Malam ini sehabis main futsal aku mendengar di bawah orang-orang bergitaran memainkan lagu “Balapan Solo”. Solo, aku mengenang dan mencintainya dengan dalam. Solo Jebres adalah stasiun penuh kenangan bagiku. Jalan Literasi, bercanda dengan kawan. Aku menumbuhkan romantisme di Solo. Kereta, buku, orang-orang dan lainnya. Wah, aku galau!

Menulis solo, aku jadi ingat dengan buku hasil loakan di nggladak. Aku, Mas Fauzi, Setyaningsih, Mutimatun, Qibtiyah, Yun, Luthfi pernah berburu di loakan buku itu. Aku menemukan buku pelajaran anak-anak. Asik. Aku kembali jadi anak SD! Hehe, Buku berjudul Gesang Pencipta Lagu Bengawan Solo (1984) begitu asik aku baca.

Ny. S. Wardoyo Dkk, aku berucap syukur kepadamu. Melalui buku tipis ini aku seperti mengalun bernyanyi bersama kehidupan Gesang. Wah, aku jadi sedih! Ingat pas SMP aku kenal Gesang saat guruku mengenalkannya sebagai penyanyi hebat. Tapi aku gak punya buku untuk mengenal gesang lebih jauh. Buku ini menjadi membasuh hausku akan Gesang.

Dengan mantap, penyusun bilang, “Setiap putra Indoensia ingin berbakti pada Ibu Pertiwi, dengan kemampuan masing-masing,” begitu katanya.

Persis apa yang diungkap buku ini, Gesang adalah keturunan pengusaha batik terkenal di Solo. Gsang hidup dengan buruh-buruh yang bekerja dengan batik. Ah, aku jadi terharu. Gesang memilih mengabdi pada musik dibanding batik. Keputusan ayahnya untuk terus mengembangkan bakat Gesang adalah yang pertama aku angkat jempol. Seorang bapak yang begitu mengerti kemauan anaknya. Aku bersyukur jadi bisa menikmati karya-karya Gesang. Gesang ikut perkumpulan keroncong pimpinan Bapak Supardi Sastropradoyo. Oh, Pak Martodihardjo, engkau bapak yang mengizinkan jalan anaknya meanapaki jalannya masing-masing. 

Kehidupan Gesang yang begitu seerhana membuatku terenyuh. Menurutnya, “Hidup jangan merugikan orang lain. Tuhan Maha Penagsih dan Penyayang”. Ujian berat diberikan gesang saat ia harus bercerai dengan istrinya. Gesang miskin. Gesang hidup berpindah-pindah sampai-sampai dia harus hidup di rumah pembantunya yang dulu. 

  Apakah buku tipis yang bagus ini ada di perpustakaan-perpustakaan sekolah? Barangkali aku meragukan. Sekolah adalah tempat melupakan buku-buku. Gesang aku tidak tahu siapa gerangan yang bakal membaca kisahmu lagi…Hiks!