Perempuan itu sedang duduk-duduk. Terbangun dari mimpi menuju selasar. Gaunnya begitu indah. Aku yakin semalam dia mimpi menjadi cinderela. Pagi itu banyak pedagang menghampirinya, memanjakannya dengan menawarkan kutek kuku. Menawarkan baju tidur, juga tak lupa menawarkan kutang dan celana dalam beraneka warna dan model. 

Cinderela, aku membacamu, mendongengmu tentang kehidupan itu menjelma sebuah permen ataupun cokelat. Manis, selalu manis.  Dan kita terkadang ingin membelinya lagi, mencium aromanya. Menggigit kembali hidup yang tak selau manis seperti cokelat.

Cinderela, kamu pasti sore-sore seperti ini sudah membasuh tubuhmu dengan air. Tubuhmu sudah wangi, lipstikmu merah. Kau menggoda. Ah tidak, kau yang akan tergoda. Aku disebutmu TAMU. Tamu yang membawa banyak bunga-bunga (baca uang).

Lembar-demi lembar kisahmu aku baca. Aku beruntung mendapat kisahmu, cinderela. Aduh, maaf aku memanggilmu cinderela. Kau tidak kehilangan sepatu kaca. Tapi kau memberiku sepatu kata. Darimu aku mampu berjalan melalui kata-kata, aku seperti dilempar sepatu kata olehmu: untuk menghargai perempuan.

Buku Dolly (1985) karangan Thahjo Purnomo Wijadi yang diperindah oleh Ashadi Siregar ini aku dapatkan di nggladak Solo. Di tengah hujan dan bau tanah gunung Kelud. Aku mendapati kisahmu di tumpukan buku-buku loakan. Si pedagang berkata padaku, 

“Ini buku langka mas,” katanya meyakinkanku.

Aku menggaguk, terdiam. Kusyu menatap buku itu yang sudah lusuh.  Aku menawar. Aku mendapatimu cuma sepuluh ribu. Mungkin pedagang kasihan melihat tampangku yang kere.

Cerita hidupmu memang langka. Kisah perempuan-perempuan hebat ada di tanganku. Aku begitu bersedih sekaligus bersyukur, mendapatkan buku itu. Aku lebih tertarik membaca kisahmu dibandingkan membaca buku-buku motivasi yang beraroma kehidupan picisan yang dipampang sombong dengan judul-judul garang mejeng di toko buku. Walau terkadang aku juga diam-diam membacanya.

Gila, kisahmu yang penuh negativitas kau jalani malam demi malam. Terkadang solidaritas antar pelacur begitu hebat.  Darimu aku belajar, solidaritas tidak hanya dimiliki oleh pesepak bola, para politikus. Pelacur pun mempunyai kisah solidaritas. Mereka saling mengisi kekosongan. Saling menghibur.

Hidupmu di bawah-bayang-bayang mami-papi. Kau gadaikan hidupmu. Tapi kau tersenyum. Di kala pagi kau minum jamu. Kukumu dikutek. Kau membeli baju-baju baru. Terkadang aku tahu, kau tidak punya uang. Kau menghutang. Renteiner mengawasi: air liurnya selalu menetes. Merayumu. 

 Thahjo Purnomo penulis skripsi hebat. Hikss.. skripsi. Aku menyebutnya penulis hebat tentang dunia pelacuran. Thahjo curhat, “tak jarang tuduhan bermoral bejat ditimpakan pada penulis”

Penulis sempat sakit. Karena ia menelusuri ke gang-gang. Masuk ke tengah-tengah denyut nadi pelacuran menguras pikiran dan tenaga. Aku bersyukur. Bisa membawa kisah pelacuran di buku ini. Aku membayangkan penulis yang jatuh bangun menghadapi preman, pelacur, serta papi-mami.  

                Ditinjau dari sejarah, pelacuran berdenyut di daerah-daerah pantai. Ada kredo, keyakinan bahwa kota muncul akibat kompleks pelacuran. Kota tumbuh, berkembang, muncul baber shop, toko-toko, tempat makan, hotel karena lampu-lampu pelacuran tidak pernah sepi. Menarik. 

                Begitu pula Tante Dolly adalah arsitek kota. Dari dialah kota Surabaya menjadi teks cerita yang menarik kita bercinta melalui kata dan kisah pelacuran. 

                Para germo (mami atau papi), tidak semua punya wisma. Mereka ada yang menyewa. Terkadang para anak buah tidak dilayani kesehatannya dengan baik. Ada yang takut dengan dokter, ada yang punya dokter pribadi. Gila teks kesehatan juga dimiliki oleh cerita-cerita pelacuran. 

Cinta yang diperdagangkan itu dimiliki sebagian besar oleh mantan atupun anggota aktif tentara loh! Hihihi, tentara, anggota ABRI atau angkatan darat ini malah gak ngabdi ama negara. Mereka lebih ngabdi ama bisnis cinta ini. Yaiyalah, gaji gak memadai. Bisnis ini kalau bisa dkelola dengan baik bisalah buat naik Haji. Keren tuh buat serial sinetron:  Tukang cinta naik haji!

Aku sedih kalau membaca hidup pelacur yang masih berhutang pada germo. Thahjo menulis, “Sulit bagi pelacur yang masih punya hutang pada germonya untuk lari pindah ke wisma lain...” 

Masalah hutang, aku juga punya banyak hutang. Hiks, untuk membeli buku terkadang aku menghutang pada teman, satu, dua juta. Semoga aku bisa membayarnya lewat kata-kata. Agar aku tidak lari dari dunia literasi. Amin.

Ada kisah lucu. Ada pendapat bahwa sang germo gak boleh main sama anak buahnya sendiri. Seperti pantangan, kalau main mereka bakal kena sial.. Nah loh... Makanya Om jangan jajan sembarangan.

Mengulik kisah percintaan para pelacur di Dolly gak kalah sama cerita-cerita FTV SCTV loh. Ada tamu menjalin kisah dengan pelacur langgannya. Kadang-kadang ada juga lelaki yang serius (tapi buaya) untuk  menikahi mereka. Ada juga pelacur yang cemburu karena langgananya itu bermain juga dengan temannya. Aduh... cinta segi banyak.

 Seperti organisasi, mereka sering dibriefing ama papih mamih. Terkadang sindiran diberikan papi mamih bagi anak buahnya yang gak laku dengan,

“Tidak pernah ditemukan germo secara langsung  mengusir pelacur yang sulit laku. Pengusiran dilakukan dengan cara halus  dan  tidak menyinggung perasaan anak buahnya”

Dalam dunia pelacuran, tubuh perempuan selalu aktif bak robot. Tak ada toleransi istirahat kerja untuk malas-malasan. Saat menstruasi pun mereka harus tetap mejeng, nampang, melayani tamu.  

“Tetapi ini bukan berarti bahwa para pelacur tidak berhak menolak,” kata Thahjo,  “Sebab ternyata para pelacur yang menjadi primadona wisma atau berpendapatan tinggi dibolehkan germonya menolak ajakan tamu. Sang germo merasa Khawatir apabila memaksa anak buahnya itu, si Primadona meninggalkan wismanya.”

Manusia adalah makhluk jalan-jalan. Germo saat hari-hari besar nasional terkadang mengajak para anak buahnya untuk berlibur. Menyewa Colt, mereka jalan-jalan keliling Surabaya. Thajho menulis, para germo dan anak buahnya berlibur  ke  jalan Wijaya kusuma, pantai Ria Kenjeran atau ke Perak. Sialnya, ada juga para pelacur yang tidak pernah jalan-jalan. Manusia butuh berlibur, bung!

Tuhan, kau ciptakan perempuan. Aku bersedih hati membaca kisah-kisah seperti ini. Perempuan terlahir untuk mengemban berat nan suci. Tubuhnya adalah wacana. Setiap geraknya adalah kata. Apa yang diucapkannya adalah cerita. Betul, dalam novel cantik itu luka. Mungkin setiap wanita tidak seutuhnya ingin menjadi cantik. Sebab kecantikan membawa kesengsaraan. Namun ketidakcantikan pun membawa sang pelacur mendapatkan cap yang begitu menakutkan, Laku dan tidak laku.

Dari kisah buku ini, lembar-demi lembar mempunyai misi indah: muliakanlah perempuan. Duh, kamu bakal mengerti sayang, aku membaca ini agar aku pun dapat mencintaimu, menjagamu. Aku ingin memelukmu dengan kata. Aku sudi membacakan kisah-kisah seperti ini, sambil memijit tanganmu yang lelah karena mengurusi imajinasi rumah kita yang penuh buku-buku.

Kau tidur di sampingku, aku memelukmu dan menciumu dengan kata, sambil aku mendongeng  tentang kenegativitasan kehidupan. Agar kita tak melulu merasa suci. Begitulah sayang,  cinta dalam dunia pelacuran penderitaanya tiada akhir... Aku mendo’akanmu. Muuuaaahh....