SEJAK KAPAN JEJAK KAKI telanjang tak bersepatu sampai datangnya trem-trem melaju dengan asap-asapnya dimaknai sebagai kebudayaan sehari-hari yang menarik dikaji dan ditelusuri wajahnya dalam teks sejarah?

Rudolf Mrazek-lah yang mampu mengurai hal remeh temeh ini ke dalam teks teknologi yang nasionalisme tersembunyi mengendap-ngendap keluar dalam bingkai besar koloni/kolonialisme.

Persis yang digambarkan Bre Redana dalam pengantar buku ini, Mrazek coba merayakan hal-hal kecil, trivis, memperlakukan teks dengan cermat serta menempatkan bahasa dalam substansi kehidupan.


Perkembangan trem-trem, munculnya pencacahan penduduk dengan adanya dakstilopati, menjadi ciri dimana perkembangan kebudayaan, perubahan akibat perkembangan ilmu pengetahuan berupa hadirnya lampu-lampu penerang, menara-menara, cermin,  sampai berubahnya gaya hidup ditampilkan Mrazek dengan kesaksian-kesaksian para insinyur misalnya Maclaine Pont atau Mas Marco.

Begitu pula hadirnya kaum pesolek lainnya  yang menunjukan perubahan gaya berpakaian dimaknai sebagai kaum insinyur yang unggul.  Tanda di mana zaman modern mulai menapaki kaki, merangkul negeri koloni.

Kenang-mengenang kehadiran teknologi itu pun disertai dengan penuturan dari Pramoedya Ananta Toer sebagai tokoh yang mengungkapkan betapa hindia belanda ataupun belanda itu sendiri  muncul maknanya di pengalaman-pengalaman hidup dibalut dengan keinginan kecilnya menjadi insinyur teknik elektro.

Betapa Pram memaknai radio menjadi kata kunci memahami kenangan dan pengalamannya dalam memaknai Indonesia  merdeka dalam nuansa bebas ataupun  penjara.

Betul,  “Hanya Si Tuli yang bisa mendengar dengan baik!