Saat itu pelangi ada di atas  kota ini.  Pelangi begitu malu-malu muncul, hadir diam-diam di langit Jakarta sore itu. Jakarta tampil asik dengan menghadirkan pelangi di mata dan imajinasiku. Suara knalpot mesin-mesin dan mangkuk-mangkuk tukang bakso malang dengan kuahnya yang menguap-nguap menemani Jakarta yang kurang mesra sehabis hujan. Aku memperhatikan dari lantai tiga suasana itu. Kamu tahu, aku jadi teringat buku Fuad Hassan Pentas Kota Raya (1995) terbitan Pustaka Jaya.  Jakarta tampil heboh dengan esai-esai menariknya di buku itu.

            Jakarta ingin aku nikmati melalui esai-esai. Jakarta mungkin saja tampil dengan gagah  melalui tampang kota yang menjulang tinggi bangunan-bangunanya. Disitu tampil pula kesejukan mata hati kita melihat Jakarta dari sisi humaniora. Fuad Hassan menampilkan Jakarta kita menjadi kota yang begitu asik ditelusuri orang-orangnya, kebuadayan, dan juga imajinasi tentang ide-ide.

            Dalam prakata, Fuad Hassan menulis, “buku ini tidak memuat hal-ihwal yang luar biasa, sebaliknya, isinya diangkat dari pengalaman dan kenyataan yang biasa belaka; untuk menemukannya tidak diperlukan kejelian, cukup sekedar kepedulian”. Hidup di kota kita tak pernah jeli. Sepatu, baju, payung, rompi, hal-hal yang melekat pada diri kita tak membuat kita tambah jeli dalam pikiran liar konsumerisme. Astaga, dalam hidup di kota betul apa yang dikatakan Fuad Hassan kita mesti  menumbuhkan kepedulian.

            Barangkali kamu sendiri pernah memperhatikan kota ini penuh pedagang-pedagang dengan mata hati penuh peduli tampil menghias Jakarta. Barangkali kita pun pernah berlama-lama di sebuah warung sekedar membeli mie ayam, bakso dan  menyeruput es kelapa ataupun  teh botol sosro. Fuad Hassan dalam salah satu esainya yang berjudul Pertemuan  Menjelang Asar  dengan haru aku membaca pertemuan antara tukang sol dan pedagang es.  Dalam pekikan lagu lama “sol..patuu….sol patu….”  Yang akan punah ditelan kota. Fuad Hassan menulis,

            “Terik matahari siang itu luar biasa; topi anyaman pandan hanya cukup melindungi kepalanya; sandal jepit tua alas kakinya. Keseluruhan penampilannya mengesankan keletihan; entah berapa jauh jalan yang telah ditempuhnya hari ini. Ia berjalan dengan kepala menunduk, seperti segan memandnag ke depan. Suaranya semakin menjauh meski tetap nyaring; sol patuu…sol patu…”

            Alamak, kamu tahu aku sering mencari tulisan-tulisan asik yang menulis tentang Jakarta. Aku ingin mengenal kotamu itu dalam literasi. Aku mungkin tak kece mengenal Jakarta hanya lewat kata-kata. Bukankah kamu tahu, kita juga pernah menikmati Jakarta melalui buku begitu mempesonakan kita  sebagai makhluk berbuku. Tak salah kalau buku ini akan menemani tidurmu. Agar kelak kamu bernimpi tentang Jakarta yang begitu anggun akan orang-orangnya.

            
Kita bisa menikmati kota dengan berlagak metropolis. Fuad Hassan dalam salah satu esainya menulis:
            ….bagi mereka yang hanya ingin kencan dengan mitranya, atau sekedar mengobrol sambil buang waktu tersedia coffe shop, disini orang bisa menikmati kopi espresso dan setangkup hamburger sama halnya di warteg orang bisa menikmati secangkir kopi  tubruk dan sepotong pisang goreng (tentu dengan harga yang berbeda)…

            Sayang aku tak pernah mengajak kamu ditempat yang metropolis itu.  mengundangmu berlagak menjadi manusia kota nan mewah. Sayang aku begitu naif hanya pernah mengajak kamu menikmati senja kota tak berpelangi ditengah hujan-hujan dan malam kembali lagi dengan desir suara knalpot yang barangkali mengganggumu di kala pulang.  Aku sungguh minta maaf. Aku menjadi manusia yang super picisan mengganggumu lewat dongeng murahan yang aku ceritakan kembali dalam tulisan-tulisan ini. Aku hanya berharap saat kamu tidur nanti, kamu mengingat aku sebagai tukang cerita, bukan penipu yang berubah menjadi pesulap menawarimu dengan kisah kemewah-mewahan ala Alice in Wonderland.  Sungguh murahan!

            Selamat tidur sayang…..