Selasa, 19 Februari 2013


Ke Kota Paris.

Di hujan kali ini aku membenci mimpinya itu. Kepalaku sakit, pening. Bukan karena aku sengaja membenturkannya ke tiang listrik di gang dekat  rumahku. Bukan pula karena air hujan. Kepalaku sakit  karena kali ini aku memikirkan, betapa bodohnya aku untuk menerima kenyatan ini. Saat payung-payungku sengaja kulepas dan berlari tak kuasa menangkap dirimu. Dicium oleh laki-laki dari Paris itu.

Sebelum kejadian itu, dua hari lalu, aku dan perempuanku itu berdebat sengit tentang cincin, pernikahan, dan mimpinya itu. Menapaki jejak mimpi ibunya, ke Kota Paris.

“Bukankah umurmu sudah  30 tahun, kau tak takut kau akan menjadi perawan tua,” sambil tertawa aku melanjutkan, “Ayolah terima cincinku ini, menikahlah denganku.”

Dibalik pintu kamarnya. Terkunci. Aku mengetuknya, perempuanku itu hanya terdiam, dan terlihat warna-warni dari sebuah halaman depan rumah menghentikan dialog kami. Kembang api melesat, meledakkan warna-warninya di sekitar langit-langit di depan rumah kami ini. Adiknya, telah kerjasama denganku untuk memasang kembang api itu. Sayangnya kali ini kembang api itu tidak menghibur, sebab kakaknya itu telah menolakku kembali.

Kenangku itu ada ditengah mabuk  di sebuah kafe kecil temanku.  Sambil bernyanyi dan celoteh tak jelas, aku rasa, ya aku memang sedang mabuk. Perempuanku dan ayahnya menjemputku malam di kala aku mabuk berat.

Setelah hujan berhenti atau  mungkin setelah aku mabuk, aku kembali ke dapur untuk membuat sebuah roti terbaik di kampung ini. Aku sendiri menyesali sepenuhnya untuk mengizinkan laki-laki dari Kota Paris itu masuk, dan tinggal bersama kami. Mengajari aku, perempuanku, dan orang-orang kampung ini tentang rahasia membuat roti dari Paris yang terkenal itu.

Dan sunguh aku menyesali kedatangan laki-laki itu. Setelah ia merebut mimpinya, memberi peluang
mengajaknya ke Paris. Kali ini aku harus mengakui hidupku akan hilang setengah, bahwa roti terbaikku, perempuanku itu, akan dibawanya pula.

Selebihnya aku dan ayahnnya masih di kampung ini, membuat roti seperti biasanya, mengerjakan sambil lalu dan memikirkan dirimu yang akan pergi ke Paris dua hari lagi.

Di malamnya aku dan ayahnya mungkin hanya kembali akan bercerita tentang anak perempuannya yang kucintai itu, bermain klarinet kesayangannya sambil bernyanyi-nyanyi dan minum sake. Selama tujuh tahun aku mencintaiya. Tapi kali ini yang membuat ku sakit, tujuh hari saja laki-laki Paris itu dapat memilikinya!

Ayahnya berseru  padaku, tapi aku kala itu menganggapn ia hanya mabuk dan mengenang istrinya saja.

“Kau tahu rahasia sebenarnya saat membuat roti?,” sambil tersenyum ia mengatakannya padaku.
Aku terdiam, mungkin agak mabuk dan masih tak kuasa memikirkan akan kekalahanku yang akan ditentukan esok dalam sebuah perlombaan membuat roti dengan laki-laki Paris itu.

“Untuk mendapatkan anakku cukuplah sederhana”, katanya. Sambil menenggak sake ia meneruskan ceritanya, “Cukup kau buatkan roti terbaik untuknya.”

Ayahnya bercerita kembali kepadaku tentang aku, anak perempunya itu, dan  istrinya. Ia mengerti betul tentang diriku. Ia pun berterima kasih kepadaku telah membantunya selama sejauh ini untuk mengembangkan usaha toko roti-nya di kampung ini.

Yang aku pikirkan, aku tidak tahu bagaimana membuat roti terbaik. Apa teknik dan model roti seperti apa.

Sambil bermain klarinet sebentar dan memandangi foto istinya, ia seloroh masuk ke dalam rumah dan berkata “Hal yang sederhana, jika kau membuatnya dengan hati, itu akan menjadi hal yang menarik”. Ia pun menepuk pundakku untuk lekas tidur malam itu.

Aku masih ingat saat aku ribut dengan laki-laki Paris itu, ia sempat memukulku, dapur kami pun berantakan karena keributan kekanakan kami itu.

“Apakah aku salah untuk mencintainya?,” tanyanya padaku, dengan nada serius ia kembali mengucapkan alasannya, “Aku juga laki-laki yang bisa mencintai perempuan, ia menarik, cerdas, aku ingin membawanya dan mewujudkan mimpinya untuk dapat melangkah ke Kota Paris. Bukankah kau juga mengetahuinya ia ingin sekali ke Kota Paris,” penjelasanya membuatku semakin kalah.

Sambil menangis merengek seperti bocah laki-laki yang kalah, aku menjawabnya “Kau tampan, kaya, cerdas, master dalam membuat roti, mengapa kau mengambil rotiku satu-satunnya (perempuanku) itu.”

Debu-debu dari tepung terigu menghiasi muka kami dalam perkelahian itu. Kami pun akhirnya saling mengerti dan kembali membereskan dapur. Tertawa kami pun kembali tertuang dalam sebuah persetujuan untuk melakukan lomba membuat roti. Siapa yang terbaik dia berhak membawa rotiku itu. Biarkan perempuanku dan warga kampung yang memilihnya.

Aku harus menerima kenyataan. Laki-laki Paris itu telah mengalahkanku. Ia membuat roti dari beras asli di negeri ini dengan teknik yang sangat sederhana. Aku malah terlihat membuat roti dengan teknik yang  tidak biasanya, lebih modern. Nilai kami pun sama, warga memilih, dan hasilnya pun seri.

Tapi ternyata perempuanku itu memiliki bola yang belum ditaruh ke dalam kotak hitungan, ia menunduk dan memutar-mutarkan bola itu. Ia menjadi penentu!

Mungkin bingung untuk memilih siapa. Aku pun tidak tahu ia kan memilih yang mana. Aku dengan toko rotinya, atau laki-laki itu dengan Kota Parisnya.

Yang pasti saat ia menaruh bola itu di kotak laki-laki Paris itu. Aku menyadari bahwa ia memang ingin ke Kota Paris. Mengikuti jejak  ibunya itu. Aku menarik kesimpulan mimpi seorang yang sudah mengebu-gebu dapat mengalahkan apapun, persaudaraan, rumahnya, toko rotinya, maupun cintanya.

Lagi pula aku menyadari aku tak mampu untuk membawanya ke sana, ke kota Paris itu.  Meski impianku sendiri untuk membawanya kesana tak pernah aku kubur dalam-dalam.

Setalah kekalahan sore itu. Aku berniat untuk membuat roti untuknya sebagai tanda perpisahan. Hanya roti biasa. Roti yang selalu ada di pajang di depan toko roti kami itu. Sialnya pagi itu, saat keberangkatnnya. Aku tertidur di dapur saat menunggu roti itu dipanaskan.

Aku pun terburu-buru dengan menggunakan kostum yang tidak biasanya, yaitu kostum boneka kesukaan dan peninggalan ibunya, aku coba mengejarnya untuk memberikan roti ini. Semoga ia masih mengingatku. Tingkahku yang kadang menyebalkan, ataupun menyenangkan.

Untungnya diseberang jalan, aku bertemu dengan mobil yang membawa perempuanku itu. Lekas, buru-buru aku mengejarnya. Aku melambaikan tangan dan berteriak-teriak, semoga ia dapat mendengarnya.

Di kaca spion ia melihatku dengan kelakuan anehku menggunakan kostum boneka itu. Ia mengenaliku. Mobil pun terhenti. Akhirnya akupun dapat memberikan roti itu.

Tak kusangka setelah ia mencicipi rotiku itu ia mengurungkan niatnya untuk pergi ke Kota Paris. Aku jga tak mengerti apa yang terjadi padanya. Yang kutahu saat malam itu aku membuatnya sepertinya penuh dengan ketulusan. Karena, mungkin saja aku berfikiri hari itu terakhir bertemu dengannya. Aku baru menyadari aku mungkin teringat akan kata ayahnya, “Jika kau membuatnya dengan hati apapun menjadi menarik”. Ya mungkin itu kuncinya.

Aku dan perempuanku pun berjalan sambil menenteng baju boneka peninggalan ibunya itu. Kami kembali bercanda, berjalan, dan akan kembali menghiasi toko roti kami esoknya.
*****

Tulisan ini hanya coba meresensi film The Soul Of Bread. FIlm ini sangat menarik, bicara tentang kultur orang Taiwan yang senang membuat roti. Meski film ini film yang terbalut dengan CINTA, tapi tak mengapa, film ini bagus bicara tentang kearifan lokal. Serta tulisan ini memang ditulis tanpa melihat kembali FILM itu, jadi jika ada kesalahan, masih jorok titik, koma dan petiknya  maklumi saja. Selamat Membaca!

Posted on Selasa, Februari 19, 2013 by Rianto

No comments


Saudaraku bekerja sebagai tukang kayu untuk tempat Film Melies. Suatu hari dia membawaku ke studionya. Itu seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Seluruh gedung  terbuat dari kaca. Sebenarnya, itu supaya cahaya matahari bisa masuk untuk keperluan  Film. Tapi bagi penglihatanku itu bagaikan kastil yang  indah sekali. Istana yang terbuat dari kaca. “Jika kau ingin tahu darimana mimpimu berasal kau lihatlah sekitarmu disinilah mimpi dibuat”


Di Kota Paris  Film itu bergerak. Di Film Hugo tersebut,  Rene Tabard kecil, pernah bertemu dengan idolanya tersebut, George Melies.  Dalam bukunya, sang Profesor Rene Tabard  “The Invention Of Dreams” pembuat film George Melies adalah orang pertama yang menyadari film mempunyai kekuatan untuk menangkap mimpi. Sepertinya,Tabard teringat pertemuan pertamanya dengan George  di studio kaca. Dan George menginginkan Tabard kecil pada saat itu untuk keliling, melihat-lihat. Menajamkan evolusi kata, “Jika kau ingin tahu darimana mimpimu berasal kau lihatlah sekitarmu disinilah mimpi dibuat.”


Kota bisa saja begitu berwarna dan menyenangkan. Begitupula sebaliknnya kota bisa saja membawakan sebuah ruang yang tak menyenagkan, ruang yang tak bernyawa, tak ada daya imaji, dan tak ada seniman pun di dalamnya. Dalam Film Hugo betapa pentingnya seniman dalam menghiasi kota. Barangkali kematian imaji sosok dalam George membuat kisah ‘anak-anak’ di dalamnya pun menambah kematian imaji kota.

Perang menghentikan imajinya. Sekali perang berkobar, tak henti-hentinya merusak apapun. Tidak seperti dalam sulap, George kehilangan tahap The Prestige. Tahap dimana ia seharusnya mengembalikan imaji kota yang dihilangkannya : Gulungan Film.  Karena, menghilangkannya saja tidaklah cukup, ia harus mengembalikan imajinya. Perang telah menghilangkan imaji tersebut. Hingga kota begitu sepi dari warna, yang ada hanya antrian anak muda untuk mendaftar untuk mengaangkat senjata. Itulah kenyataan dari perang. “Dunia tak pernah punya waktu untuk tipuan sihir dan pertunjukan Film,” George menambahkan.

Di Kota, Tabard kecil sangat menyukai karya Film George, yang menawarkan penuh imaji. seperti ayah Hugo Cabret ketika pertama kali menceritakan pengalaman pertamanya menonton Film, “bagaimana mungkin sebuah peluru meluncur menancap ke Bulan, itu seperti mimpi.” Kenyataan yang menarik adalah ketika Hugo Cabret dan Isabelle mengendap-ngendap untuk menonton film. Isabelle masih belum mengetahui bahwa  George, bapak baptisnya merupakan seniman Film yang ‘melarangnya’ untuk menonton film.

Menyadari tubuh dilarang untuk menonton, tetap saja sang tubuh terbawa merasuk kedalam Bioskop, mengendap, tak biasa, diam-diam mereka  masuk dalam warna hitam putih film. Nyatannya, tubuh yang sekedar duduk-duduk, menambah daya warna imaji diri untuk menjadi petanda keadaan menyenangkan menjadi sang penenonton ilegal. Meskipun di usir pula. Setidaknya, usaha itu adalah mewarnai gerak tubuh dalam sebuah pengalaman, tepatnya mereka menyebutnya “Petualangan”. Kota membuka keran petualangan itu.

Pasca kematian sang Ayah, Hugo mewarnai kota dengan memperbaiki jam-jam menggantikan si pemabuk. Pasca perang, Seniman Film George menjual gulungan film-filmnya untuk dijadikan bahan “hak” sepatu, sisa uangnya ia tukarkan dengan  toko mainan. Di sanalah ia berada.  Mama Jeanne menjadi ibu rumah tangga. Sebelumnya ia terkenal sebagai Aktris cantik dalam Film George. Kota merubah keadaan gerak tubuh seseorang, entah dalam profesi, umur, ataupun kemauan.

Intinya, kota pun menawarkan ruang untuk memperbaiki?. George coba memperbaiki kehidupannya dengan melupakan masa kejayaan filmnya. Hugo Cabret memperbaiki Jam-jam besar di Kota, begitu pula memperbaiki Automaton yang dipercaya ada pesan dari Ayahnya. Itulaah makna di mana ada sesuatu ruang dimana kita harus mencari sendiri jalan untuk memperbaikinya.  

Manusia kota pasti punya rasa asa untuk terus memperbaiki. Karena mesin waktu cepat sekali untuk merubah wajah kota dan tatannan di dalamnya. Terkadang, kota menjadikan manusia didalamnnya menjadi penonton sejati. Tubuh terhenti pada titik dimana sejenak terdiam pada karya sang seniman, entah itu mural, tugunya, ataupun jam-jam besarnya yang memaksa pandangan untuk sejenak menikmatinya. Itulah perspektif yang ditawarkan. Kota menjadikan manusia di dalamnya Penonton atau Pencipta?

Hal yang menarik dari  perspektif  itu, Hugo dan George  memandang kota hanya perlu dua kata saja “suka memperbaiki”. Misalnya, interaksi George dengan manusia kota lainnya, seperti Rene Tabard yang membawakan sebuah Film karya George mengilhaminya untuk menceritakan kisahnya, memperbaiki kehidupan masa lalunya juga.  Itulah mengapa Hugo percaya, setiap bertemu dengan manusia kota lainyya, pasti ada sebab yang membawanya.

Apakah anda juga  berada di kota? Apakah saya mengenal kalian? Lalu adakah sebab dalam ruang dan waktu yang bisa kita perbaiki? Mari kita menjadi maanusia kota yang lengkap, yang menulis, memerankan, sutradara dari tubuh imaji kita sendiri. Tentunya dengan semangat memperbaiki ala seniman George untuk mencernanya. Dan Hugo telah menyadarkannya!! Kota membutuhkan seniman.

Posted on Selasa, Februari 19, 2013 by Rianto

No comments

“Apakah Bapak guru dari Jakarta itu?, “ tanya laki-laki gemuk.

“Kemeja rapi, buku-buku, kamera, dan tas ransel itu sepertinya menandakan bapak memang guru dari kota yang sejak tadi kami tunggu”, tegasnya.

Lelaki gemuk itu memperkenalkan diri sebagai Marjuki. Ia mengaku tukang ojek yang  di sewa untuk menjemputku. Kepala Desa yang menyuruhnya. 

Lelaki ini gemuk, celananya besar, namun selalu melorot. Ikat pinggangnya saja dari tali plastik. Semrawut. Tanganya selalu sibuk menaikan kolornya yang selalu turun. Matanya agak besar, garis-garis merah di bola matanya menandakan ia begadang semalaman ini. 

Ia  menjulurkan tangannya. Sigap.  Membantuku mengangkat barang-barang dari kapal tongkang yang aku naiki sejak dua jam yang lalu. Aku pergi sendiri. Selama dua bulan kedepan ini aku tinggal di kampung pesisir ini. Rencananya untuk mengajar baca tulis anak-anak nelayan. Melaksanakan program pendidikan di daerah-daerah tertinggal. Sebagai guru ilmu bumi tentunya.

Jalan kampung ini sangatlah rusak, jalan yang dipenuhi dengan kerikil-kerikil bekas aspal yang hancur, begitu pula banyak aspal yang terbelah-belah akibat abrasi laut Akses selalu menjadi masalah serius di kampung-kampung seperti ini.

“Jalan di sini, sulit untuk ditembus, 2005 pernah di aspal, namun air laut yang terus menggerus aspal, seperti ini jadinya,” kata lelaki gemuk itu. 

Lagi pula, banyak warga yang tidak mau sebagian pekarangan rumahnya diaspal. Kapok. Menurut Marjuki, ganti rugi tidak berjalan dengan baik. Banyak yang tidak sesuai dengan janji ganti rugi. Bahkan, dua minggu lalu warga protes. Jalan ditutup dengan kayu-kayu gelondongan.

“Urusan kemarin saja belum beres, eh...... udah mau bangun jalan lagi”, jelas Marjuki.

Obrolan serius kami sesekali diganggu dengan  motor Marjuki yang agak oleng karena harus memiih menghindari jalan yang berlubang. Lubang yang dalamnya dapat menenggelamkan ban motor. Biar begitu Aku masih sibuk dengan kamera untuk mengambil gambar. 

Perjalanan kita terhenti.

Ban motor Marjuki bocor. Kami pun bergantian mendorong. Jalan rusak, tukang tambal ban tak kunjung terlihat batang hidung dan lapaknya. Sudah lama kami mendorong motor bergantian.
Aku tidak menghitung berapa kali kami sudah bergantian. Kini, sudah giliranku lagi mendorong motor. Tangan terasa pegal, kaki pun terasa mati rasa. Panas udaranya. Mataku kaget, membentuk imajinasi siluet api di jalan aspal yang rusak itu. Nyalanya mempermainkan imajinasiku, semakin aku mendorong dengan kuat,  semakin besar siluet api itu. Tak kuasa mataku menahan. Sesekali aku mengusap mata dan wajahku untuk menghilangkan panas. Tetapi jalan semakin jauh dan panas bercampur debu menabrak mata sesukanya. Aku pun pingsan.

Aku merasakan dingin dikepalaku. Mataku berat untuk membuka. Aku pikir, mataku enggan buka, karena panas dari siluet api di jalan aspal masih membekas panasnya. 

Terasa badanku pegal-pegal. Aku pun maksa untuk bangun.

Turun dari ranjang empuk. Aku keluar menatap jendela. Kali ini mataku terasa sejuk.  Sejurus jendela kayu itu membuka sendirinya. Terhampar pohon bakau serta burung-burung berjemur, berdendang dengan suara melengking, namun indah ditelingaku. Aku ingin keluar, ingin melihat suasana diluar itu. Rumah ini indah sekali, rumah panggung, penuh ukiran-ukiran kayu, abstrak. Tak mampu aku menggambarkanya. Ada perempuan menghampiriku membawakan teh panas. I tersenyum padaku.   
“Di rumah dan di kamar siapa aku ini,” tanyaku dalam hati

Seorang  perempuan cantik, tinggi ,dengan rambutnya yang jatuh lurus panjang, bola matanya berbinar-binar, wajahnya penuh kecahayaan, masih saja tersenyum padaku, saat kutanya.

Ia menjawab dengan tenang, “Jangan takut. Abang sedang di rumah ibuku. Iya, abang sedang di kamarku.” Jawabnya. Setelah menaruh teh panas ia melanjutkan, “masih pegal-pegalkah badanmu abang?” 

Mataku memandang jelas isi gelas itu. Gelas yang ia bawakan. Aku yakin ia membawakan segelas teh. Warnanya itu, tak mungkin mataku salah. Aku rasa bukan teh. Tenggorokanku tidak merasakan teh, karena kali ini lidahku terasa teriak, “itu susu dingin!”

Sambil memegang gelas, aku berjalan, dituntunya menuju disebuah bale panjang. Ya aku Ingin duduk-duduk. Menghilangkan pegal yang menyerang. Kami pun duduk bersama. Mengobrol.

“Siapakah ibumu itu, adikku,” tanyaku lembut.

Dia tidak menjawab.

Ia malah menarik tanganku buru-buru. Mengajakku berlari di pasir putih nan dingin sejuk memijit kakiku yang pegal. Tanganku terasa digenggam keras oleh perempuan itu. Tapi wajahku masih merasakan sisa-sisa panas jalan aspal yang rusak. 

Kami menuju bibir pantai.

“Itu Abang. Lihatlah! Terlihatkah oleh matamu. Pulau kecil diseberang rumah ini. Disana terlihat rumah yang tak kalah cantik dengan rumah ibuku ini,” terangnya.

Mataku tak awas mengenai pulau dan rumah itu. Aku mengawasi sekitar bibir pantai. Aku hendak kesana. Tapi melalui apa? Mataku awas terhadap sebuah sekoci berwarna kecokelatan nan menyilaukan mata. Tetapi adik kecil melarangku untuk menaikinya.

Ia terus berbicara sesukanya. Aku hanya mendengarkannya saja, “Dan lihatlah Abang, apakah kau melihat pulau kecil, berisi serumpun pohon bambu ditengah-tengahnya. Pulau itu terletak disamping pulau itu. Hijau, penuh dengan suara burung-burung kecil, manja, mereka sedang membuat sarang disana. Mereka hidup apa adanya. Tak pernah mengeluh, tak pernah juga mereka mengganggu penghuni pulau ini. Kita akan melihat hidup mereka yang sederhana, bagaimana mereka sabar membesarkan anak-anak mereka dan menyenangkan sekali bisa melihatnya.”

“Maukah abang kesana kesana”, tanyanya manja.

 “Sepertinya aku tidak tertarik dengan pohon-pohon bambu itu. Dari dahulu aku tertarik oleh rumah. Lihat saja rumah ibumu dan rumah di pulau itu, sederhana sekali. Aku pikir rumah di pulau itu seperti rumah panggung. Indah. Aku bisa membayangakn ketika aku masuk, menaiki tangga, mengelus dindingnya, menciumi bau kayunya, jelas aku merasa mendengar gemericik air dibelakang rumah panggung itu. Aku terasa nyaman sekali. Dan aku bisa berbaring, membaca Tolstoy, Plechanov, Gothe, Aristoteles...  dan menulis dengan tenang. Aku membayangkan tanganku lincah menenun kata menjadikannya indah, untuk siapa saja yang membacanya , aku yakin akan terpikat. Tak terkecuali dirimu yang baru aku kenal. Aku bingung menamaimu. Ya.... aku ingin kesana saja.” Jawabku panjang.

Setelah mendengar ucapaanku, air muka perempuan itu memunculkan wajah sedih. Ia menatapku, dan tersenyum terpaksa. Aku yang ditatapnya seperti memasuki lorong-lorong waktu tak jelas. Terbayang spot-spot peristiwa-peristiwa lama. Sketsa-sketsa lapuk. Klik-klik, jepretan-jepretan, foto-foto yang mengingatkan aku pada sebuah keiindahan warna hijau pohon-pohon. Menghipnotis pandangan mengenai keindahan. Aku terasa jatuh pada ketinggian 400 meter. Jatuh pada warna kehijauan....

Ia mendekat. Aku dipeluknya.  

Ia menciumku sekali. 

Mataku terang, Aku baru saja sadar, dibawanya pada sebuah imajinasi lamaku, Ya aku pernah memimpikan tidur-tiduran. Berlama-lama di bawah pohon. Pohon apa saja. Yang penting daunnya hijau!

“Sekarang buatlah keputusan”

“Keputusan?”

“Ya, keputusan. Apakah abang mau ke pulau dengan rumah panggung itu sendirian atau ke pulau dengan pohon bambu yang indah bersamaku” 

Aku tahu jalannya!” tambahnya.  

Penjelasannya memojokan aku untuk memilih yang kedua. Mataku masih awas dengan sekoci cokelat itu. Aku punya rencana lain.

Tapi rasa-rasanya warnanya mulai memudar. Perlahan-lahan ingin hilang dari pandanganku. Semakin kuat aku punyai rencana lain itu, semakin pudar warna sekoci itu, “Tidak! Tidak! Jangan pergi dari mataku” gumamku.

“Abang lihat sendirikan. Sekoci itu semakin menghilang dari pandangan abang sendiri” cepatlah buat keputusan. Bawa aku pergi dari sini! Aku akan tunjukan jalannya. Cepatlah! ” desaknya.

Tanganku terasa sakit dengan genggamannya yang semakin kuat. Kabut tiba-tiba menyelimuti pandanganku. Kedua pulau itu hilang. Hanya tersisa sekoci saja yang sedari tadi tidak luput dari pandanganku. Meski rasanya warnanya telah memudar.

Aku merasa takut sekali. Terlebih perempuan ini menangis. Aku memeluknya. Dingin sekali terasa. Bukankah perempuan itu selalu hangat? Aku tidak peduli. Aku terus memeluknya. “Apakah aku harus buat keputusan untuk meninggalkan keinginanku”, tanyaku.

Dalam pelukanku, perempuan itu mengangguk. 

Pertanda aku harus buat keputusan cepat. Angin pun berhembus lebih cepat. Seakan-akan mendorongku untuk menaiki sekoci itu. Tetapi kabut telah memakan keberanianku untuk menyeberang. Aku tidak yakin akan sampai kesana. Aku takut tenggelam. Aku meleleh pada keragu-raguan.

Dinginnya pasir, kini menjadi lebih hangat. Aku pun bangun. Berdua kami menuju sekoci cokelat itu. Mendayung perlahan-lahan. Entah dari mana, perempuan itu mengeluarkan cahaya ditangannya. Ia menggenggam lampu petromak. Tangannya mengibas-ngibaskan kabut yang menyelimuti. Sementara aku mendayung sekoci. Lambat, tenang dan penuh kehati-hatian aku terus mendayung mengikuti arah yang ditunjukan perempuan itu. Pulau yang penuh dengan rumpun bambu itu adalah tujuannya.

“dreeeek......” badan sekoci kami menabrak ujung pasir. Pertanda kami sudah sampai.

Aku turun, penuh kehati-hatian. Pasir terasa dingin kembali. Gelombang laut yang tenang mendorong kaki untuk kembali ke daratan. Mataku terasa sejuk. Ya, pohon-pohon bambu itu hijau, rindang. burung-burung kecil berkejar-kejaran. Ada yang terbang sambil menggigit ranting kecil menuju sarangnya yang setengah jadi. Sial! Cahaya indah yang mirip cahaya matahari pagi menyelinap-menyelinap dibalik daun yang hijau. Aku menyukainya. Cahayanya meluncur pada dedaunnya. Aku menutup mataku. Mencium aromanya.

 “Cick, cacck, cick, cack....”  kicau suara burung menenun kesunyian pulau ini. Tak kusangka badanku menari-nari sendiri. Lenggok tangan dan kakiku lincah, “Oh aku tidak sadar aku pandai menari” teriakku kegirangan. 

Perempuan yang bersamaku pun lari-lari kecil di sekitar pasir. Melemparkan pasir ke ombak laut. Ia pun masuk kedalam rindangnya pohon-pohon bambu, sambil menoleh mengajakku untuk masuk.
Ia terus berlari, sesekali menegok ke belakang, menandakan aku harus cepat mengejarnya. 

Ia tenggelam di makan hijaunya bambu. Aku mengikutinya. Jalan perlahan, langkahku semakin pelan. Bukan karena aku tak mampu berlari. Langakahku terhenti, aku terkagum-kagum dengan pohon bambu ini. Di ujung-ujung batang dan daunnya ada banyak kertas-kertas yang dililit oleh benang putih. Hingga aku terheran-heran apa isi dari kertas itu. Selain rumah, aku tertarik dengan kertas. Karena kertas pasti berisi kata-kata. Aku harap kertas itu berisi tentang dialog, yang penuh kata-kata keindahan. Penuh estetika.

“Apakah, abang ingin mengambilnya”. Entah darimana ia bersembunyi, perempuan itu tiba-tiba ada di belakangku berbisik.

“Ya, aku ingin mengambilnya, tapi apakah boleh? Jelas ini bukanlah tempatku. Aku teratur. Tak boleh...”

“Abang  boleh mengambilnya. Ini pulau Ibuku. Dan ini menjadi tempatmu juga. Sekarang semua ini menjadi milikmu. Kau telah mengantarkanku kesini. Sampai-sampai kau mengorbankan keinginanmu untuk ke pulau satunya. Melihat rumah panggung itu. Ingatkah kau dengan sekoci itu?”

Astaga! 

Aku menjadi ingat dengan sekoci itu, aku mengintip dari celah-celah rimbun bambu. Mataku yang awas, telah teralihkan oleh kertas-kertas ini. 

Oh aku punya rencana lain.

“Aku ingat betul. Tapi kemana sekoci cokelat itu?”.

Perempuan itu berjalan lembut, sambil mengatakan:
“Sekoci itu sudah hilang. Sekoci itu akan hilang dengan sendirinya. Kaka harus melupakannya....”

Sepertinya perempuan itu mengerti maksudku. 

“Sekarang aku tahu, tak boleh punya rencana lain dipikiranku, aku harus mengikutinya. Tapi aku makhluk berpikir, dimanapun aku pasti mempunyai rencana”, bisikku dalam hati. Aku menlajutkan bertanya. 

“Apa yang bisa aku perbuat di pulau ini. Aku tidak begitu mengenalnya. Aku takut sepi akan membunuhku”

“Bukankah Abang sendiri yang bilang bahwa Abang senang membaca? Pulau ini penuh dengan kertas-kertas yang berisi dengan tulisan-tulisan indah. Terlebih ketika Abang selesai membaca satu kertas saja. Abang akan mampu bertemu dengan penulisnya. Bisa berdialog indah dengannya. Bayangkan berapa orang yang bisa abang ajak bicara. Disini berisi ratusan, bahkan ribuan kertas-kertas itu. Sepi tidak akan mampu membunuhmu, selama kita yakin masih bisa berdialog, berbicara. Lain dengan rumah itu, sepi tak berpenghuni. Peracayalah. Sekarang ambil satu saja, bacakanlah untukku. Maukah abang?”

“Baiklah aku mau melakukan itu. Tapi perbolehkanlah aku untuk membuat sekoci dari bambu-bambu ini, setelah usai aku membacakan kertas-kertas yang bergantung itu. Biar kujelaskan rencanaku. Aku tidak mau bermain rencana dipikiranku sendiri karena kau pasti tahu.”

Perempuan itu tersenyum. Aku pun melanjutkan,

“Tapi aku berpikir kau menyukai dialog. Di sini aku berbicara padamu. Jujur aku punya rencana lain. Dengarkan rencanaku ini..... Kelak aku akan ke pulau yang berisi rumah panggung itu. Jika aku selesai membacanya, tak terpikir olehku berapa banyak orang-orang ynag akan berkumpul di Pulau kecil seperti ini, di pulau ini. Aku akan mengajaknya ke sana. Disana mungkin mereka bisa istirahat dengan penuh. Tidur dengan nyenyak. Ya aku kehilangan sekoci. Lalu kenapa aku tidak membuatnya saja,” Perempuan itu terus tersenyum.

“Jika kau setuju, Langsung saja, dari kertas yang mana aku harus membacanya?”

Perempuan itu pun mengambil satu kertas yang terlilit tali putihitu. Kami pun menuju permadani merah. Duduk bersama, sebentar mengambil istirahat. 

Anehnya gelas-gelas penuh susu ada di permadani itu. Sebenarnya aku tidak pernah merasakan lapar di sini. Begitu pula, aku tidak pernah merasakan panas yang terik. Suasana disini selalu seperti pagi, atau selalu seperti senja, dengan kabut-kabutnya.

Aku pun berdiri. Bersiap-siap membacakan kertas yang sudah kugenggam. Ku buka kertas itu. Gulungan yang sangat besar. Tapi tanganku masih mampu menjangkaunya. 

Aku menariknya, bak prajurit yang membacakan titah dari raja. Posisiku siap. Hal ikhwal membacakan sebuah cerita, dialog, ataupun puisi, aku tidak pernah ragu untuk bisa membacanya. Karena aku seorang guru. 

Seorang guru tidak mungkin tidak bisa membaca indah, seorang guru tidak mungkin tidak bisa menulis indah. Seperti seorang bijak dari timur berkata,”Jika kau guru, ajarilah anak-anakmu berbicara dan menulis indah.”

Gulungan besar itu hanya berisi puisi. Hanya ada 6 bait.
Aku pun mulai membacanya. Perempuan itu bertepuk tangan kecil. Duduk manis memandangku.

aku mendidikmu // sejalan// dengan akar
menancap// keras penuh sabar
mengaliri air,// memberi makan// batang dan daun
Adalah Proses, akan tumbuh bunga-bunga kecil
buah itu// Hasilnya
Belajar Mendidikmu, Manis

Aku tertegun. Terdiam mengingat. Ya,Aku ingat. Puisi itu sahabatku yang membuat.
Dan. Mana yang kau janjikan, aku tidak melihat yang hidup setelah membaca gulungan itu?. Sahabat lama tidak pernah lagi datang menemuiku. Aku telah dibohonginya. Lalu, untuk apa aku membaca semua ini?  






 
   


    


Posted on Selasa, Februari 19, 2013 by Rianto

No comments

Potret-potret Kampung Cikopak kembali bermakna dalam diri. Ketika tak sengaja jari-jari mencari file cerpen yang baru setengah jadi di laptop. Mata bertemu dengan file baksos dan bersua kembali potret sekolah serta anak-anak disana. Sejarah memang. Keceriaan raut-muka mereka, sekedar aspirin kehidupan untuk dimaknai dengan senyuman kembali. Dari situ kita belajar. Terkadang manusia lupa kapan harus sedih, kapan harus gembira, kapan pula harus berdiam diri, berkontemplasi dengan mind and body.

Satu hal yang akan dibahas di kata-kata ini tidak jauh mengenai “rumah”. Rumah mempunyai makna yang sangat dalam mengenai hidup manusia itu sendiri. Rumah menjadi saksi peradaban manusia. Rumah menjadi imajinasi tersendiri, ruangan tanpa batas, bergumul dengan manusia-manusia lain. Rumah terdiri dari ruang-ruang.

Rumah itu simbol manusia. “rumah” lebih saya terjemahkan pada “ruangan” yang dibatasi oleh garis-garis non imajiner, khususnya batas-batas indrawi seperti mata terutama. Kita mengetahui ‘boleh’ atau tidaknya masuk ruangan karena mata mempunyai makna simbolisasi mengenai jarak. Dimanapun kita akan mengetahui rumah itu, yaitu ruang non imajiner seperti ruang pribadi, kamar tidur, ataupun kamar mandi.

Ternyata ruang-ruang itu akan mempunyai makna ketika kita merasa nyaman dan kebahagiaan. Itulah rumah. Rumah bukan berarti harus “gedung”. Makna ini saya ambil ketika melihat semut-semut merah cantik berjalan-jalan beriringan menuju sebuah lubang-lubang yang  berdiameter kurang dari setengah dari setengah centimeter. Mereka bergerak masuk-keluar membawa makanan ataupun tidak, selalu memunculkan sketsa kenyamanan hidup. Lubang-lubang itulah rumah mereka, ruang hidup. 

Kesadaran ruang, terkadang mati, terkadang hidup selamanya   

Dalam konteks geographies, ruang ini terkait dengan tubuh. Gill Valentine memberikan gambaran bahwa  tubuh adalah ranah yang sangat terdekat dengan ruang. Ruang memberikan pengaruh terhadap pikiran untuk melakukan ini itu. Lama-kelamaan tubuh yang melakukan ini itu mempengaruhi tubuh untuk mempengaruhi ruang sekedar membersihkan, membereskan ataupun berkarya dalam “ruang’ itu. Maka, bisa dikatakan bermaknalah ruang itu. Dalam konteks Madilog Tan Malaka disinilah berlaku perlantunan.

Saya pun teringat dengan novel “Seribu Sujud Seribu Masjid” mengenai perdebatan Kasdi dengan pak RT mengenai Surau dan Pos Siskamling. Perdebatan mengenai makna kenapa harus ada Siskamling. Ruang itu mengapa harus ada, karena untuk menjaga keamanan warga Sekober. Penjaganya pun harus dibayar. Namun celetukan Kasdi mengenai Surau membuatnya tidak cerdas. Bahwa untuk menjadi aman, iman pun harus di jaga, surau lah ruang itu.

Memang Kasdi diperolok, karena makna berbeda mengenai Surau dan Pos Siskamling. Mengapa Kasdi sampai celetuk seperti itu. Karena, Surau Peninggalan kakeknya yang komunis itu tak pernah dikunjungi lagi orang kampung Sekober. Surau itu menjadi “Ruang” kesadaran Kasdi sendiri. Sebab, di ruang itu ia hanya sendiri. Adzan sendiri, iqomat sendiri, sampai shalat sendiri, sehingga ia namakan ibadah “mandiri”. Inilah kesadaran ruang kearah kecerdasan spritualitas. Kasdilah yang merasakan kebahagian di dalam “ruang” itu.

Terkadang kebahagian dalam ruang itulah yang ingin diberikan kepada orang-orang lain untuk bersama memaknai “ruang” sebagai wadah mengasah kecerdasan.  Dalam ruang 305 pun selayaknya seperti itu. Para-para SPM ruang 305 terdahulu selalu memaknai ruang 305 sebagai ruang dimana ditumbuhkembangkannya hasrat baca, menulis, serta retorika. Terkadang di budaya malam itu yang lebih dimaknai sebagai “ruang” menggelontorkan ide-ide segar bagi kelangsungan hidup manusia-manusia didalamnya.

Walaupun terkadang kesadaran ruang itu tak bermakna, tak bunyi bagi orang lain. itulah mengapa Ruang itu terkadang mati, terkadang hidup selamanya. Inilah Kuntowijoyo pernah menjelaskan dalam salah satu cerpennya Aku Mengira telah membuat sebuah rumah yang tenang, kiranya sekarang sudah menjadi penjara bagi diriku sendiri ( Kuntowijoyo: Dilarang Mencintai Bunga-Bunga)

 Idaman Ruang, Idaman Hidup Bahagia

Tubuh-tubuh ini sudah banyak memasuki ruang-ruang. Entah gedung, rumah, kost-kostan, ruang kelas ataupun ruang-ruang imajiner seperti; idaman rumah untuk masa depan. Ruang-ruang imajiner itu berbentuk keinginan  mempunyai rumah sederhana dari tembok semi permanen dengan kebun-kebun apel, anggur, ketika ranum, wanginya masuk kedalam bilik-bilik rumah, menyegarkan pikiran. 

Ruang-ruang idaman walaupun imajiner itu, tak mempunyai makna kalau hanya dirasakan hanya sendiri saja. Dialog-dialog penuh pengetahuan dan keindahan menjadi jalan spritualitas, serta intelegensia manusia. Mungkin, itulah kredo saya mengenai makna ruang dengan dialog. Idaman ruang seperti 305, Gedung G, BEM, akan nyaman, bahagia, kalau ruang itu memberikan makna dialog-dialog pengetahuan dan keindahan.

Bukankah terkadang kesadaran ruang yang membawa idaman ruang mempengaruhi kita untuk menjalani hidup bahagia. Ruang-ruang dialog dimana kita mendialogkan peradaban manusia kelak di masa sekarang serta masa depan. Maka, saya pun merasa cemburu ketika ruang-ruang idaman yang membawa hidup bahagia itu selalu di maknai berbeda oleh orang lain. Seperti 305 selalu sepi, malas untuk mengunjunginya, ataupun takut masuk keruang itu. Terlebih tak mau merasakan proses budaya malam di ruang itu. Mungkin inilah sebagai manusia saya memaknai Kasdi normal, ketika celetuk seperti tadi yang sudah saya tuliskan sebelumnya. Sungguh saya cemburu serta ingin celetuk kepada mereka yang tak mau merasakan budaya malam itu.

Sehingga garis meander telah saya luruskan bahwa tubuh ini, otak ini telah menerjemahkan makna keras bahwa ruang-ruang itu selalu membawa kebahagiaan walau hanya dirasakan sendiri, orang-orang tak peduli, abai. Kesadaran ruang  membawa sebuah rumah, rumah dimana telah  menyediakan ruang-ruang dialog yang sangat genit dan penuh dengan ilmu pengetahuan. Maknailah semua ruang dan semoga rasa memiliki ruang itu akan muncul. Inilah interpretasi keindahan kita sebagai homo significansi dalam space, manusia sah pemberi makna ruang !!

Posted on Selasa, Februari 19, 2013 by Rianto

No comments

Jumat, 08 Juni 2012

Udara panas dan udara dingin yang bertatap muka di langit, membuat hujan frontal menjalani kesepakatan dengan awan hitam. Sore ini, pukul 18.45 di arlojiku, air dari langit mengguyur Kampung Haji Agus Muslih . Keadaan kampung yang panas, mendadak mendapatkan temperatur yang agak dingin akibat air hujan yang turun sore itu. Bocah-bocah nakal mulai keluar dari sarangnya, menerpa air hujan yang turun, berkah bagi bocah yang ingin main lempar tanah di dekat Diesel Padi . Beribu kali para ibu teriak seiring adzan maghrib, memarahi sambil melecutkan sapu di bagian tubuh bocah-bocah nakal yang berlumuran lumpur disekujur tubuhnya. “Udah maghrib, pulang, mandi sana, dasar anak nakal” teriak ibu tersebut. Aku pun hanya bisa mengucapkan “permisi” numpang lewat” sehingga tangan si ibu berhenti sejenak memukuli bocah botak itu, anak kampung jelek, panu, banyak kurap dikakinya.
Teriakan bocah-bocah yang menangis dan harum tanah yang masih basah mengiringi, membuat kotor sepatu hitamku, air yang tergenangpun menampakan kaca diwajahku yang maskulin, terpaksa harus diinjak pula oleh sepatu hitam, bayangan wajah maskulin di air itu. Tak ada jalan lain, “Dasar jalan jelek kau mengotori sepatu baruku” Geramku. Sepatuku yang kotor dan tertambal tanah pun terpaksa membuat aku berhenti sejenak untuk mengiris tanah-tanah yang menempel disepatu baruku. Hingga jalanku pun harus disusul oleh anak-anak perempuan kampung berkerudung dengan tentengan Al-Quran, bahkan ada anak-anak laki-laki sambil berlarian di sepanjang jalan becek sambil melepit Iqro diketeknya. Anak-anak yang dilahirkan benar oleh tangan-tangan Tuhan.
Keluar dari pintu depan masuk kampong Haji Agus Muslih, tepatnya pertigaan di Jalan Cendrawasih ada rumah gosong bekas rumah suami istri Jawa. 20 tahun ynag lalu,Istri-nya mengalami mati tragis, rumahnya terbakar akibat anaknya yang autis, bodoh, malas, sedang bermain-main dengan lampu templok dan istrinya terlelap tidur. Masyarakat pun enggan lewat rumah ini, takut, alih-alih anak-anak mereka diajak main arwah istri dan anak autis yang dilahirkan oleh suami-istri Jawa itu. Celakalah suami istri itu karena punya anak yang dilahirkan salah oleh tangan-tangan tuhan.
Tapi aku tidak mencari jejak tangan-tangan tuhan yang benar atau salah itu, aku mencari lelaki pengumpul aqua bekas yang tinggal di rumah gosong itu, suami dari istri dan anak yang mati tragis itu. Menurut masyarakat Kampung sini, rumahnya ada dipertigaan lima ratus meter dari pondok anak-anak mengaji. Benar kata masayarakat, Mistika Rumah gosong itu, hanya beralaskan bumi, tanah-tanah teras itu menyapa sepatu hitam baru nan kotorku untuk masuk keruangan dalamnya. Terlihat sebagian dindingnya sudah mulai di cat ulang dengan warna krem, walaupun masih meninggalkan jejak-jejak rumah terbakar. Tegursapa tumpukan aqua bekas terikat rapi, ada disekitar sudut-sudut ruangan. Setahuku, ke pengepul harganya 700 perak per kilo. Apakah itu cukup, untuk menghidupi badannya yang gemuk itu, tapi aku tahu betul dia, tidak dekil, bahkan baulampu templok hilang, ia ubah menjadi wangi bunga-bunga pohon kamboja yang ditanam tepat di samping rumah kosong itu . Tak ada lampu listrik yang menerangi kamarnya, lampu templok dan petromak uzur saja. Di belakang rumah itu terlihat tangan sedikit keriput berkeringat oli yang sedang mengayuh rante dan roda. Oli bekas untuk melancarkan rante harta satu-satunya, Onthel. Mungkin itu Bachrul. Akhirnya, aku bertemu dengannya.
Pagi ini aku terbangun dari tidur malam yang melelahkan. Aku tak ingat lagi, apa yang aku bicarakan dengannya. Yang aku ingat, Bachrul mendapatkan pekerjaan baru. Aktivanya bertambah, Gerobak kecil yang dibuat sendiri hasil keringatnya, tabungan aqua kiloannya. Oh iya, semalam ia bilang, pagi ini, ia dapat mengantarkan air bersih ke kompleks perumahan Sentosa Raya. Empat sampai lima gallon siap ia antarkan. Sambil menarik gerobak kecil berisi tiga gallon air, aku mengintip dari rendra merah kusam jendela tua kamaranya, sepertinya ia sedang menghitung dalam hati, “Hari ini Tuhan, 20.00 perak akan kukantongi” gusarnya. Ini toh aktivitas barunya kalau Sabtu-Minggu tiba.
Setelah hampir setengah hari Bachrul keliling dari rumah-kerumah, gerobak kecilnya ia senderkan di pohon jambu dekat Warteg Pakde Nunu, tanpa ragu ia pun memesan nasi lengkap dengan paha ayam dan sayur lodeh. Hari ini, Bachrul makan enak. Tak lupa Bachrul membawa nasi bungkus untuk tamunya yang datang tadi malam. Di sela-sela ia makan dengan lahapnya. Empat Orang di Pos ronda yang sedang maen gaplek mulai membicarakan Bachrul.
“Lihat, Bachrul makan dengan buasnya” sambil menimpa gaplek,
“Kaga makan tujuh bulan kali dia”,
“Hush!!! jangan ngomong sembarangan, nanti anakmu yang baru tujuh bulan dikandung istri, dicomot ama dedemit Jawa itu , tau rasa”,
“Amit-amit, dah”
“Sebenarnya dia adalah seorang Dokter, sayang izajah nya dibakar oleh orang tuanya karena berani menikahi seorang “priyayi” berbeda agama, sayang bener”.
Dari pembicaraan empat orang di pos ronda itu, diketahui Bachrul merupakan orang intelek, lulusan Institut Kedokteran di Malang Jawa Timur. Pantas saja, walaupun sebagai pemulung serta penarik gerobak air, dia berpenampilan cukup rapi, rambutnya yang agak panjang selalu klimis, serta kacamata selalu menempel dimatanya yang agak sipit itu, tidak kalah gagah dengan foto Dandels yang Bachrul pajang di samping jendela kamar tuanya. Tapi memang disayangkan, cita-citanya ingin menjadi Dokter harus pupus karena izajah dan istri pertamanya itu. Kasihan. Seiring pembicaraan empat orang di pos ronda, bachrul lewat dengan melemparkan senyum sejuknya kepada empat orang itu, gerobak pun ditarik menuju rumah sahabatnya yang memintanya untuk memenuhi kendi-kendi air untuk malam nanti. Mandor Darman namanya seorang kepala Sekolah Luar Biasa.
Aku hanya berada di rumah ini, melihat sarang Bachrul. Di kamarnya terlihat Foto Daendels yang bertuliskan “Keinginan yang tak layak di kalangan banyak orang jawa untuk memperoleh pendidikan lanjutan adalah bahaya besar bagi rencana-rencana pemerintah”. Buku-buku yang tersender di meja kecilnya terlampau kecil untuk menjaga beban buku-bukunya yang banyak dan tebal itu. Terlalu naïf untuk membaca buku-buku itu, dan hanya orang tolol yang mau serta terlampau sulit mengajarkan anak pribumi tolol lagi malas itu. Apalagi menceritakanya dalam sebuah artikel di harian Jakarta. Teh panas dan nasi bungkus yang dibawakan Bachrul telah melewati kerongkongan dan lambungku, membuat kepalaku sedikit pening, sebenarnya aku tidak mau makan nasi bungkus bawaanya. Ah,lebih baik aku tidur saja, sampai sore, atau mungkin sampai malam tiba. Lagipula Bachrul akan pergi malam ini.
Keadaan malam di Kampug Haji Agus Muslih, cukup mencekam. Pukul delapan malam semua rumah sudah tertutup, rapat dengan gembok dan anjing-anjing kampung mulai menampakan aumannya yang sesekali menggelegar ditengah terlelapnya masyarakat dalam peraduannya. Hanya kokok ayam jantan yang agak mententramkan hati masyarakat yang tak sabar menunggu sang fajar terbit dari timur. Bahkan kentongan dari pos ronda dan dentuman Patok yang sengaja ditanam untuk dijadikan tiang listrik, seperti menimbulkan bunyi “waspada” dan menunjukan pukul lebih dari sepuluh malam telah terlewati. Kampung yang parah, tiang listrik baru ditanam, pekerja-pekerja bangunan itu buat berisik saja.
Akhirnya aku keluar saja jalan-jalan sebentar melintas di kebun sambil membawa lampu petromak, sebatang rokok mulai terbakar dan menemani tanganku memutar-mutar si kecil membara itu. Petromak yang sengaja kunyalakan di depan rumah menampakan wajah Bachrul yang cerah sambil mengeluarkan Onthelnya, akupun tertegun . Sepeda Onthel sang Guru ini melaju lambat, katanya ia mau ke rumah Mandor Darman. “ Saya Pergi dulu, nanti pintu dikunci saja, pagi, mungkin saya bisa mengantarmu ke Stasiun Cikarang”.
Ternyata benar Mandor Darman sedang mengadakan pesta penyambutan anaknya yang baru pulang dari Yogyakarta. Para tamu undangan terjaga dalam rumahnya, hingga pagi nanti, Mungkin Bachrul diundang oleh Mandor Darman. Di sana, terlihat Bachrul menjadi penjaga dapur dan pengisi air di tempat Mandor Darman. Serta, beberapa kali dia terlihat membereskan piring-piring menumpuk dibawah jejeran bangku plastik merah.
Malam ini, aku hadir di pesta Mandor Darman bukan karena aku tamu Bachrul, tapi lampu templok dikamar telah habis minyak tanahnya, aku menyusulnya untuk mencari minyak tanah. Tidak kusangka, sepertinya dia sudah akrab dengan masyarakat kompleks Perumahan Sentosa Raya. Apalagi keluarga Mandor Darman. Setelah aku mendapatkan minyak tanah ini, aku keluar dari perjamuan pesta malam itu. Sesekali aku menengok kebelakang melihat asiknya Bachrul mengobrol dengan Mandor Darman serta anaknya. Dia memperkenalkan aku dengan bangganya kepada Mandor Darman. Tradisi lama, banyak basa-basi. Apa yang kau ceritakan kepadanya lagi tentang diriku. Malas sekali sebenarnya aku punya kerabat sepertimu. Kau terlalu jujur, sopan, dan bersolek seperti priyayi munafik. Lebih baik aku kembali ke kamar, tidur. Sambil memikirkan besok, pulang.
Pintu depan terdengar seperti ada yang mengetuk, mungkin Bachrul pulang. Aku pun bergegas membuka kelambu kamar untuk bisa melihat dari rendra jendela siapa yang mengetuk pintu di pagi ini. Benar ternyata Bachrul dengan Mandor Darma dan anaknya, Surtini yang mengetuk pintu rumah kosong ini. Koperku pun siap, sehari semalam menginap di rumah ini dan tiga sampai empat jam sudah cukup dialog dengan Bachrul. Pagi ini aku diantar pulang oleh Surtini menuju Stasiun Kereta Cikarang. Mandor Darma dan Bachrul harus pergi untuk menuju Sekolah Luar Biasa. Mengajarkan baca-tulis untuk anak-anak tolol selagi malas itu, sangat melelahkan di Masa ini. Hanya surat dariku yang kutitipkan. Kuharap kau hadir. Dan kuharap kau membalas suratku. Calon Istriku di istana menunggu aku datang. Mungkin, saudara-saudara jauh kita sudah hadir seminggu yang lalu di rumahku.. Maaf aku telah mengganggu hari Sabtu-Minggumu.
Lelahnya perjalanan, bisingya kereta, padatnya penumpang, pengemis, penjaja makanan menjadi satu adonan. Membuatku tidak mau naik kereta ekonomi ini. Tapi aku teringat ceritanya, waktu awal kejadian pembakaran ijazah itu, ia pergi meninggalkan kampungnya naik kereta ekonomi Semarang- Jakarta dengan calon istrinya. Sehingga ia merasakan berkumpul dengan pribumi itu tidak mengenakan, tapi dari situ kita dapat melihat sisi kemanusiaan “tak selamanya” jadi priyayi patuh dan punya istri banyak dari kalangan priyayi juga, dapat mampu beradaptasi dengan lingkungan pribumi “yang tolol dan lagi malas itu”, benarkan?. Bahkan dari situ dia mampu menciptakan karya yang hebat. Tulisan- tulisan inspiratif yang dicetak oleh harian Jakarta telah mengantarkan alamatmu untuk kutelusuri. Sehingga kita bertemu lagi. Semoga tulisan itu “menginspirasi orang-orang untuk mencintai istri dan anak-anak yang dilahirkan salah atau benar oleh tangan-tanagn Tuhan. Tapi kenapa kau sebut aku sebagai priyayi yang hebat karena bercita-cita Master Jurnalistik . bukankah itu mimpimu. Sehingga kau bebas pergi kemana-mana untuk mengejar informasi, memiliki tempat peraduan yang banyak. Hingga akhirnya sang peri menggugatmu untuk menceraikannya?.
Aku ingin merasakan hidup sepertimu menjadi wartawan, sastrawan, penulis yang dapat menghasilkan tulisan-tulisan yang inspiratif. Aku sendiri rindu dengan peri itu, ingin mencium dan terlalu sulit untuk menghabiskan cintaku padanya. Mungkin, aku tidak harus berbohong lagi kepada peri ini, aku membenci sesorang. Aku mencintainya, karena belajar darimu, dari cerita peri pertamamu. Peri-mu disini sering cerita tentangmu. Kebiasaanmu membaca, serta tamu-tamu di ruanganmu itu. Ketika kukatakan dia bisu aku memang tidak berbohong, ketika kukatakan dia berbicara aku juga tidak berdusta. Mungkin itu yang dikatakan perimu itu benar, tulisan-tulisan mu mengagumkan. Ingat, Senin Minggu depan aku akan menikah.
Ceritamu karena Izajah terbakar itu, dan bagaimana cara mencintai peri pertamamu akan menjadi modal keberanianku untuk menikahi Sutriani dan membesarkan anak-anakku. Bahkan aku tidak ingat kapan terakhir aku bisa mengingat kau mengajarkan membaca, menulis, bahkan mengingat kau gugup menunggu kelahiran anak pertama dari rahim perimu itu. aku lahir tanpa cacat, tidak autis, dan jari-jariku tidak gigantisme sama sehat seprti anak-anakku. Sesuai impian dan cerita inspiratifmu, membuat aku menggeliat menghasilkan karya. Dalam Ontologis kumpulan cerpen “Epistomologis Anak Pertama: Lahir Benar oleh Tangan-Tangan Tuhan" ini. Menceritakan tentangmu yah.
"Ya, dalam Cerpen ini'

Posted on Jumat, Juni 08, 2012 by Rianto

No comments