Kita harus berfikir ulang mengenai makna wacana keragaman kita. Sebab apa yang pernah kita pelajari dari buku-buku SD yang memuat keragaman suku, bahasa, agama yang menunjukan perbedaan identitas itu  sungguh tersimpan ancaman jika kita tak mampu mengelola identitas itu dengan benar. 

Lalu, sejak kapan kita mengenal keragaman mampu membawa wacana Indonesia yang ika? Jawabannya adalah sejak para pemuda sendirilah mengucap "berbangsa satu, berbahasa satu dan bertanah air satu" yang menjadikan teks sumpah pemuda sebagai kunci pengingat  pernah menyatunya keragaman kita.  

Kini  kita tak mampu mengelola wacana identitas keberagaman itu yang menyebabkan krisis kepercayaan atau yang dikenal dengan distrust menjadi panglima. Menjadi batu sadungan yang menyebabkan kita dimanapun saling curiga, saling memusuhi, saling menindas, saling memicingkan mata.


Akhirnya sumber krisis identitas yang ditandai dengan "keakuan" agama, suku, warna kulit semua perbedaan itu menjadi bensin yang siap membakar kita. Tercaplah sudah sebagai bangsa yang kini penuh kekerasan bukan persatuan. Lihat saja ! Konflik syiah sampang madura adalah contoh loyonya bangsa ini mengelola identitas itu . 

Dalam bahasa sederhana, bangsa ini belum mampu mengenal Orang lain yang berbeda identitas itu.  Persis yang diungkapkan Kapuscinsiki  "Aku ada karena aku bertemu dengan Orang lain". Orang lain yang beragam itu ibarat cermin, dimana menggambarkan wujud atau sikap kita sebagai bangsa yang  beradab atau tidakkah.  

Betul, berjumpa dengan Orang lain yang beragam identitas itu adalah tantangan pada abad ini. Yang harus kita renungkan dalam keragaman ini kedepan adalah bagaimana peran pemerintah mengelola keragaman identitas ini di dalam pendidikan multikultural yang sering didengungkan? Meretak atau menyatukah kita nantinya?

*Tulisan ini masuk di rubrik Poros Mahasiswa Koran Sindo 31 Juli 2013 (non edit)