Televisi mengumbar terus aroma politik. Televisi masih menjadi media ampuh iklan politik untuk berkomunikasi, menyampaikan, dan mempengaruhi rakyat untuk memilih. Ibarat konsumen, kita coba ditarik oleh iklan politik demi kekuasaan. Kekuasaan mengundang tokoh dan tema hadir di televisi.

Neil Postman  (1985) dalam  bukunya yang terkenal “Menghibur Diri Sampai Mati” terdapat resep manjur untuk mengerti televisi sebagai medium politik dan kekuasaan. Neil Postman mengingatkan kita sebagai konsumen  mesti mewaspadai media televisi. Televisi adalah medium metafor kekuasaam. Dari televisi kita  melihat, mendengar, dan memperhatikan calon pemimpin kita kedepan dalam mencipta drama politik.

Di televisilah kita melihat kepemimpinan, keteguhan terbalut juga harapan dan  kesedihan  memaknai bangsa dalam debat-debat politik yang disiarkan hampir saban hari. Televisi terus bergerak dengan kemampuannya yang cepat menyaingi media cetak seperti koran dan majalah. Televisi masih menjadi media nomor satu yang dipercaya dalam kampanye menarik massa. Aneh  rasamya calon pemimpin kita tidak tampil dalam layar televisi.

Kita pun duduk, termenung, menghayati  kampanye politik dalam debat-debat politik. Mereka mengkampanyekan produk politik dalam  label visi-misi masing-masing. Ada debat yang lucu, menggairahkan pikiran. Ada juga debat kusir yang mengerenyitkan dahi kita. Di dalam televisi, politik masih dianggap sebagai kemampuan retorika. Kita pun mengerti politik masih tampil dalam gaya Yunani Antik nan elegan dalam debat-debat hebat. Kini televisi menampilkan secara prime time dan tanpa ampun menggoda kita untuk duduk lama-lama di depan televisi.

Yb Mangunwijaya (1996)  berkotbah : “Dunia modern dan pasca modern , sains, dan teknologi serta segala yang diminta, dan tidak boleh  dilupakan mukadimah UUD 1945 serta GBHN tentang  manusia Indonesia seutuhnya, justru meminta orang-orang yang kritis, eksploratif dan kreatif”. Disinilah kunci memahami televisi sebagai produk modern menjadi medium  melek politik yang  mampu merintis republik yang manusiawi. Bukan menjadikan televisi sebagai dagelan politik yang mengumbar nafsu kekuasaan dalam debat-debat.


 Kita terharu dengan lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan dalam televisi di kala subuh. Di pagi hari sampai malam kita pun berduka menjadi makhluk politik yang digiring dalam iklan politik televisi. Kita masih belum mampu menjadikan televisi sebagai predator  imajinasi politik yang manusiawi. Menjadikan televisi sebagai medium imajinasi politik yang mengindonesiakan.  Kampanye cerdas belum tampil minimax dalam televisi. Mesti begitu kampanye cerdas masih membutuhkan televisi.

* Tulisan ini pernah masuk di rubrik poros mahasiswa koran sindo (tanpa edit)