“Apakah Bapak guru dari Jakarta itu?, “ tanya laki-laki gemuk.

“Kemeja rapi, buku-buku, kamera, dan tas ransel itu sepertinya menandakan bapak memang guru dari kota yang sejak tadi kami tunggu”, tegasnya.

Lelaki gemuk itu memperkenalkan diri sebagai Marjuki. Ia mengaku tukang ojek yang  di sewa untuk menjemputku. Kepala Desa yang menyuruhnya. 

Lelaki ini gemuk, celananya besar, namun selalu melorot. Ikat pinggangnya saja dari tali plastik. Semrawut. Tanganya selalu sibuk menaikan kolornya yang selalu turun. Matanya agak besar, garis-garis merah di bola matanya menandakan ia begadang semalaman ini. 

Ia  menjulurkan tangannya. Sigap.  Membantuku mengangkat barang-barang dari kapal tongkang yang aku naiki sejak dua jam yang lalu. Aku pergi sendiri. Selama dua bulan kedepan ini aku tinggal di kampung pesisir ini. Rencananya untuk mengajar baca tulis anak-anak nelayan. Melaksanakan program pendidikan di daerah-daerah tertinggal. Sebagai guru ilmu bumi tentunya.

Jalan kampung ini sangatlah rusak, jalan yang dipenuhi dengan kerikil-kerikil bekas aspal yang hancur, begitu pula banyak aspal yang terbelah-belah akibat abrasi laut Akses selalu menjadi masalah serius di kampung-kampung seperti ini.

“Jalan di sini, sulit untuk ditembus, 2005 pernah di aspal, namun air laut yang terus menggerus aspal, seperti ini jadinya,” kata lelaki gemuk itu. 

Lagi pula, banyak warga yang tidak mau sebagian pekarangan rumahnya diaspal. Kapok. Menurut Marjuki, ganti rugi tidak berjalan dengan baik. Banyak yang tidak sesuai dengan janji ganti rugi. Bahkan, dua minggu lalu warga protes. Jalan ditutup dengan kayu-kayu gelondongan.

“Urusan kemarin saja belum beres, eh...... udah mau bangun jalan lagi”, jelas Marjuki.

Obrolan serius kami sesekali diganggu dengan  motor Marjuki yang agak oleng karena harus memiih menghindari jalan yang berlubang. Lubang yang dalamnya dapat menenggelamkan ban motor. Biar begitu Aku masih sibuk dengan kamera untuk mengambil gambar. 

Perjalanan kita terhenti.

Ban motor Marjuki bocor. Kami pun bergantian mendorong. Jalan rusak, tukang tambal ban tak kunjung terlihat batang hidung dan lapaknya. Sudah lama kami mendorong motor bergantian.
Aku tidak menghitung berapa kali kami sudah bergantian. Kini, sudah giliranku lagi mendorong motor. Tangan terasa pegal, kaki pun terasa mati rasa. Panas udaranya. Mataku kaget, membentuk imajinasi siluet api di jalan aspal yang rusak itu. Nyalanya mempermainkan imajinasiku, semakin aku mendorong dengan kuat,  semakin besar siluet api itu. Tak kuasa mataku menahan. Sesekali aku mengusap mata dan wajahku untuk menghilangkan panas. Tetapi jalan semakin jauh dan panas bercampur debu menabrak mata sesukanya. Aku pun pingsan.

Aku merasakan dingin dikepalaku. Mataku berat untuk membuka. Aku pikir, mataku enggan buka, karena panas dari siluet api di jalan aspal masih membekas panasnya. 

Terasa badanku pegal-pegal. Aku pun maksa untuk bangun.

Turun dari ranjang empuk. Aku keluar menatap jendela. Kali ini mataku terasa sejuk.  Sejurus jendela kayu itu membuka sendirinya. Terhampar pohon bakau serta burung-burung berjemur, berdendang dengan suara melengking, namun indah ditelingaku. Aku ingin keluar, ingin melihat suasana diluar itu. Rumah ini indah sekali, rumah panggung, penuh ukiran-ukiran kayu, abstrak. Tak mampu aku menggambarkanya. Ada perempuan menghampiriku membawakan teh panas. I tersenyum padaku.   
“Di rumah dan di kamar siapa aku ini,” tanyaku dalam hati

Seorang  perempuan cantik, tinggi ,dengan rambutnya yang jatuh lurus panjang, bola matanya berbinar-binar, wajahnya penuh kecahayaan, masih saja tersenyum padaku, saat kutanya.

Ia menjawab dengan tenang, “Jangan takut. Abang sedang di rumah ibuku. Iya, abang sedang di kamarku.” Jawabnya. Setelah menaruh teh panas ia melanjutkan, “masih pegal-pegalkah badanmu abang?” 

Mataku memandang jelas isi gelas itu. Gelas yang ia bawakan. Aku yakin ia membawakan segelas teh. Warnanya itu, tak mungkin mataku salah. Aku rasa bukan teh. Tenggorokanku tidak merasakan teh, karena kali ini lidahku terasa teriak, “itu susu dingin!”

Sambil memegang gelas, aku berjalan, dituntunya menuju disebuah bale panjang. Ya aku Ingin duduk-duduk. Menghilangkan pegal yang menyerang. Kami pun duduk bersama. Mengobrol.

“Siapakah ibumu itu, adikku,” tanyaku lembut.

Dia tidak menjawab.

Ia malah menarik tanganku buru-buru. Mengajakku berlari di pasir putih nan dingin sejuk memijit kakiku yang pegal. Tanganku terasa digenggam keras oleh perempuan itu. Tapi wajahku masih merasakan sisa-sisa panas jalan aspal yang rusak. 

Kami menuju bibir pantai.

“Itu Abang. Lihatlah! Terlihatkah oleh matamu. Pulau kecil diseberang rumah ini. Disana terlihat rumah yang tak kalah cantik dengan rumah ibuku ini,” terangnya.

Mataku tak awas mengenai pulau dan rumah itu. Aku mengawasi sekitar bibir pantai. Aku hendak kesana. Tapi melalui apa? Mataku awas terhadap sebuah sekoci berwarna kecokelatan nan menyilaukan mata. Tetapi adik kecil melarangku untuk menaikinya.

Ia terus berbicara sesukanya. Aku hanya mendengarkannya saja, “Dan lihatlah Abang, apakah kau melihat pulau kecil, berisi serumpun pohon bambu ditengah-tengahnya. Pulau itu terletak disamping pulau itu. Hijau, penuh dengan suara burung-burung kecil, manja, mereka sedang membuat sarang disana. Mereka hidup apa adanya. Tak pernah mengeluh, tak pernah juga mereka mengganggu penghuni pulau ini. Kita akan melihat hidup mereka yang sederhana, bagaimana mereka sabar membesarkan anak-anak mereka dan menyenangkan sekali bisa melihatnya.”

“Maukah abang kesana kesana”, tanyanya manja.

 “Sepertinya aku tidak tertarik dengan pohon-pohon bambu itu. Dari dahulu aku tertarik oleh rumah. Lihat saja rumah ibumu dan rumah di pulau itu, sederhana sekali. Aku pikir rumah di pulau itu seperti rumah panggung. Indah. Aku bisa membayangakn ketika aku masuk, menaiki tangga, mengelus dindingnya, menciumi bau kayunya, jelas aku merasa mendengar gemericik air dibelakang rumah panggung itu. Aku terasa nyaman sekali. Dan aku bisa berbaring, membaca Tolstoy, Plechanov, Gothe, Aristoteles...  dan menulis dengan tenang. Aku membayangkan tanganku lincah menenun kata menjadikannya indah, untuk siapa saja yang membacanya , aku yakin akan terpikat. Tak terkecuali dirimu yang baru aku kenal. Aku bingung menamaimu. Ya.... aku ingin kesana saja.” Jawabku panjang.

Setelah mendengar ucapaanku, air muka perempuan itu memunculkan wajah sedih. Ia menatapku, dan tersenyum terpaksa. Aku yang ditatapnya seperti memasuki lorong-lorong waktu tak jelas. Terbayang spot-spot peristiwa-peristiwa lama. Sketsa-sketsa lapuk. Klik-klik, jepretan-jepretan, foto-foto yang mengingatkan aku pada sebuah keiindahan warna hijau pohon-pohon. Menghipnotis pandangan mengenai keindahan. Aku terasa jatuh pada ketinggian 400 meter. Jatuh pada warna kehijauan....

Ia mendekat. Aku dipeluknya.  

Ia menciumku sekali. 

Mataku terang, Aku baru saja sadar, dibawanya pada sebuah imajinasi lamaku, Ya aku pernah memimpikan tidur-tiduran. Berlama-lama di bawah pohon. Pohon apa saja. Yang penting daunnya hijau!

“Sekarang buatlah keputusan”

“Keputusan?”

“Ya, keputusan. Apakah abang mau ke pulau dengan rumah panggung itu sendirian atau ke pulau dengan pohon bambu yang indah bersamaku” 

Aku tahu jalannya!” tambahnya.  

Penjelasannya memojokan aku untuk memilih yang kedua. Mataku masih awas dengan sekoci cokelat itu. Aku punya rencana lain.

Tapi rasa-rasanya warnanya mulai memudar. Perlahan-lahan ingin hilang dari pandanganku. Semakin kuat aku punyai rencana lain itu, semakin pudar warna sekoci itu, “Tidak! Tidak! Jangan pergi dari mataku” gumamku.

“Abang lihat sendirikan. Sekoci itu semakin menghilang dari pandangan abang sendiri” cepatlah buat keputusan. Bawa aku pergi dari sini! Aku akan tunjukan jalannya. Cepatlah! ” desaknya.

Tanganku terasa sakit dengan genggamannya yang semakin kuat. Kabut tiba-tiba menyelimuti pandanganku. Kedua pulau itu hilang. Hanya tersisa sekoci saja yang sedari tadi tidak luput dari pandanganku. Meski rasanya warnanya telah memudar.

Aku merasa takut sekali. Terlebih perempuan ini menangis. Aku memeluknya. Dingin sekali terasa. Bukankah perempuan itu selalu hangat? Aku tidak peduli. Aku terus memeluknya. “Apakah aku harus buat keputusan untuk meninggalkan keinginanku”, tanyaku.

Dalam pelukanku, perempuan itu mengangguk. 

Pertanda aku harus buat keputusan cepat. Angin pun berhembus lebih cepat. Seakan-akan mendorongku untuk menaiki sekoci itu. Tetapi kabut telah memakan keberanianku untuk menyeberang. Aku tidak yakin akan sampai kesana. Aku takut tenggelam. Aku meleleh pada keragu-raguan.

Dinginnya pasir, kini menjadi lebih hangat. Aku pun bangun. Berdua kami menuju sekoci cokelat itu. Mendayung perlahan-lahan. Entah dari mana, perempuan itu mengeluarkan cahaya ditangannya. Ia menggenggam lampu petromak. Tangannya mengibas-ngibaskan kabut yang menyelimuti. Sementara aku mendayung sekoci. Lambat, tenang dan penuh kehati-hatian aku terus mendayung mengikuti arah yang ditunjukan perempuan itu. Pulau yang penuh dengan rumpun bambu itu adalah tujuannya.

“dreeeek......” badan sekoci kami menabrak ujung pasir. Pertanda kami sudah sampai.

Aku turun, penuh kehati-hatian. Pasir terasa dingin kembali. Gelombang laut yang tenang mendorong kaki untuk kembali ke daratan. Mataku terasa sejuk. Ya, pohon-pohon bambu itu hijau, rindang. burung-burung kecil berkejar-kejaran. Ada yang terbang sambil menggigit ranting kecil menuju sarangnya yang setengah jadi. Sial! Cahaya indah yang mirip cahaya matahari pagi menyelinap-menyelinap dibalik daun yang hijau. Aku menyukainya. Cahayanya meluncur pada dedaunnya. Aku menutup mataku. Mencium aromanya.

 “Cick, cacck, cick, cack....”  kicau suara burung menenun kesunyian pulau ini. Tak kusangka badanku menari-nari sendiri. Lenggok tangan dan kakiku lincah, “Oh aku tidak sadar aku pandai menari” teriakku kegirangan. 

Perempuan yang bersamaku pun lari-lari kecil di sekitar pasir. Melemparkan pasir ke ombak laut. Ia pun masuk kedalam rindangnya pohon-pohon bambu, sambil menoleh mengajakku untuk masuk.
Ia terus berlari, sesekali menegok ke belakang, menandakan aku harus cepat mengejarnya. 

Ia tenggelam di makan hijaunya bambu. Aku mengikutinya. Jalan perlahan, langkahku semakin pelan. Bukan karena aku tak mampu berlari. Langakahku terhenti, aku terkagum-kagum dengan pohon bambu ini. Di ujung-ujung batang dan daunnya ada banyak kertas-kertas yang dililit oleh benang putih. Hingga aku terheran-heran apa isi dari kertas itu. Selain rumah, aku tertarik dengan kertas. Karena kertas pasti berisi kata-kata. Aku harap kertas itu berisi tentang dialog, yang penuh kata-kata keindahan. Penuh estetika.

“Apakah, abang ingin mengambilnya”. Entah darimana ia bersembunyi, perempuan itu tiba-tiba ada di belakangku berbisik.

“Ya, aku ingin mengambilnya, tapi apakah boleh? Jelas ini bukanlah tempatku. Aku teratur. Tak boleh...”

“Abang  boleh mengambilnya. Ini pulau Ibuku. Dan ini menjadi tempatmu juga. Sekarang semua ini menjadi milikmu. Kau telah mengantarkanku kesini. Sampai-sampai kau mengorbankan keinginanmu untuk ke pulau satunya. Melihat rumah panggung itu. Ingatkah kau dengan sekoci itu?”

Astaga! 

Aku menjadi ingat dengan sekoci itu, aku mengintip dari celah-celah rimbun bambu. Mataku yang awas, telah teralihkan oleh kertas-kertas ini. 

Oh aku punya rencana lain.

“Aku ingat betul. Tapi kemana sekoci cokelat itu?”.

Perempuan itu berjalan lembut, sambil mengatakan:
“Sekoci itu sudah hilang. Sekoci itu akan hilang dengan sendirinya. Kaka harus melupakannya....”

Sepertinya perempuan itu mengerti maksudku. 

“Sekarang aku tahu, tak boleh punya rencana lain dipikiranku, aku harus mengikutinya. Tapi aku makhluk berpikir, dimanapun aku pasti mempunyai rencana”, bisikku dalam hati. Aku menlajutkan bertanya. 

“Apa yang bisa aku perbuat di pulau ini. Aku tidak begitu mengenalnya. Aku takut sepi akan membunuhku”

“Bukankah Abang sendiri yang bilang bahwa Abang senang membaca? Pulau ini penuh dengan kertas-kertas yang berisi dengan tulisan-tulisan indah. Terlebih ketika Abang selesai membaca satu kertas saja. Abang akan mampu bertemu dengan penulisnya. Bisa berdialog indah dengannya. Bayangkan berapa orang yang bisa abang ajak bicara. Disini berisi ratusan, bahkan ribuan kertas-kertas itu. Sepi tidak akan mampu membunuhmu, selama kita yakin masih bisa berdialog, berbicara. Lain dengan rumah itu, sepi tak berpenghuni. Peracayalah. Sekarang ambil satu saja, bacakanlah untukku. Maukah abang?”

“Baiklah aku mau melakukan itu. Tapi perbolehkanlah aku untuk membuat sekoci dari bambu-bambu ini, setelah usai aku membacakan kertas-kertas yang bergantung itu. Biar kujelaskan rencanaku. Aku tidak mau bermain rencana dipikiranku sendiri karena kau pasti tahu.”

Perempuan itu tersenyum. Aku pun melanjutkan,

“Tapi aku berpikir kau menyukai dialog. Di sini aku berbicara padamu. Jujur aku punya rencana lain. Dengarkan rencanaku ini..... Kelak aku akan ke pulau yang berisi rumah panggung itu. Jika aku selesai membacanya, tak terpikir olehku berapa banyak orang-orang ynag akan berkumpul di Pulau kecil seperti ini, di pulau ini. Aku akan mengajaknya ke sana. Disana mungkin mereka bisa istirahat dengan penuh. Tidur dengan nyenyak. Ya aku kehilangan sekoci. Lalu kenapa aku tidak membuatnya saja,” Perempuan itu terus tersenyum.

“Jika kau setuju, Langsung saja, dari kertas yang mana aku harus membacanya?”

Perempuan itu pun mengambil satu kertas yang terlilit tali putihitu. Kami pun menuju permadani merah. Duduk bersama, sebentar mengambil istirahat. 

Anehnya gelas-gelas penuh susu ada di permadani itu. Sebenarnya aku tidak pernah merasakan lapar di sini. Begitu pula, aku tidak pernah merasakan panas yang terik. Suasana disini selalu seperti pagi, atau selalu seperti senja, dengan kabut-kabutnya.

Aku pun berdiri. Bersiap-siap membacakan kertas yang sudah kugenggam. Ku buka kertas itu. Gulungan yang sangat besar. Tapi tanganku masih mampu menjangkaunya. 

Aku menariknya, bak prajurit yang membacakan titah dari raja. Posisiku siap. Hal ikhwal membacakan sebuah cerita, dialog, ataupun puisi, aku tidak pernah ragu untuk bisa membacanya. Karena aku seorang guru. 

Seorang guru tidak mungkin tidak bisa membaca indah, seorang guru tidak mungkin tidak bisa menulis indah. Seperti seorang bijak dari timur berkata,”Jika kau guru, ajarilah anak-anakmu berbicara dan menulis indah.”

Gulungan besar itu hanya berisi puisi. Hanya ada 6 bait.
Aku pun mulai membacanya. Perempuan itu bertepuk tangan kecil. Duduk manis memandangku.

aku mendidikmu // sejalan// dengan akar
menancap// keras penuh sabar
mengaliri air,// memberi makan// batang dan daun
Adalah Proses, akan tumbuh bunga-bunga kecil
buah itu// Hasilnya
Belajar Mendidikmu, Manis

Aku tertegun. Terdiam mengingat. Ya,Aku ingat. Puisi itu sahabatku yang membuat.
Dan. Mana yang kau janjikan, aku tidak melihat yang hidup setelah membaca gulungan itu?. Sahabat lama tidak pernah lagi datang menemuiku. Aku telah dibohonginya. Lalu, untuk apa aku membaca semua ini?