Jakarta kota berbuku. Aku, Aang, Handi, dan Hadi berangkat ke Blok M. Dua orang lagi, Pipi dan Yanu duluan ke Senayan berburu buku juga. Ritual mandi buku, berharap mata, tangan, dan kaki menjadi tubuh yang berbuku. Mencoba rehat dari tubuh yang begitu sepi akan kampus. Atau keluar dari riuhnya kampus yang bermotor dan bermobil.

Malam minggu kala itu aku merasa  malam yang berisi kartun-kartun. Ah tidak, jiwa bocahku terpanggil untuk memiliki buku-buku beraroma kartun dan karikatur. Dari Panji Koming, Om Pasikom, Charles Dickens untuk remaja. Sampai buku Indonesiana berisi kisah lucu-lucu tapi bahasa inggris. Sedih.

 Mendapatkan uang  honor menulis di KORAN akan aku balas dengan membeli buku-buku. Sialnya, saya tak sempat mengucap istighfar. Jadinya aku membeli buku lebih dari honor yang diterima. 

Tanganku yang nakal, mengubrak-abrik buku-buku murah sepuluh ribuan membuatku mendapatkan buku karya Ramelan, S, “Si Kabayan”. Duh, ini dia salah satu tokoh imajinatif yang aku sukai dulu. Ingatan-ingatan bocahku tentang si Kabayan jarang menemuinya berbentuk buku. Si Kabayan lebih aku kenal di televisi dibanding buku. 

Si Kabayan bergambar ini adalah buku pelajaran. Bagus, aku ingin terus memeriksa, menjadi bagian orang-orang yang mengurusi buku-buku pelajaran bergambar. Saat aku membuka lembar kedua, barulah di dalam buku itu disebutkan,

“bacaan bergambar anak-anak sekolah dasar,”

           Ha, baca buku ini bener-bener disuguhkan oleh candaan-candaan Si Kabayan. Kadang-kadang buatku sedih juga sih. Si Kabayan di gambarkan penulis sebagai,

“Anak yang bodoh tetapi sangat lucu. Dalam buku ini dapat kita baca hal-hal yang lucu disebabkan oleh kebodohannya itu”

Singkat cerita,

Si Kabayan jualan es mambo. Tahukan es mambo? Yang harganya seribu atau gopek tapi esnya panjang bener…  Kasihan deh yang udah lupa. Nah, ada deh tuh bocah-bocah yang mau beli es mambonya. 

Mereka pun berkata,

“Kabayan , aku mau beli es mambomu, tapi sebelumnya, kalau enak, es mambomu aku bayar. Kalau tidak enak, tidak dibayar,”

Kabayan menjawab,

“Oooo,,, boleh. Es mamboku enak, sudah tersohor.

Sesudah 5 buah es lilin habis dimakannya, yang membeli es berkata,

“es mambomu tidak enak rasanya, jadi aku tidak bisa membayarnya.”

“ooooh….., tidak apa-apa. Tidak apa-apa,” kata si Kabayan sambil tertawa.

Astaga, si kabayan kena kibul.. Aku tertawa membaca kisah ini.

si Kabayan jualan es mambo
                Ah, menurutku masa kecil adalah masa yang kita rindukan kebodohannya. Dalam percintaan, permainan, kebodohan adalah anugerah. Loh, masa iya?

                Kalau kita kumpul-kumpul dengan teman-teman se-bocah dulu, kejadian-kejadian bodoh yang kita alami adalah kisah-kisah yang mengundang kelucuan. Manusia adalah makhluk melucu. Membaca buku Si Kabayan menjadi agenda asik mengembalikan kebocahan dan kelucuan kita sebagai manusia. 

Di akhir buku, aku melihat teks lucu mengajak kita kembali menjadi bocah-bocah berseragam merah putih,

“Ajaklah semua temanmu umur 7 sampai 12 tahun masuk sekolah,”  dan berkata pula, “Sebaiknya kuajak temanku yang belum bersekolah agar ia pandai seperti teman-teman kelasku.”

ya tuhan, semoga aku bisa mengartikannya
Inget, besok hari senen loh? Keasikan dan kelucuan kita bakal tenggelam di ambil monster kota yang ada di mana-mana. Mereka mengintai di sekolah, di kampus, di kereta, di bus-bus. Ah manusia kota kalau mau, aku mau minjemin ini buku sebagai senjata melawan monster kota yang menghakimi kita dengan kebosann-kebosanan.

Sayang, apa kabar hari ini?

Aku bercerita untukmu. Semoga minggu ini kamu menjadi bocah kembali..

Selalu ceria dan esok kita menjadi manusia lucu dan menggemaskan….