Judul Buku  : BACALAH!

Penulis         : Suherman, M. Si

Penerbit      : MQS PUBLISHING

Ukuran        : xii + 152 halaman; 15 x 23 cm


Mahaguru pembawa peradaban di dunia telah menggambarkan dimana buku menjadi teman duduk. Cobalah buku, bacalah mataku, bacalah kepribadianku melaluimu. Semenjak turunya ayat pertama yaitu iqra, telah membawa tradisi lisan ke tradisi tulis yang membawa pelita dalam kegelapan. Seprtinya buku telah membawa indikator peradaban dunia dimana terciptanya tulisan-tulisan.

Sehingga kesepakatan sampai hari ini, buku menjadi frame peradaban, perpustakaan-perpustakaan Islam yang berkembang pada waktu itu menandakan pula perkembangan Islam yang menjadi motor penggerak peradaban.

…Hal itu tumbuh dan dan berkembang atas dorongan tradisi intelektual yang menonjol dalam sejarah perkemabangan ilmu pengetahuan dikalangan umat islam, yakni penerjemahan, penulisan kitab, polemic intelektual, perdebatan, dialog, ulasan, pensyarahan, da sebagainya (hal 10)..


Ulama- ulama terdahulu merupakan mahaguru peradaban yanag tidak pernah terlepas dari aktivitas membaca dan menulis. Sehingga tidak heran, mereka dikatakan sebafgai klutu buku. Ssebab, buku merupakan gudang ilmu pengetahuan disanalah mereka bisa berdialog dengan ulama-ulam terdahulunya.

Belajar dari Mahaguru Peradaban

Dalam buku “bacalah” karya Suherman, Msi ini, memberikan sketsa mahaguru peradaban dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Mulai dari perkembangan islam, ulama ataupun cendikiawan islam, serta mahaguru peradaban yang sukses karena membaca. Abu Abdullah al-A’rabi sebagi contoh an dimana ia sangat dekat dengan buku. Ia terkenal suka berbuat aneh-aneh untuk menyampaikan pesan kepada tamu yang datang ke rumahnya.

..”Kata pelayanku, tadi dirumahmu tidak ada siapa-siapa. Tapi, mengapa anda bilann ada tamu, dan anda akan kesini setelah menemani mereka?, Apa maksudmu” Tanya Abu Ayub. Abu Abdulah menjawab dengan membacakan syair. Kami punya temna-teman duduk dan kami tak pernah bosan berbicara dengan mereka, mereka bisa dipercaya saat aku ada di rumah maupun sedang pergi, mereka membeiku ilmu, kepintaran, pendiidkan, dan pendapat yang benar tanpa menimbulkan fitnah yang ditakuti dan perlakuan buruk, aku juga tidak mengkhawatirkan kejahatan lidah dan tanganya jika kamu bilang mereka mati, kamu tidak bohong dan jika kamu bilang mereka hidup, kamu juga tidak berdusta (hal 30).

Para ideologi, para pemimpin, dan negara kontemporer dijadikan bukti autentik abad 18 sampai abad 20. Masing-masing diwakili oleh Karl Marx, Imam Khoemeini, Mahatma Gandhi, Hasanal-Banna, Barack Obama, Mohammad Hatta dan Tan Malaka. Penulis disini mencoba memberikan contoh para mahaguru peradaban nasional yang membuktikannya dengan baca, menulis, dan berkarya. Keadaan para mahaguru ini seperti apa yang dikatakan Thomas Jefferson “aku tidak bisa hidup tanpa buku”.

Konteks Keindonesiaan

Tradisi para pembesar bangsa ini maupun mahaguru peradaban dunia telah membuktikan dengan semangat membaca, diskusi, maupun menulisnya. Namun, keadaan konteks keindonesiaan kekinian memberikan keadan terbalik masa lalu. Disinlah penulis mencoba menggeliatkan kemabali insan indoensia untuk membuktikn kualitasnya dengan menciptakan paradigm kritis melalui membaca. Penulis pun memberikan beberapa premikirannya tentang menghidupkan kembali semangat membaca Mahaguru Peradaban. Yaitu dengan kesadaran, cita-cita, ilmu pengetahuan, tekad.

Ditengah kelesuan membaca di Indonesia buku ini hadir dengan penutup kesaksian para kaum cendikiawan dan budyawan. Dalam rangkaian esai kritis, mereka mencoba memberikan solusi kelur dari permasalahan kelesuan ini. Mulai adari pertanyaaan Taupiq ismail “kenapa orang Indonesia, sedikit, sangat sedikit, luar biasa sedikit membaca buku?. Tragedi nol buku ini semoga menjadi penyulut api para generasi sekarang untuk terus membangkitkan semangat membaca para mahaguru peradaban. Tak ada salahnya ketika telah membaca resensi ini, kita mulai menjadikan buku sebagi teman dekat. “Yuk kita membaca”