Perjuangan melawan tirani ketidakadilan dan kesemena-menaan tidak selalu hanya bisa dilakukan oleh manusia. Alam pun dengan kuasa Tuhan sesungguhnya sangat bisa pula untuk memberontak, menunjukkan kepada manusia, sebagai pengendali kelangsungan alam, bahwa merekalah yang sepenuh bertanggung jawab atas segala kerusakan yang ada padanya. 

Adalah Antonio José Bolívar Proaňo, seorang lelaki tua yang tinggal sebatang kara di sebuah desa dalam hutan sungai Amazon telah terganggu keasikannya dalam membaca novel-novel cinta. Ia harus ikut turun tangan dalam penyelesaian kasus tebunuhnya beberapa pendatang dan penduduk asli yang diterkam oleh seekor macan kumbang. Kucing besar itu bertindak bukan karena lapar, melainkan untuk membalaskan dendam atas terbunuhnya anak-anaknya dan terlukannya jantannya oleh seorang pemburu.
Lelaki tua yang dapat mengenali hutan lebih dari kemampuannya dalam membaca tulisan dan bahkan kemampuannya untuk mengenal dirinya sendiri merasa cukup kaya karena dapat bertahan hidup di hutan yang begitu melimpah akan sumber daya alam. Dengan kemampuannya ini ia sadar bahwa dirinya harus menyadarkan permimpin tertinggi daerahnya akan realita yang ia baca dari bukti-bukti pembunuhan oleh macan kumbang tersebut. Sayangnya hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan olehnya karena pemimpin daeranhnya tersebut dianggap terlalu bodoh untuk membaca situasi dan mengambil keputusan yang logis. Hingga pemimpin yang dijuluki siput lendir oleh para warganya itu selalu membuat warganya kerepotan karena kecerobohannya.

Novel ini dikisahkan dengan hiasan deskripsi metafora yang mempesona namun syarat akan keluguan bahasa dari penggambaran dan komentar yang blak-blakan baik dari subjek orang ketiga yang menceritakan maupun oleh si tokoh utama, Antonio José Bolívar Proaňo. Walaupun tertulis dengan ringan, Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta ini dikisahkan seolah-olah dengan sederhana dan tak muluk-muluk oleh deskripsi yang terlalu berlebih. Dikemas hanya dalam 105 halaman utama cerita, namun tetap dapat membuat efek membuai imajinasi pembaca. 

Ditulis oleh sastrawan dan aktivis asal Cile, Luis Sepúlveda. Novel ini seakan menjadi anekdot akan kekuasaan tiran manusia yang semena-mena pada alam di bumi ini. Selain membawanya menjadi pemenang “Premio De Tigre Juan” novel ini juga menjadi sumber kajian akademis pada bidang sosial-politik dan ekonomi oleh dua orang peneliti asal Puerto Rico, Camilo Gomides, PhD dan Joseph Henry Vogel PhD yang menyatakan bahwa Sepulveda telah begitu jelinya terlebih dahulu melihat realita sebab musabab kerusakan hutan sebelum banyak penelitian yang baru pada tahun 1990-an diadakan mengenai hal ini.

Bagi Sepulveda, sastra tidak bisa mengubah realitas, tapi sastra dapat mencerminkan. Keinginannya tidaklah muluk. Ia hanya ingin karyanya menjadi bahan cerminan dan perenungan bagi setiap pembacanya agar dapat menyinkronkan pandangan, tindakan, aturan yang ada di lingkungannya. Dan melalui novel ini setidaknya kita akan dapat merenungi satu hal, “apa yang selama ini sudah kita perbuat pada alam?”

Judul               : Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta 
Pengarang      : Luis Sepúlveda 
Penerbit          : Margin Kiri 
Bahasa Asli    : Bahasa Spanyol 
Alih Bahasa    : Ronny Agustinus 
Tebal               : 116 halaman 

Diresensi oleh  Fitriana Prajayanti Pippi
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris 2009