heio, Kempetai, Asia Raya, semboyan-semboyan palsu. Mengapa kita harus patungan membuat kue untuk merayakan Jepang yang menggempur Pearl Harbour, Hawai (Fuzinkai)?  Idrus mengoyak nalar kita mengapa itu perlu. 

Idrus melukis penjajah. Karyanya berjudul Soerabaja, menjadi kisah yang lucu. Kita adalah koboy, penjajah adalah gangster. Tuhan-tuhan baru membunuh dunia dalam peperangan. Tank-tank, revolver meriam dan mortir adalah tuhan itu. Mereka terlalu percaya tuhan-tuhan itu. Kita hanya bambu runcing. Perumpamaannya selalu menggelitik.

"..Tapi tank-tank raksasa jang dua puluh meter pandjangnja itu dan kapal-kapal terbang jang selalu mendjatuhkan kotorannja itu....Ja, inilah sebab dari segala kekalahan mereka. Sebab itu mereka bentji kepada  kedua benda pembunuh ini dan bentjinya sangat besarnja, sebesar kebentjian mereka kepada imperalisme" (hal 154)

Membaca Idrus seperti membaca sejarah. Dan sejarah tidak harus kita artikan di buku-buku yang mengklaim sejarah paling benar.  Kita mesti berkelahi dengan ide-ide liarnya itu. Membaca Idrus berarti bersiaplah menjadi manusia yang gandrung akan sejarah.