J.K Rowling dalam bukunya The Casual Vacancy (2013) mengatakan kursi kosong dalam politik mirip kantong pesulap. Di dalamnya penuh serba kemungkinan. Anak muda mesti bisa menebak, kemungkinan kursi-kursi kosong itu bakal diisi badut-badut politik. Tidak salahnya tahun perebutan kursi kosong ini anak muda  mesti cermat memilih. 

Anak muda sering dicekoki slogan-slogan menjadi pemilih cerdas. Tapi anak muda pun berhak untuk mengukur, melihat kualitas para caleg. Caleg kita kebanyakan apolitis. Mereka tampil berpolitik dengan menempelkan wajah-wajah ramah penuh senyum di pohon-pohon. 

Lucunya anak muda diundang untuk rembug politik di rumah-rumah para caleg. Sayangnya, rumah mereka hanya dijadikan panggung untuk mengobral janji-janji. Memohon do’a restu, memuja tepuk tangan,  dan mengajak makan, ngopi, dan ngerokok. Rumah mereka mirip warkop. Hanya menyediakan kopi, rokok dan mie instan. Akhirnya anak muda pun berpolitik instan!

Justru disinilah, anak muda jangan tergoda dengan tawaran-tawaran politik warkop itu. Kita malu memilih caleg yang rumah mereka kering akan pengetahuan politik. Rumah caleg miskin akan buku dan wacana politik. Kita justru merindukan rumah para caleg yang penuh dengan buku dan kursus-kursus pemikiran politik. 

Akhirnya, caleg sekarang sudah jarang yang menjadi serigala literasi politik. Bukankah merekadiwariskan buku-buku pemikiran politik macam Hatta, Syahrir, Tan Malaka dan  Soekarno. Mereka jarang  membaca dan memberikan gagasan  politik berupa tulisan-tulisan bernas mengenai politik. Caleg kita sudah mati literasi politiknya.

Di koran-koran mereka bukan menjadi politikus yang literer tetapi malah menjadi koruptor.Setelah terpilih, koran-koran pun memuat dan mempertontonkan opera kursi kosong di DPR. Mereka hanya hadir dan memadati kursi itu saat pembahasan proyek-proyek yang menguntungkan. 

Anak muda mesti jeli melihat kualitas para caleg dari literasi politik. Yakni para caleg dari partai politik yang melek akan politik dan dibesarkan oleh buku-buku. Bukan memilih badut-badut politik yang hanya bisa berhias dan bersolek di baliho-baliho. Di kursinya mereka hanya menjadi orang-orang tanpa kepala.
  
  
*Tulisan ini masuk di rubrik Poros Mahasiswa Koran Sindo 19 Maret 2014