Koran Sindo Selasa, 4 Maret 2014
Guru mesti bermimpi punya banyak buku. Guru mesti punya perpustakaan pribadi. Dari buku guru banyak cerita. Berbagi cerita bacan buku dapat membuat imajinasi anak berkelana bebas. Guru berumah buku jarang ditemukan di abad 21 ini. Guru sibuk dengan rpp dan silabus. Guru sudah jarang membaca buku.

Kita mengerti guru adalah pembentuk jiwa murid. Jiwa murid dikembangkan dari imajinasi kata dari buku-buku. Murid tentunya menanti guru yang punya banyak cerita dari buku. Kegiatan saling berbagi cerita dan saling pinjam buku adalah perbuatan suci selain mengerjakan tugas sekolah.

Berdiskusi mengenai buku jarang dilakukan oleh guru kita. Sebab sekolah berubah menjadi penjara imajinasi dan buku-buku. Mirisnya, guru-guru abad 21 enggan membeli buku saat gajian. Guru abad 21 lebih memilih mobil dan motor ketimbang buku.

 Di zaman yang serba berkecepatan tinggi, guru-guru mesti menghadapi murid zaman internet. Guru tak berbuku tapi murid berinternet. Guru abad 21 mesti menambah kecepatan dengan berbuku. Kecepatan literasi guru dalam mengembangkan imajinasi anak murid haruslah dari buku-ke buku. Kita percaya internet belum bisa mengalahkan buku sebagai cetak biru pengetahuan.

Kita selalu menanti guru abad 21 yang rajin membeli buku dan mengembangkan perpustakaan. Kita lebih kagum dengan guru berumah buku dibandingkan dengan guru bermobil dan bermotor. Profesi guru bukan hanya sibuk metode belajar dan evaluasi pelajaran. Guru juga mesti sibuk hidup berbuku dan mengurus perpustakaan di rumah. Guru mesti memperindah rumah dengan buku-buku dibandingkan dengan memadati rumah dengan barang elektronik.  

Jarang sudah kita temui murid-murid bermain ke rumah guru menemukan guru yang berbuku. Kasihan, murid hanya berbekal buku paket yang isinya hanya ringkasan-ringkasan pengetahuan. Guru tak berbuku murid bebal. Maka guru tak berbuku mengamini bebalisme dalam pendidikan.

Pernahkah guru-guru saat liburan mengajak murid-murid untuk berkunjung ke toko buku dan mengobrol buku-buku dengan pedagang buku? Inilah apa yang disebut dengan hubungan interaksi guru dan murid dijalin melalui benang tenunan literasi. Sayangnya, guru abad 21 lebih memlilih berlibur dengan murid-murid menjadi pelancong ke tempat wisata. Lalu sibuk potrat-potret diri dan dibekukan di album sekolah, twitter dan instagram.


Kita selalu menanti Guru abad 21 menjadi guru yang berumah buku. Guru seperti ini apa yang diungkap Romo Mudji Sutrisno sebagai guru kebudayaan. Yakni guru yang dengan sabar berimjinasi dengan proses menenun melalui jalan literasi. Guru yang selalu merajut melalui kata dan pengetahuan. Guru yang tidak hanya mengajak berkeliling borobudur tapi juga dengan sudi berkisah dan hayat menghayati kemegahan borobudur. Guru abad 21 harus menjadi pemahat kata-kata, sebab dari situlah murid yang berupa batu kasar menjadi batu yang berbentuk dan indah. Guru abad 21 maukah kalian berumah buku? Semoga saja…

Tulisan ini masuk di rubrik poros mahasiswa Koran Sindo 4/3/2014. (Tulisan tanpa edit)