Suara tulus dari rakyat ditentukan oleh demokrasi lima menit yakni pencoblosan. Pinta rakyat pada saat itu hanya mengharap pemimpin yang selalu eling, selalu ingat pada nasibnya kelak. Rakyat rasanya sudah bosan dingatkan dengan gombalan berupa  janji-janji politik. Janji yang dimuat di koran, di baliho, di telivisi-telivisi. Seolah-olah para caleg bermain politik ingatan agar rakyat tak lupa mencoblos.

Di demokrasi lima menit ini rakyat bicara dalam hening sesungguhnya pemilu yang mereka ingat adalah demokrasi euforia. Sebuah perayaan riuh caleg mengundang rakyat untuk berkumpul, rembug ke lapangan. Tak lupa rakyat diingatkan memakai kaos bergambar partai. Lalu menjadi pandu tepuk tangan dan beribu kerongkongan teriak slogan-logan klise sambil diiringi suara biduan dangdut.

Kita lupa dengan sejarah politik berkesadaran mengapa kita mesti berkumpul. Rosihan Anwar dalam buku Kisah-Kisah Jakarta Setelah Proklamasi menggambarkan riuh beribu kerongkongan sadar hadir di lapangan Ikada (Monas) untuk menjaga keutuhan proklamasi.  Soekarno keluar ikut rembug dan berteriak, “Kami dari pemerintahan akan tetap menanggung jawab terhadap rakyat walaupun andaikata rakyat nanti akan merobek-robek dada kami.” 

Kini saat rakyat berkumpul di depan gedung DPR pemimpin dan wakil rakyat enggan keluar untuk menemui rakyat. Saat ada rakyat yang mau dipancung mereka menutup mata. Saat banyak anak-anak sekolah pergi untuk belajar mereka harus menyeberangi jembatan rusak lalu mereka yang dipilih oleh bapak dan ibunya tetap diam. Rakyat butuh dibangun kepercayaan melalui tindakan bukan melalui slogan-slogan klise. Kita hilang ingatan akan politik yang sehat.

Inilah yang dimaksud dengan Alfian (1986) sebagai pembangunan politik yang hidup. Demokrasi yang dimaknai dengan responsip terhadap berbagai aspirasi yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Bagi kita pembangunan politik kedepannya mesti diiringi dengan ingatan-ingatan akan aspirasi rakyat saat pemilu.

Sebab itu pemilu butuh tanggung jawab barangkali. Agar tak usai demokrasi lima menit ini kita mendoa’kan mereka agar eling di kursinya kelak. Kita mesti ingat wajah-wajah lucu dari para caleg ini. Agar kita tak terjebak dengan histeria pemilu. Yakni rasa ketidaksadaran mengapa dulu memilih dan memuja mereka. Lalu rakyat pun tak ingat dan bertanya-tanya mengapa mereka ditendang tidak boleh ikut partisipasi dalam pembangunan. Semoga tak seperti itu. 

  
Tulisan ini masuk di Poros Mahasiswa koran Sindo 4 April 2014