Di masa sekolah tentu kita ingat dengan seremonial upacara bendera di hari senin. Di mana upacara ini menjadi kidhmat saat bendera sang merah putih dikibarkan dengan nyanyian merdu "Indonesia tanah airku.." menambah getar keindoensian.

Terlebih saat 17-an, kita semua diajak oleh guru-guru kita untuk memadati alun-alun, kembali melaksanakan upacara bendera.Uniknya kita merasa dikembalikan pada masa revolusi saat getar-getar  teks proklamasi yang dibacakan oleh Bung Karno melalui rekaman ataupun pembacaan teks oleh petugas upacara.

Namun sayangnya pemaknaan kemerdekaan itu sepintas lalu saja pada seremonial upacara. Setelah itu kita disibukan dengan bermacam-macam perlombaan. Ataupun didendangkan merdu suara biduan dangdut yang sengaja sudah disewa (oleh pejabat) untuk memeriahkan kemerdekaan. Kita pun akhirnya banyak dikecewakan dengan pidato remeh-temeh pejabat yang menjurus pada usaha politis "Pilihlah Aku di 2014."

Hilanglah sudah makna suara Bung Karno yang sepintas lalu kita dengar di upacara bendera karena redam suara biduan  dan pejabat yang gebyar dengan panggung-panggungnya. Inikah yang  disebut dengan estetisasi sebagai negara panggung telah merasuk ke pola pikir kita dalam mengungkapkan kemerdekaan dalam bingkai estetisasi yang diketahui pola pikir ini berasal dari watak dan perilaku kolonialis? Disinilah kita pun terkenal dengan negara gebyar.

Persis wacana gebyar berpesta ria ala kolonialis ini dilakukan oleh raja-raja untuk menunjukan rsa hormat terhadap VOC yang menutupi kenyataan bahwa kita terjajah teritorial. Oleh karena itu kita harus berfikir ulang mengenai semangat kemerdekaan yang dibumbui dengan estetisasi yakni memberi tampilan hias yang cantik pada pangung-pangung tapi kita kehilangan makna yang sesungguhnya mengenai kemerdekaan. Sebagai Homo luden kita berhak untuk bermain-main mengikuti perlombaan untuk memeriahkan kemerdekaan, namun kita patut pula bertanya dalam hening wacana apa dan siapa yang dibawa ini? Begitu.