11 September 1980, pukul 22.36. Di sebuah pinggiran kota kecil, di dalam sebuah Bar. Malam sebelum  pembunuhan terjadi, dua laki-laki bertemu di sebuah bar. Del-Quistro sejak 15 menit sudah berada di Bar Estorado. Matanya tajam mengawasi sekitar, kaki kananya berdraf-draf di lantai, seperti gugup, atau menampakan ketidaksabarannya. Sepatunya yang besar, sepatu tentara, sepatu para pemburu babi hutan. Membuat irama kencang lantai terdengar keras, berdraf-draf beraturan. Bergetar. 

Sambil melihat tarian erotis, striptease, lenggak-lenggok perempuan binal sedikit menguras isi kantongnya. Perempuan yang mendatangi setiap pengunjung laki-laki.

Tiba gilirannya, Nakalnya, Del-Quistro mencium perempuan itu dari paha lalu mendaratkan ciuman ke wajahnya. Tangannya tak ikut bermain. Dengan nada kasar namun sopan, ia meminta perempuan itu untuk memesan tiga bir untuk tamu kawannya, Loher jr, yang sedang ia tunggu. Kabarnya, setengah jam lagi ia akan datang.

Setelah mendapatkan kabar dari kawannya itu. Ia segera menutup ponselnya. Segera ia memanggil penari erotis itu diputaran selanjutnya.

“Tolong, aku tahu kau perempuan yang tak pernah mau bercinta denganku! Setengah jam lagi, bawakan tiga botor bir untuk meja no 8. Aku dan temanku akan duduk disana. Menghabiskan  malam. Mengerti kau,manis”. Agak tersendat ia tertawa, “Haha..haha.....heak...!”, ia menelan ludahnya. 

Sambil berbisik tangan kanannya melekuk, memegang leher penari erotis dan tangan kirinya merogoh uang di saku jaketnya, seraya menaruh  uang di bra-nya.  Ia katakan kalimat yang lebih sopan,“Berhentilah kau menari ditempat muram ini, aku sedang bosan, lebih baik kau tinggal di apartemenku!”

Perempuan itu hanya tersenyum. 

Seperti sudah terbiasa mendengar celotehan anak muda yang penuh  dengan kesia-sian. Namun ia sepenuhnya mengerti. Orang-orang di Bar adalah orang-orang yang meluapkan kemarahannya dengan uang. Orang yang penuh kepura-puraan, mengubur kesepiannya. Tertawanya, kemabukannya, berharga dan bernilai uang. Mereka adalah orang-orang yang bersembunyi dibalik botol-botol bir. Habislah, berenang lalu tenggelam dengan soda bir. Setiap malam, terdampar dengan pesona lampu-lampu tembak bak kunang-kunang,  diiringi irama lagu penari erotis.

Del-Quistro merasa gerah.  Perlahan mulai dari lengan kanan, ia  membuka dan meletakan jaket hitamnya yang tebal di belakang kursi kayunya. Ia tak sadar, ia meletakanya tak rapi. Jaket itu menggantung setengah di kursi.

Jarum jam di tangan kirinya, seperti berdetak cepat. Begitu pula jantungnya, ia merasakan panas ditubuhnya, jantungnya terus memompa, sementara keringatnya terus mengucur. Kali ini ia merasa benar-benar gugup, atau apalah ia pun tak mengerti. Soda-soda di gelas birnya yang ia minum seolah-olah keluar, menguap, keluar dari pori-porinya.

Dimana kawannya, ia belum dapat kabar selanjutnya. Ia tak sabar. Bir di gelas besarnya sudah habis setengah. Kini busa bir itu seperti meletus berirama mengalahkan suara detak jarum jam tangannya. Telinganya terlalu awas terhadap apapun. Terlebih ketika gugup. Apapun menjadi keras, ditelingannya. 

Laki-laki tua, berada di seberang meja bernomor 8 itu, meja Del-Quistro. Laki-laki tua yang menurut matanya menarik untuk diajak bicara. Minimal merubah situasinya yang sedang gugup itu. Ia menggesar kursinya ke belakang. Kursi itu hampir saja jatuh, untungnya ia masih memegang kepala kursi dengan tanggan kanannya. Ia putar setengah lingkaran. Dan mengangkatnya setengah pinggang. Ia berjalan. Segera menuju laki-laki tua itu.

“Kau orang baru disini, pak tua!”, tanyanya ketus.

Laki-laki tua itu menjawab, “Aku Robert. Aku orang Asia.”

“Oh, ow, who..., namamu Robert, tak terdengar seperti Asia ,” Del-Quistro meniru ucapan laki-laki tua itu ketika mengucapakan ‘Robert’. Ia menimpalinya dengan tertawa.

“Kau hanya Laki-laki tua dari Asia yang bodoh, yang tak punya rumah, dengar-dengar, lahan-lahan di Asia sudah tak subur. Dan apa yang bisa kau banggakan lagi dengan Asiamu?... Cih..!!”, tanya Del-Quistro. 

Laki-laki tua itu terdiam. Mengaduk-ngaduk kopinya dengan tenang. Detakan sendok kecil yang bergoyang di gelas laki-laki tua itu terasa meretakan kesunyian obrolan mereka akibat tidak dijawab laki-laki tua itu. 

“Draakkkkkk......” suara pistol Del-Quistro yang ia cabut dari belakang levisnya. Dengan keras ia menggebrak meja, tekanan diatas meja.  Telah menggoyang kopi yang sedang diaduk laki-laki tua itu.

“Kau tahu pistol ini?”

“Aku tidak tahu”, laki-laki tua itu masih menggoyangkan sendok kecilnya dengan tenang.

“Ku kira kau bukan orang Asia. Bodoh..!!! Bisakah kau membacanya...!!”

 “Bacalah..... dari mana. Asalnya !, suaranya keras menekankan dalam bahasa inggris yang begitu kurang jelas. Agak cadel. Ia menambahkan, sambil tersenyum, pula menunjuk pada merk pistol tersebut.

“Filipin........” dengan nada pelan sedikit berbisik panjang. Ia melanjutkan, 

“Kemarin baru saja aku menembak kepalanya”, Nadanya setengah berbisik menegaskan.

Laki-laki tua  tak menghiraukan celotehan anak muda itu. Ia malah menyuruh Del-Quistro balik ke meja no 8. Dengan sangat sopan, ia menasihati Del-Quistro. Kata-kata yang  memancing kekonyolanlain dari Del-Quistro.” Lebih baik kau urus jaket mu.”, kata laki-laki tua itu.

Dengan tingkahnya, Del-Quistro meledek dengan muka tatapan seorang perempuan merengek. “Urus jaketmu?”. Ia menengok sebentar ke belakang mengusap mukanya. Menggaruk  kedua alisnya bergantian. Kiri. Kemudian kanan. Ketika laki-laki tua itu masih saja merunduk, asik dengan adukan kopinya, sesekali menaikan kacamatanya, yang seperti mau lepas dari sandaran hidungnya.Tangan Del-Quistro menyambar gelas kopi, lalu meminum kopi laki-laki tua itu. Disisakannya setengah. Dengan tersenyum penuh dengan pasang muka-muka meledek, ia kembali menaruh gelas kopi itu sembarangan. Dengan keras, pantat gelas kopi itu beradu dengan muka meja, sehingga memuncratkan  kopi di meja laki-laki tua itu. Keras sekali.

Orang-orang disekitarnya mulai memperhatikan. Sejenak. Lalu kembali normal seperti biasa. Tak ada apa-apa. Tak ada yang menarik.

Tetap, laki-laki tua itu masih tenang. Ia mengeluarkan sapu tangan dari tas kecilnya. Tas yang hanya muat satu buku atau 7 bungkus rokok saja. Membersihkan noda yang berada dimejanya. Kembali ia mengaduk sisa-sisa kopinya. Asyiknya, suara khas sendok kecil dalam adukan kopi seperti berirama. Telinga Del-Quistro juga tajam mendengar gesekan sendok tersebut. Tertegun, ia mengomel, berteriak memaki laki-laki tua itu. Sejurus jalan kembali ke mejanya.  

Ya, Laki-laki tua yang tidak mengasyikan untuk diajak bicara.

Del-Quistro kembali ke mejanya no 8. Ia pun tak lupa membawa kursi kayunya. Temannya Lohmen Jr, belum juga datang. Del-Quistro menyalakan rokok. Belum lama ia merokok, ia tekan rokok itu ke asbak. Mati, bara merahnya kurang menarik untuk matanya. Ia pun memindahkan asbak itu ke kolong mejanya. Menendangnya pelan ke tengah. Tak tahu asbak itu tumpah atau tidak. Tapi ia merasa puas dan senyum sendiri, saat asbak itu jauh dari pandangannya.

Jari-jarinya bermain-main, seperti bermain piano. Kelingking, jari manis, tengah, telunjuk, beraturan membentuk irama di meja. Jelas ia merasa bosan. Semua orang di Bar ini tidak menarik. Membosankan. Musik jazz di bar ini mengalun seperti radio-radio pemerintah yang bersuara mengenai  para tentaranya yang terbunuh di medan perang,  pengumuman perang lagi. Menjijikan, dimana orang-orang muda seumurannya dulu terpaksa untuk berperang. Bahkan teman-teman Del-Quistro banyak yang menjadi korban.  Tidak menarik. Lagi pula penari-penari erotis telah usai menemani malamnya, menambah pening kepalanya. Kecuali laki-laki tua. Orang Asia itu.

Kali ini ia menyeret kursi kayunya. Ia duduk dengan sopan tepat di depan laki-laki tua itu. Kacamata laki-laki tua itu di lepasnya. Ia yang sedang membaca koran jelas terganggu.

“Apa yang kau inginkan dariku”, tanya laki-laki tua itu 

“Ceritakan padaku. Bagaimana Asia-mu itu. Atau apalah yang sekiranya bisa membuatku tertarik dengan cerita-cerita Asia-mu malam ini. Aku Del-Quistro,  Aku sedang menunggu temanku. Ia  belum juga datang”, ucapnya lebih ramah. Tapi itu semua tidak merubah keadaan.

Laki-laki tua itu kembali menggunakan kacamatanya, dan kembali membalikan korannya.
Kali ini Del-Quistro sabar. Ia menunggu laki-laki- tua itu membalik koran sampai kehalaman terakhir. Ia memperhatikan tangan laki-laki tua itu ketika membalikan koran. Ruas-ruas jarinya kecil, ya ia seperti orang asia pada umumnya. 

“Kau bisa sabar juga”, ucapnya seraya menutup korannya.

 “Ya, aku memang orang sabar. Meski aku juga kasar sewaktu-waktu”, sambil menuang bir.

 “Mari kita minum”, ajak Del-Quistro.

“Aku tidak minum Bir”,  Jawab laki-laki tua itu.

“Kau orang yang aneh, sedari tadi segelas kopi itu tak pernah kau minum, kau terus mengaduk-ngaduknya”

“Lebih baik kau ganti kopiku ini dengan yang baru, dari pada mengurusiku, atau kau mau mengusikku?”, kata laki-laki itu. Seraya menyambungkan,

“Pernahkah kau berjalan-jalan di hutan tropis Asia, di sekitar Kalimantan,  ketika kakimu terpendam, ketika kau tarik,  lintah akan menyedot darahmu dengan asyik. Saat memasuki hutan tersebut bersiap-siaplah tubuhmu akan tersayat-sayat, terluka oleh semak belukar. Dan tidak sedikit yang beracun pula. Orang Eropa yang pada saat itu melakukan perjalanan di sana banyak yang sakit. Bahkan hanya itu nyamuk disana siap menerjangmu dengan malarianya.”

“Belum. Apa... kau pernah memasuki hutan itu?”

“Sekarang siapa yang bodoh, apa kau tak pernah di dongengi oleh gurumu mengenai perjalanan ekpedisi Alfred Russel Wallace ke hutan Kalimantan, Nusantara. Orang itu pergi ke belukar itu hanya untuk meneliti orang hutan. Bukan hanya itu. Jika beruntung, tanah-tanah disana banyakmengandung emas... itulah terbaik-baiknya tanah di Asia. Berfikir ulanglah mengenai persepsi Asia-mu nak...”, dengan wajah geram ia berniat untuk memulai rencananya. 

Laki-laki tua itu  mundur. Mendorong meja sehingga kursi kayunya mundur satu langkah. Seraya mengeluarkan pistol. 

Keadaan begitu kacau. Orang-orang di dalam berhamburan ke luar. Dengan santai laki-laki tua itu menelpon. “Sudah kulaksanakan tugasku”, katanya tenang.

“Bagus, aku senang ia telah tidak bernyawa. Biar mampus! ”

“Ia menunggumu sejak setengah jam lalu. Sekarang tunggulah, aku juga akan menjemput nyawamu”, ia pun melnjutkan dengan nada yang sangat tenang.

“Aku orang Filipine... salah satu teman, Agen yang kalian bunuh. Dan aku lebih profesional”, nadanya agak sombong.

Loher jr gugup.

Telpon itu pun ditutup.

Dan laki-laki itu jalan keluar Bar. Menghirup udara malam. Malam untuk memburu Bos yang telah menyewanya. Oh bukan, kali ini menajdi TARGETNYA.

#Cerpen ini pernah masuk Majalah Didaktika UNJ