Aku bersama Joss di Bilik Literasi Solo

Perjumpaan awal di buku dan blognya hanya percakapan sunyi. Buku saling silang Budaya terbitan Marjin Kiri itu beberapa tulisannya menghentak dengan kata, tapi tidak bunyi. 8 Feburuari 2014, di Bilik Literaasi Solo, Joss datang mampir bertemu dengan santri 14 hari Sinau. Joss sinau bareng sama kami. Joss bercerita banyak mengenai Indonesia, bahasa, politik, gamelan, sampai obrolan seram tentang timor-timor. 

Membaca buku adalah pertemuan. Pertemuan sunyi saat membaca buku, akhirnya aku bertemu dengan penulisnya langsung. Ini pertemuan dua kalinya dengan Joss. Pertama salam di buku bertemu dengan buku, Kedua ngobrol bareng dengan Joss.

Saat bercerita mengenai EYD, Joss sering mengucap tokoh Ben Anderson. Betul pertemuannya dengan Om Anderson membuat Joss sering menulis dengan ejaan lawas. Kehidupan Ben Anderson yang ditemuinya di sebuah kampung Amerika Serikat, bercerita mengenai rumahnya tak bertelevisi. Tapi Om Ben senang dengan Radio. Katanya, Om Ben semakin larut malam dan banyak minum semakin asik berbicara dengannya.  Ben Anderson dalam buku Joss adalah salah satu tokoh yang melawan pemerintahan Soeharto dengan menyerang EYD. Joss pun demikian. Makanya jika kita buka Blog Joss (http://gatholotjo.wordpress.com/): tentang ini blog. Akan kita temui sebuah pernyataan, “Mengindjek2 EYD”.

Makanya ketika Joss melihat buku Student Hidjo terbitan Bentang yang sudah di sempurnakan ejaannya menurut bahasa bale pustake Tuan Soeharto menunjukan kemalasannya membaca itu buku. Begitu pentingkah sebuah bahasa? Ini propaganda asik. Pertanyaanku tentang Om Ben apakah ia begitu terpengaruh dengan Tjamboek Berdoerie saat aku membaca esai pengantar Ben Anderson dalam buku dengan judul buku sama Tjamboek Berdorie Indonesia Dalem Api dan Bara,Om Ben begitu berapi-api meledek dan memangil-manggil nenek moyang Gudang Garam dan Abri, “Halo Gudang Garam dan Halo ABRI, nenek moyangmu disebut” dengan begitu lucu?

Joss pun mengamini itu. Tjamboek Berdoerie adalah penulis yang menjadi obsesi Om Ben. Penguasaan Bahasa dari Tjamboek Berdoerie berupa bahasa Jawa, Melayu, Fukian, Belanda, membuatnya menjadi penulis handal pada zaman itu. Tjamboek Berdoerie atau yang dikenal dengan nama asli Kwee Thiam Tjing begitu membuatnya terkenal dengan esai-esai ampuh tentang perlawanan terhadap penjajah, orang hindia belanda, bahkan ia mengkritik habis cina peranakan itu sendiri. Yang membuatnya terbuang dari tetangga, rumpun, dan perhimpunan sejarah saudaranya sendiri.
 
Buku Tjamboek Berdoerie, Indonesia Dalem Api dan Bara dibiarkan gagah dengan bahasa asli dalam tulisan-tulisa menurut cetakan pertama kali terbit. Aku lupa terbitan mana tapi dalam buku Joss, aku pikir buku itu masih menggunakan bahasa ejaan Soewandi. Bahasa menjadi magnet untuk melawan politik Tuan Soeharto melalui bahasa balai pustaka EYD yang disempurnakan itu. Dengan membaca buku yang masih ejaan lawas menjadi agenda kita dalam perang politik bahasa. Jadi, aku merasa melakukan perlawanan dengan membaca buku-buku lawas.

“Sayangnnya,“ menurut Joss, para penerbit sekarang terkadang menyajikan tulisan-tulisan dengan pengalihan bahasa dengan ejaan EYD. Ini sebuah ironi. Contohnya, dengan cetakan Bentang ataupun Aksara Indonesia mengenai Buku Marco disebutnya sebagai anakronis. Yakni menghadirkan buku dengan dimensi waktu dengan dua zaman berbeda. Marco tidak pernah merasakan zaman orde baru yakni bahasa  EYD Tuan Soeharto. Wong zaman bahasa Soewandi aja Marco tidak merasai itu. Ada suasana, waktu, zaman, dan masyarakat berbeda.      

Dalam diri Joss banyak kesaksian tentang Indonesisa. “Nasionalisme menurutnya tidak punya kelamin”, begitu juga kata Om  Ben. Ideologi masuk ke Indoensia berupa nasionalisme kanan dan kiri. Aku langsung menanyakan tentang nasib Noto Soeroto. Tokoh ini begitu awam di telingaku. Aku dapati tokoh ini dengan tulisan Joss di bukunya itu. Apakah karena pemerintah abai tentang Noeto Soeroto? Begitulah, sejarah kita. Noto Soeroto samar-samar terdengar, ataupun malah hilang dari buku-buku sejarah kita.

Sejarah memang tidak memihak pada yang berpangku dilindungan ratu belanda. Noeto Soeroto yang mempunyai gagasan untuk terus berada dalam naungan belanda telah ditinggalkan. Menurut joss, Soewardi maupun Noeto Soeroto adalah orang yang sering ditulis, dikutip, dalam berita-berita Koran di Belanda. Artinya kedua tokoh ini mempunyai peranan besar dalam pembentukan ide-ide yang diakui. Noeto maupun Soewardi adalah orang besar.

Sejarah meminggirkan orang yang tidak berpihak pada Hindia Belanda. Noeto Soeroto yang semula radikal,meminggirkan diri dengan idenya dalam naungan belanda membuatnya sepi dalam hiruk pikuk pergolakan nasionalisme. Gaung pemikirannya sepi akan diskusi-diskusi tentang sejarah pergerakan.

Joss begitu terobsesi dengan gamelan. Joss meneliti bagaimana pengaruh gamelan dalam musik Barat. Kita bisa membaca bukunya itu yang terbitkan Marjin Kiri "Saling-Silang Indonesia_Eropa". Dari musik De Bussy dan penelusuruan sejarah lewat Village Javanies  saat peresmian menara Eiffel di Paris.  Menurut Joss, Belanda tidak pernah mendanai orang Hindia untuk bisa tampil di Paris. Perusaahan teh  di Sukabumi mendanai itu. Artinya, kata Joss, malah pihak swastalah yang memboyong gamelan sunda, gamelan jawa serta penari dari mangkunegaraan Solo berada di sana dalam menampilkan kebudayaan kita. Penyambutan pun meriah. Koran-koran banyak yang memberitakan kisah itu.


Obrolan kami terhenti karena Joss ingin menonton tayangan ulang dari Mata Najwa mengenai Habibie. Habibie? Ada kisah lucu yang ditulis Joss mengenai Habibie. Yakni persamaan dari Soeharto + Habibie = Hitler dan Speers. Aku dapati ini dalam bukunya itu. Lekaslah kalian membeli dan membaca buku itu! 

Waktu itu pukul setengah sembilan malam, Joss mencari Buku Iwan Simatupang, “Ziarah”.  Menurut Joss, Iwan salah satu pengarang dahsyat selain Pramodeya Ananta Toer. Obrolan kami berhenti sampai situ. Pertemuan-pertemuan sunyi lagi dalam buku selanjutnya mengenai sejarah kanan mudahan-mudahan terbit tahun depan. Dan aku ingin membacanya. Pasti aku membacanya. 

Semoga dari pertemuan sunyi  dibuku, ada do’a untuk kembali mengobrol lagi bersama Joss tentang Indonesia, politik, sampai ayam goreng. Pertemuan itu memang sesaat. Namun sesaat itu abadi, begitu kata Sapardi Djoko Damono.