Bus Widia jurusan Cikarang-Rajagaluh itu memang kecil. Bus selalu penuh, sesak. Tiadanya AC, bus ini terasa sekali hawa panasnya. Awal Juli 2012, dengan bus seperti itu saya dan 13 (tiga belas) mahasiswa lainnya dari Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM), Universitas Negeri Jakarta (UNJ) berangkat ke Majalengka dari Terminal Cikarang. Tujuannya adalah mengunjungi Desa Trajaya. Desa yang terkenal dengan kerajinan bobokonya. Kalau orang kota atau daerah lain menyebutnya sebagai pengrajin bakul. Kami berangkat ala backpakeran.

Juli itu kuliah sedang libur. Ya, waktu liburan memang selalu mengasyikan. Berawal dari iseng-iseng, namun jika dikonsepkan dengan matang, liburan, jalan-jalan, bukan hanya momen yang menyenangkan, tapi juga ajang kontemplasi diri. Waktu itu saya kesana kebetulan menjadi penunjuk jalan/fasilitator. Kami melaksanakan program penulisan. Program Kreatis namanya. Program ini ajang pelatihan penulisan dengan pendekatan jurnalisme sastrawi. 

Sejak umur 9 tahun atau sekitar usia anak SD, ketika ada acara-acara tertentu saya selalu diajak ke desa ini oleh orang tua. Acara pernikahan ataupun khitanan misalnya. Tentunya pada saat itu saya belum tahu, pedagang yang mondok di rumah nenek saya adalah warga Trajaya. Yang warganya kebanyakan memanfaatkan waktu senggang di rumah untuk menganyam boboko. Beberapa kali saya kesana, sehingga saya agak akrab dengan warga sekitar. Oleh karena itu, saya mengusulkan Desa Trajaya menjadi tempat pelatihan penulisan.

Perjalanan memakan waktu 6 jam. Ketika sampai, Selasa sore itu di Balai Desa, kami disambut oleh Pak Solehudin Yogaprana selaku kuwu (kepala desa). Informasi menarik beliau sampaikan. Sambutan singkatnya mengenai keberadaan alun-alun desa yang digunakan sebagai tempat penjualan boboko serta kerajinan khas dari awi (bambu) lainnya. 

Kegiatan jual-beli ini dilakukan dua kali seminggu, rabu pagi dan minggu pagi. Terlihat sore itu pun, sudah ada pedagang yang mulai mempersiapkan dagangannya. Uniknya kegiatan ekonomi ini dimulai pada pagi buta. Sambil ngobrol santai Pak Kuwu memberikan informasi, bahwa kami harus bangun subuh atau sekitar pukul tiga pagi untuk dapat melihat kegiatan ekonomi unik ini.

Pagi Buta di Alun-Alun Desa Trajaya 

Ketika ayam belum banyak berkokok. Jam tiga sebelum subuh. Pengepul, penjual dan pembeli sudah memadati alun-alun  Trajaya. Kerajinan awi, seperti boboko, tampah, pangakelan, ayakan, kipas dan penyaringan tumpah-ruah menjadi satu. Kami mencari berita, mulai melakukan wawancara, serta jeprat-jepret kamera membuat salah satu dari pedagang memanggil kami untuk memotonya

Kerajinan dari bambu yang terkumpul itu menggambarkan kekhasan masing-masing daerah di Majalengka. Trajaya misalnya, tempat kami menginap terkenal dengan boboko kecilnya. Tampah merupakan khas dari Gunung Koneng. Serta pangakelan yang berfungsi sebagai penanak nasi merupakan khas dari Rajawangi. Saya bertemu dengan Pak Samad pengrajin tampah dari Gunung Koneng. Ia sengaja datang dari desanya membawa tampah untuk dijual di alun-alun Trajaya. Beliau menjual satuan sampai kodian. Tampah yang bagus dihargai dengan Rp200.000/kodi artinya jika dijual satuan bisa dibayar dengan Rp10.000.    

Berbeda dengan Pak Samad yang hanya membawa tampah, Pak Dian dari Rajagaluh sengaja membawa mobilnya yang berisi bermacam-macam kerajinan. Untuk mendapatkan kerajinan babmbu itu, Pak Dian dengan tekun mendatangi dari pintu ke pintu. Seperti pangakelan yang didapatkan dari pengrajin di Rajawangi. 

Suryaningtyas, salah satu peserta pelatihan penulisan terenyah dengan nenek-nenek yang terbungkuk-bungkuk membawa sekitar dua kodi boboko yang ia panggul diatas pundaknya yang renta. Nenek itu perlahan, sabar, melangkahkan kaki menuju alun-alun. Etos kerja yang ditunjukan nenek-nenek itu membuatnya tertarik untuk mewancarainya.

Saat ditanya mengapa sang nenek mau melakukannya, jawabannya sederhana, untuk dapat merajut kembali kehidupannya, menambah pendapatan. Terlebih sang nenek harus bekerja tanpa suami. Dengan melihat semua hasil kerajinan tangan itu saya membayangkan jari-jari cantik yang memprosesnya menjadikan kerajinan tangan itu tidaklah mudah. Pasti ada tahapan, ada proses yang dilaluinya.


Warna-Warni Kehidupan
Masyarakat Trajaya disamping sebagai petani dan pengrajin boboko, mereka banyak pula melakukan aktifitas dalam bidang perdagangan boboko. Perdagangan yang biasa dilakukan oleh masyarakat  Trajaya pada umumnya memang dalam bidang perabot rumah tangga dan anyaman yang dilakukan di luar daerah Majalengka.
 
Menggunakan sistem harian dan Tumblegan setiap satu kali panen. Jika mulai waktu tanam biasanya mendagangkan barang dagangannya, dan bila masa panen tiba baru mereka melakukan penagihan. Dalam masa menunggu panen biasanya berada di Trajaya dan melakukan aktifitas sebagai tani dan buruh tani. Pagi, siang, ataau malam, jika ada waktu senggang, mereka sambil duduk-duduk, menganyam boboko.

Aktivitas dagang pulalah yang menyebabkan masyarakat Trajaya selain sebagai pengrajin terkenal dengan jiwa rantaunya. Dari situlah jiwa merantau mereka kuat. Ketika mereka di rumah, waktu senggang banyak digunakan untuk menganyam boboko, ke kebun/sawah. Praktis kehidupan mereka menumbuhkan siklus etos kerja yang baik. 

Menariknya, mereka melakukan aktivitas menganyam menjadi ajang mempererat ikatan kekeluargaan. Saling tegur-sapa, sekedar menghilangkan kantuk, di pelataran ataupun teras-teras tetangga mereka bercanda. Melihat mereka menganyam perlulah kesabaran dan ketekunan. Ada tahapan ada proses.  Proses itu direkam dengan asyik oleh sahabat saya Restu Suci Cahyaningrum. Ia menulis, menggambarkan ketika mereka menganyam boboko itu ibarat, “Menali Insting Menganyam Kesabaran.”

Saya jadi teringat konsep proses oleh Romo Mudji. Ia  pernah menulis, kekeliruan kebanyakan manusia Indonesia adalah mau cepat-cepat ke tahap kupu-kupu. Manusia Indonesia tidak mau mengikuti proses, tidak sabar, terutama pada tahap ulat yang wajah dan tampilannya tidak elok sama sekali. Kekeliruan berikutnya, manusia Indonesia tidak membuka mata fisik untuk mengamati dan memakai mata hati untuk menangkap "penebusan" pada fase kepompong. Dari merekalah saya mendapatkan makna fase kepompong. Pengrajin-pengrajin itulah kepompongnya, mengajarkan “penebusan”, memperlihatkan fase kepompong melauli kegiatan anyam-menganyamnya. 

Sambil mengobrol dengan tetangga di halaman rumah ataupun kebun sambil menari-narikan jari tangan untuk menciptakan boboko terjalinlah kekeluargaan dengan sesama masyarakat. Lekas aktivitas ngumpul itu menciptakan suasanan sosio-kreatif. Alhasil sambil ngobrol-curhat satu-dua boboko dapat mereka ciptakan. Kerja mereka kerja gembira. 

Selain boboko kecil, Trajaya terkenal pula dengan boboko hitamnya. Terkenal karena sering ikut pameran-pameran handycraft mewakili wilayah Majalengka. Bahkan dengar-dengar sudah dibawa pameran ke Jerman. Di blok sabtu itulah boboko hitam banyak dianyam.

Dapat ditemui pula sosok kreatif yang telah mewarnai boboko dengan kreativitasnya. Adalah Pak Mila. Beliau lelaki gaek yang masih tekun dalam membuat modifikasi boboko yang menarik untuk para pelanggan. Khambali menggambarkan lelaki gaek ini sosok kreatif  ketika ia bertamu di rumahnya. Banyak sekali kreativitas boboko yang ia buat di saung kecilnya. Waktu senggangnya ia gunakan untuk membuat boboko kecil, hitam, merah sampai boboko yang sangat kecil alias mini. Sayangnya, modal masih menjadi penghambat usahanya tersebut. Walau begitu Pak Mila ingin terus berkreativitas tanpa henti.

Tak kalah menarik adalah pengalaman Agus Purnomo. Untuk keperluan narasi tulisannya, sahabat saya yang satu ini ikut mobil angkot yang  membawa bambu-bambu yang didistribusikan ke pengrajin boboko serta pengrajin bambu lainnya. Agus diajak melakukan perjalanan dengan para distributor bambu itu dari Majalengka sampai Indramayu. Hingga ia terpingkal-pingkal menceritakan pengalaman uniknya itu pada saat diskusi kecil-kecilan.    

Disini dengan belajar mengamati kehidupan masyarakat Trajaya, saya mau konfirmasi bahwa Indonesia itu memiliki desa yang memiliki kreativitas seni dan budaya yang kaya. 

Jika disaat kita yang di kota lupa bahwa ada kehidupan yang sederhana. Mereka yang di desa selalu menjadi oase, terus merajut kehidupan, menganyam boboko, menali proses yang panjang, mengingatkan kita tentang kehidupan ini membutuhkan proses, anyam-menganyam, rajut-merajut. Membetulkan kehidupan ini yang penuh dengan pencederaan sebuah proses, dengan sikap instan. Tidak menunjukan fase kepompong. Selalu ingin lekas menjadi kupu-kupu. Yang selalu saja, nilai proses ini harus mati ditengah tuntutan nilai tukar yang berbayar dengan uang.   

Bagi yang lupa mengenai konsep proses, fase kepompong itu, sederhana saja, mari kita jalan-jalan ke desa, lihatlah mereka yang di sana.  Belajarlah dari mereka. Yang menganyam belajarlah dari proses menganyamnya. Yang merajut belajarlah dari pores merajutnya. Serta tuliskanlah pengalaman itu.
Saya membayangkan Indonesia yang penuh warna-warni proses kepompong. Jika kita mau menulis kehidupan, budaya, masyarakat kita sendiri untuk proses pendidikan. Saya percaya, masih ada kehidupan Indonesia yang penuh proses seperti kepompong, bisa dilihat dari penghayatan budaya orang desa.  

Menulisnya, seperti mengeja, membaca Indonesia itu sendiri. Saya kredo, dengan tulisan bisa menjadi jalan kebudayaan, penawar rasa haus membaca Indonesia. Konsep bathin yang selalu saya ingat adalah dari desa, kami belajar proses, belajar menjadi kepompong. Akhirnya belajar menjadi Indonesia. Saya tutup tulisan ini dengan bait lagu Tanah Airku, semoga menambah getar-getar keindonesiaan bagi siapa saja yang mengingat kehidupannya, prosesnya, kampungnya, desanya. Memaknai melalui perjalanan kisah kita sendiri. Menceritakannya, mendialogkannya.

“Tanah Airku tidak kulupakan, kan terkenang selama hidupku, biarpun saya pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu, tanahku yang ku cintai, engkau ku hargai. Walaupun banyak negeri kujalani, yang masyhur permai dikata orang, tetapi kampung dan rumahku, disanalah kumerasa senang, tanahku tak kulupakan, engkau ku banggakan”