GERIMIS YANG MELUNCUR di papan besar bergambar Ronald McDonald yang terkenal itu menjadi gambar yang begitu membosankan bagi seorang Paman Asia berkaos biru bertuliskan “CHE” yang duduk-duduk di sebuah  kedai kopi dengan jendela-jendela uniknya yang berwarna coklat dengan kaca yang kebinar-binaran.

Sebab bosannya normal saja, di manapun ia selalu bertemu dengan gambar Ronald McDonald, di papan besar, di bandara ibu kota pertama kali ia mendarat, di rumah sakit, di bus-bus sekolah,  bahkan di cangkir kopi tempat di mana ia sedang duduk-duduk saja Ronald McDonald selalu ada. Ini ajaib, katanya.  Di televisi Ronald mirip politikus, penyihir kapitalisme papan atas.

Ya  di seberang papan besar Ronald McDonald itu, ada  perempuan yang sedang  ia tunggu lengkap dengan keranjangnya. Sedari tadi masuk toko kelontong sebelah  Drive in.

 Jika saja matahari sore ini datang memasuki celah-celah kaca jendela, bisiknya dalam hati. Pastinya cahaya itu bakal dibuatnya berbelok-belok,  membentuk seperti jalan-jalan aspal yang panjang di bukit-bukit. Jalan yang terbuat dari cahaya imajinasi. Dan ia sengaja memindahkan, mengumpulkan cahaya di cangkir kopi bergambar Ronald McDonald. Kebiasaan itu lagi. 

Pastinya suasana unik yang selalu membayang-bayang  imajinasi palupinya saat bermain-main cahaya akan memecahkan pagi tadi yang begitu redup karena mendung. Kini Paman Asia tidak bisa bermain cahaya sore di cangkir-cangkirnya. Hingga sorenya dilalui saja dengan duduk–duduk sambil membolak-balik buku telpon.

Lalu, seorang perempuan kulit putih keluar dari pintu toko kelontong seberang tempat duduknya. Dari jendela jua, Paman Asia melihat gerimis menyapa perempuan itu lebih dulu.  Perempuan kulit putih yang  membawa sebuah keranjang. Betul keranjang yang agak besar. 

Perempuan itu menunggu sejenak di bawah papan besar  Ronald McDonald,  merapikan barang-barang di keranjangnya dan merapikan kancing  baju  tebalnya. Tak lupa rambutnya.  Beberapa kali ia menepuk-nepuk baju tebalnya yang kotor karena debu.  Suasana  Drive in yang agak ramai, kebanyakan anak muda,  membuatnya timbul tenggelam bersama lalu-lalang mobil-mobil.

Perempuan kulit putih itu tersenyum membuka tas kecil melambai sapu tangan  kepadanya. Paman Asia membalas dengan mengangkat tangan. Tanda untuk segera duduk-duduk bersamanya.

Dari dekat, perempuan kulit putih itu mengenakan baju tebal dengan bulu-bulunya sebagai penghalang hujan dan dingin. Alisnya yang tipis, rambut yang panjang bergelombang, bibir yang tipis pula tersenyum sambil mencium pipi Paman Asia dengan  mesra. Duduklah  ia mengobrol-ngobrol. 

“Apa yang kamu dapat?” Paman Asia memulai pembicaraan.

“Banyak sekali,” jawabnya singkat.

Perempuan kulit putih itu banyak menunjukan barang-barang yang  ia beli dari toko kelontong.  Jam tangan, jam beker, sepatu  kulit, seragam tentara, dan tak lupa mainan-mainan kecil. Sementara deru-deru suara mobil  yang keluar dari Drive in seperti menenun gerimis yang membuat sikap Paman Asia melaju dingin seperti ban-ban yang melaju pelan di aspal.  

Percakapan mengenai barang bekas seperti ini sebetulnya selalu dinantinya.

Terutama barang bekas yang meninggalkan jejak perang. Perang dunia pertama, Perang dunia kedua, perang saudara di Afrika, jatuhnya Bom Hiroshima dan Nagasaki. Tulisan feature pasca jatuhnya Bom Hiroshima dan Nagasaki oleh Jhon Hersey dari majalah The New Yorker menjadi pengetuk hati sepasang kekasih itu pergi ke Negeri Sakura, mengantarkan kimono tua milik korban bom yang didapatinya di sebuah pameran bulan oktober di Munich Jerman. 

Jam tangan,  jam beker, sepatu kulit, seragam  tentara, membuat mereka merasa asik membicarakan pemilik barang bekas yang dulu. Mulai dari kesan pertama apiknya barang-barang bekas itu saat  dijaga pemiliknya sampai imajinasi di mana barang bekas itu sudah dilupakan akibat perang. Kenapa dilupakan? Mungkin saja bukan dilupakan, hanya tertinggal. Hanya saja semudah  itukah  memori manusia. Mudah lupa, mudah pula mengingat.

“Bukankah itu hal yang lucu sekaligus tragedi, layaknya kisah Alice in Wonderland?,” kata Paman Asia .

“Ya, ya.. aku pun membayangkan seperti itu,” perempuan itu menyahut dengan senyum-senyum lebarnya. 

Dengan tanggap ia membungkus barang-barang bekas agar terlihat rapi, tak lupa mengelapnya juga.“Aku menyukai pekerjan  ini. Aku menyukainya,” sambil membungkus. 

“Lalu adakah jejak-jejak perang yang ditinggalkan pemiliknya, tulisan-tulisan, nama, tanggal,  lalu kita cari alamatnya. Ya alamatnya,” Paman Asia itu mulai bergairah.

“Tunggu dulu!” perempuan itu menyela, “Jangan lupa, bukankah kita  malam  ini akan mengunjungi rumah Alann Klitckhof. Benarkah alamatnya di  Meriddian Flannel No 5? Surat-surat dan tamagochi ini  harus sampai padanya bukan?”

Di mata Paman Asia, perempuan itu begitu cerdas. Paman  Asia menyukainya.

Ada yang janggal,  perempuan itu seperti sedang  ragu untuk mengungkapan hal yang penting. Penting sekali. Tapi belum dapat celah karena Paman Asia sedang bergairah dengan catatan dan buku telpon.

Saat membungkus sering kali bola mata perempuan itu mencuri tatapan,  melihat wajah Paman Asia  yang juga sibuk membuka buku telpon.  Namun senyum, kerut dahi plus alis perempuan itu yang naik seakan memberi makna berbeda. Lihat saja, saat Paman Asia membalas tatapan itu. Taktik yang selalu sama yang dilakukan oleh perempuan  manapun.

MALAM SEHABIS SEHARIAN HUJAN. Pukul tujuh lebih tiga belas menit di sebuah jarum jam hitam metalik  yang besar di stasiun kota ini, mereka naik taksi menuju jalan  Meriddian Flannel yang basah aspalnya. Sepasang  kekasih itu menuju rumah Alann Klitckhof. Tak henti-hentinya mereka membicarakan kereta yang baru saja mereka naiki. 

Taksi berhenti di sebuah rumah yang agak kecil dengan pagar putih lancip menjadikannya  lebih unik dibandingkan dengan deretan rumah lain di sekitarnya. Ya  itulah rumah Alann Klitckhof. Tamannya bagus. Tumbuh bunga-bunga lengkap dengan  rumput-rumput yang selalu basah. Tak ada garasi. Padahal di kota ini hampir semua penduduknya mempunyai mobil. Industri mobil di negara ini sedang maju-majunya. Menurut supir taksi tadi, kredit mobil, rumah, juga sangat mudah.  

Jalan mulus di depan  halaman rumah Alann Klitckhof itu bakal terlihat batu-batu granit besar tertanam di halamannya, tentunya setelah melewati pintu pagar yang putih lancip lengkap dengan tempat surat yang berdiri gagah di depan pintu pagar, sepasang kekasih itu menemui tangga kecil dengan dua-tiga langkah kaki tingginya. Setelah menaiki tangga ada sebuah bangku panjang dari kayu dengan koran-koran yang bertumpuk begitu saja barulah bisa terlihat. Oh ada juga dua kucing berbulu cantik sedang bermalas-malasan dengan makanan kucing di piring yang belum habis disantapnya. Naluri mencintai binatang  perempuan itu pun muncul, mengelus-elus bulu si kucing, sementara jari telunjuk Paman Asia menekan bel.

Bel pun berbunyi.  Sambil menunggu, perempuan itu tersenyum  ke Paman Asia.

Perempuan itu merapikan kemeja Paman Asia. Pun topinya. Paman Asia membalasnya dengan kecupan di kening. Tentunya mereka tetap bergandengan.

Seorang Bapak dengan kumis tebal dan kepalanya yang hampir botak membuka pintu.

“Apakah benar ini rumah Alann Klitckhof?” tanya perempuan itu dengan bahasa lokal yang terbata-bata terbalut senyum dan semangatnya.

“Ya benar, itu saudara kembarku,” jawabnya cepat.

 “Silahkan  masuk,” ajaknya ramah.

Sejam. Dua jam. Sepasang kekasih itu bersenda gurau dengan kembaran Alann Klitckhof yang berkisah seputar  isi surat-surat dan tamagochi Alann Klitckhof.

“Alann Klitckhof? Si Badut lucu itu  memang selalu melakukan hal-hal bodoh,” tutur Paman Bred memberitahukan kisah menarik tentang kembarannya itu. 

Alann Klitckhof, ia lihai membuat tertawa siapa saja. Alann Klitckhof  dikenal tenaga medis, tetangganya sering memanggilnya, “Hai Badut Medis selamat pagi!” tutur adiknya terkekeh. 

Saat kota ini menjadi pusat perang, saat pesawat-pesawat tempur fasis menggempur kota, Alann Klitckhof dikenal sebagai badut medis. Ia berdandan seperti badut menghibur anak-anak korban perang sambil sibuk sana-sini membawa obat, begitu juga saat mengangkat mayat. 

Di meja-meja penuh dengan makanan kecil dari gandum dan kacang-kacang, keju dan  susu.  Tak lupa minuman bersoda seperti coca-cola selalu hadir di negara ini. 

Sepasang kekasih itu pun pulang dengan bahagianya. Mereka mendapatkan teks-teks yang menarik. Teks-teks yang mampu berbicara di radio. Menggantikan pidato-pidato yang tak berguna dari anggota parlemen yang menjijikan.

“Apa tadi kau merekamnya,” Paman Asia itu menanyainya.

“Ya, aku merekamnya. Paman Bred juga lucu. Meski Alann Klitckhof belum pulang dari perantauan sirkus kelilingnya. Bulan depan mungkin kita akan menemuinya lagi. Kata Paman Bred, Alann Klitckhof akan mengirimi kita surat. Jadi tunggu saja.”

“Surat-surat dan tamagochi itu?”

“Itu juga sudah aku titipkan kepada Paman Bred. Saat  itu kau keluar mengangkat  telpon dari  redaktur.”

Pintu Paman Bred masih terbuka saat ia mengantar sebentar sepasang kekasih itu meninggalkan rumahnya yang berpagar putih lancip. Sepasang kekasih itu bergegas menaiki taksi yang sudah ditelpon Paman Bred. Mengantar mereka ke  stasiun kereta yang bakal berangkat pukul 11 malam ini.
Di tengah-tengah cerita kekaguman mereka dengan kereta-kereta lagi, Perempuan itu menceritakan  hal yang tertunda sore tadi.

“Aku ingin menceritakan sesuatu,” tutur perempuan itu. 

Menurut tutur penjaga toko yang ditemuinya sore tadi,  toko kelontong itu akan dijualnya. Begitu juga toko-toko di sekitarnya. Perusahaan fast food  memberikan penawaran yang  ‘tidak biasa’. Begitu menggairahkan. Toko kelontong tadi yang dikunjunginya untuk  membeli barang-barang bekas berupa jam  tangan, jam beker, seragam tentara,  katanya juga akan disulap menjadi sebuah taman bermain untuk anak-anak. 

Bila jadi, toko itu akan tertanam di memori Perempuan itu saja saat bangunan fisik diratakan.

“Taman bermain seperti Disney, Ronald McDonald?”

“Ya betul…”

“Ini gila, sore tadi saat duduk-duduk aku sudah memikirkan hal itu,” jawab  Paman Asia sambil mengangguk-angguk, membuka topinya, berjalan, berpikir tajam  memasuki pintu kereta. 
***
Cerita pendek ini masuk dalam 13 nominasi lomba cerpen se Jawa-Bali 2013 yang diadakan oleh UKMP Malang