Pada hari Sabtu, 20 Februari di Galeri
Nasional puluhan orang menunggu gong dibunyikan tanda perayaan bedah buku
dimulai. Bedah buku bertajuk Srihadi Soedarsono 70 Years The
Journey of Roso ini
digawangi Jim Supangkat, Jean Couteau, dan  Bambang Sugiharto sebagai
pembicara. Ingatan-ingatan tentang Srihadi mengenai perjalanannya dalam sejarah
melekat pada kertas sebagai medium dokumentasi sejarah mulai bermunculan.
Bambang Sugiharto mengatakan, karya
Srihadi berbasis kertas  menjadi penting dalam memasuki  dunia
spiritualitas. Menurutnya, membuat sketsa adalah kemampuan menangkap rasa.
Dalam menangkap rasa inilah, menurut Jean Couteau, Srihadi pernah membuat
sketsa kemiskinan era  Soekarno sebagai  pilihan sosial politiknya.
Penelusuran jauh
dilakukan Jim Supangkat mengenai catatan sejarah hidup Srihadi. Dalam 
buku Srihadi dan Seni Rupa Indonesia (2012) karya Jim Supangkat
dikatakan,  Srihadi  lahir dari keluarga priyayi intelektual. Adalah
Noto Soeroto yang mempengaruhi pemikiran orang-orang priyayi Jawa  saat
itu dengan majalah Oedaya. Majalah itu mampir di pikiran Soedarsono
Atmodarsono, ayah Srihadi. Soedarsono  akrab dengan berbagai literatur.
Ayahnya memajang lukisan tokoh-tokoh seperti  Rabindranath Tagore, dan
Mahatma Gandhi yang memikat mata bocah Srihadi. Obrolan-obrolan seni batik,
keris, wayang, seta samurai ayah atau  kakeknya mempengaruhi kepekaan rasa
Srihadi ke depannya.
Bagi Jim Supangkat, Srihadi mempunyai
tempat di sejarah Indonesia. Dalam diri Srihadi terdapat kisah, peristiwa,
pergulatan tokoh kebangsaan yang berkelindan dalam bingkai perjalanan seni
rupa. Di tangannya kertas-kertas menjadi medium pendokumentasian sejarah
berada. Pencatatan sejarah tak melulu berupa foto-foto. Sejarah Indonesia
tercatat dalam kertas-kertas tipis. Di sana tampil peristiwa, tokoh, waktu,
 perjalanan sejarah suatu bangsa. Dalam buku sejarah  yang tebal
jarang dimuat peran pelukis dalam pergerakan kemerdekaan.
Maka dari hidup Srihadi, kertas menjadi
medium sangat penting dalam pendokumentasian perjalanan sejarah Indonesia.
Peran seorang pelukis di zaman pergerakan  ada di kisah hidup Srihadi.
Tonggak penting Srihadi dalam pencatatan sejarah  adalah perekaman jatuhnya
pesawat Dakota VT-CLA 1 Agustus 1947 yang ditumpangi Agustinus Adisutjipto dan
dr Abdulrachaman Saleh. Dengan kertas, Srihadi memotret jatuhnya pesawat yang
terbelah menjadi dua. Peristiwa itulah yang memicu terjadinya Komisi Tiga
Negara yang  menjadikan Srihadi tampil sebagai  pencatat sejarah
perjanjian tersebut lewat  kertas dan gambar.
Ketika berumur 17, Srihadi menjadi
remaja  yang terlibat dalam pendokumentasian wajah tokoh-tokoh republik
dalam perjanjian Kaliurang antara Indonesia dan Belanda. Srihadi hadir menjadi
wartawan-pelukis Balai Penerangan Tentara Divisi IV. Tercatat sketsa-sketsa
wajah dari delegasi perundingan di Kaliurang tersebut. Di situ ada  Poppy
Djajadiningrat, Abdul Kadir Widjajakusumah. Ada juga  sketsa wajah anggota
delegasi Belanda Svan Loggem dan Amerika Eugene H Staryhorn.
Masa-masa genting dalam perang, kertas
berupa gambar dan sketsa penting diselamatkan lebih dulu daripada  hidup
Srihadi sendiri. Dia  mengaku, “Gambar-gambar ini saya simpan dalam kopor
tua. Ke mana pun saya pindah, kopor tua ini selalu saya utamakan untuk
diselamatkan” (Jim Supangkat, 2012).  Kertas gambar dan sketsa
 berevolusi  mencatat perjalanan bangsa.
Godaan menyibak
sejarah melalui medium kertas ini bukan saja menjadi peristiwa penting, tetapi
juga mengamini pentingnya peran seorang jurugambar semasa  revolusi.
Nashar mengungkapkan,  pelukis menjadi penyebar semangat revolusi melalui
gambar-gambar. Dalam buku Nashar Oleh Nashar (2002), pelukis Nashar mengatakan,
 pelukis berjuang melalui kuas. Nashar bergerilya dengan menebar
gambar-gambar di sudut-sudut kota. Srihadi juga menyebarkan poster-poster
perlawanan di  kota Yogyakarta dan Solo.
 Dalan sejarah, tercatat
lukisan-lukisan suasana perang seperti Seko karya Soedjojono, Persiapan Gerilya(Dullah), Laskar Rakyat Mengatur Siasat (Affandi), Seri Lukisan Pejuang (Hendra
Gunawan), dan Medan Gerilya Wonosari (Kartono Yudhokusumo). Lukisan
tersebut perlu ditafsirkan  lebih lanjut agar  bisa lantang bersuara
dalam rekam jejak mentalitas sejarah bangsa.
Jejak
Bagi Srihadi,
kertas merupakan  jejak sejarah yang mesti dirawat serius. Dia
menjadi  medium special, meski bisa  lusuh, menguning, dan mudah
sobek.  Dari kertas Srihadi mencatat  perjalanan sejarah dan
kebudayaan Indonesia. Ini  mesti dirawat. Mudji Sutrisno dalam esainya Membaca Sejarah (2015)
menuturkan, sejarah mentalitas  menuliskan tidak hanya peristiwa dari
kejadian sebagai fakta, tetapi mencoba menunjukkan pula struktur nilai bingkai
makna yang memberi roh strukturalisasi sosial, sistem politik, perilaku ekonomi
pelaku-pelakunya individual maupun kolektif.
Kertas yang diselamatkan Srihadi berupa
gambar dan sketsa yang merekam  perjanjian di Kaliurang dan  jatuhnya
pesawat Dakota VT-CLA menyimpan cermin mentalitas sejarah. Kertas-kertas itu
lantang meneriakkan pembacaan sejarah  pergolakan revolusi untuk membaca
mentalitas sejarah bangsa. Srihadi mengajarkan  tentang revolusi kertas
yang berandil  dalam pendokumentasian sejarah.
Lalu bagaimana
 generasi muda harus  membaca sketsanya seperti  Penggeledahan Rumah Rakyat oleh Tentara Belanda (1948)?
Dalam diri Srihadi yang saat itu berusia 15  banyak merekam berbagai
situasi dan peristiwa pendudukan Belanda atas Yogyakarta tahun 1948. Gambar itu
mencerminkan watak  KNIL yang anggotanya kebanyakan mercenaries  banal
dan susah diatur. Srihadi menggambarkan watak.
Srihadi menghayati  peristiwa, tokoh,
tempat, dan waktu. Ini persis ucapan  Mudji Sutrisno perkerjaan  yang
ditambah kerja sejarah menjadi etos  kebudayaan. Dia  hidup karena
diberi makna demi  keberlangsungan peradaban. Pembacaan sejarah ini agar
orang-orang lebih menghayati sebuah sketsa dan lukisan.
Bagi guru kebudayaan, cermin kertas-kertas
 Srihadi merupakan  jalan pembelajaran sejarah. Bagi siswa,
 kertas-kertasnya tak lekas berswafoto. Jadi, tetap diperlukan guru-guru
kebudayaan yang mampu menggambarkan  karyanya dalam bingkai mentalitas
sejarah. Dengan begitu,  bangsa dapat memahami  masa lalu untuk
cermin kini ke depan.
 *Tulisan ini masuk di Koran Jakarta 2 Februari 2016







