Saudaraku bekerja sebagai tukang kayu untuk tempat Film Melies. Suatu hari dia membawaku ke studionya. Itu seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Seluruh gedung  terbuat dari kaca. Sebenarnya, itu supaya cahaya matahari bisa masuk untuk keperluan  Film. Tapi bagi penglihatanku itu bagaikan kastil yang  indah sekali. Istana yang terbuat dari kaca. “Jika kau ingin tahu darimana mimpimu berasal kau lihatlah sekitarmu disinilah mimpi dibuat”


Di Kota Paris  Film itu bergerak. Di Film Hugo tersebut,  Rene Tabard kecil, pernah bertemu dengan idolanya tersebut, George Melies.  Dalam bukunya, sang Profesor Rene Tabard  “The Invention Of Dreams” pembuat film George Melies adalah orang pertama yang menyadari film mempunyai kekuatan untuk menangkap mimpi. Sepertinya,Tabard teringat pertemuan pertamanya dengan George  di studio kaca. Dan George menginginkan Tabard kecil pada saat itu untuk keliling, melihat-lihat. Menajamkan evolusi kata, “Jika kau ingin tahu darimana mimpimu berasal kau lihatlah sekitarmu disinilah mimpi dibuat.”


Kota bisa saja begitu berwarna dan menyenangkan. Begitupula sebaliknnya kota bisa saja membawakan sebuah ruang yang tak menyenagkan, ruang yang tak bernyawa, tak ada daya imaji, dan tak ada seniman pun di dalamnya. Dalam Film Hugo betapa pentingnya seniman dalam menghiasi kota. Barangkali kematian imaji sosok dalam George membuat kisah ‘anak-anak’ di dalamnya pun menambah kematian imaji kota.

Perang menghentikan imajinya. Sekali perang berkobar, tak henti-hentinya merusak apapun. Tidak seperti dalam sulap, George kehilangan tahap The Prestige. Tahap dimana ia seharusnya mengembalikan imaji kota yang dihilangkannya : Gulungan Film.  Karena, menghilangkannya saja tidaklah cukup, ia harus mengembalikan imajinya. Perang telah menghilangkan imaji tersebut. Hingga kota begitu sepi dari warna, yang ada hanya antrian anak muda untuk mendaftar untuk mengaangkat senjata. Itulah kenyataan dari perang. “Dunia tak pernah punya waktu untuk tipuan sihir dan pertunjukan Film,” George menambahkan.

Di Kota, Tabard kecil sangat menyukai karya Film George, yang menawarkan penuh imaji. seperti ayah Hugo Cabret ketika pertama kali menceritakan pengalaman pertamanya menonton Film, “bagaimana mungkin sebuah peluru meluncur menancap ke Bulan, itu seperti mimpi.” Kenyataan yang menarik adalah ketika Hugo Cabret dan Isabelle mengendap-ngendap untuk menonton film. Isabelle masih belum mengetahui bahwa  George, bapak baptisnya merupakan seniman Film yang ‘melarangnya’ untuk menonton film.

Menyadari tubuh dilarang untuk menonton, tetap saja sang tubuh terbawa merasuk kedalam Bioskop, mengendap, tak biasa, diam-diam mereka  masuk dalam warna hitam putih film. Nyatannya, tubuh yang sekedar duduk-duduk, menambah daya warna imaji diri untuk menjadi petanda keadaan menyenangkan menjadi sang penenonton ilegal. Meskipun di usir pula. Setidaknya, usaha itu adalah mewarnai gerak tubuh dalam sebuah pengalaman, tepatnya mereka menyebutnya “Petualangan”. Kota membuka keran petualangan itu.

Pasca kematian sang Ayah, Hugo mewarnai kota dengan memperbaiki jam-jam menggantikan si pemabuk. Pasca perang, Seniman Film George menjual gulungan film-filmnya untuk dijadikan bahan “hak” sepatu, sisa uangnya ia tukarkan dengan  toko mainan. Di sanalah ia berada.  Mama Jeanne menjadi ibu rumah tangga. Sebelumnya ia terkenal sebagai Aktris cantik dalam Film George. Kota merubah keadaan gerak tubuh seseorang, entah dalam profesi, umur, ataupun kemauan.

Intinya, kota pun menawarkan ruang untuk memperbaiki?. George coba memperbaiki kehidupannya dengan melupakan masa kejayaan filmnya. Hugo Cabret memperbaiki Jam-jam besar di Kota, begitu pula memperbaiki Automaton yang dipercaya ada pesan dari Ayahnya. Itulaah makna di mana ada sesuatu ruang dimana kita harus mencari sendiri jalan untuk memperbaikinya.  

Manusia kota pasti punya rasa asa untuk terus memperbaiki. Karena mesin waktu cepat sekali untuk merubah wajah kota dan tatannan di dalamnya. Terkadang, kota menjadikan manusia didalamnnya menjadi penonton sejati. Tubuh terhenti pada titik dimana sejenak terdiam pada karya sang seniman, entah itu mural, tugunya, ataupun jam-jam besarnya yang memaksa pandangan untuk sejenak menikmatinya. Itulah perspektif yang ditawarkan. Kota menjadikan manusia di dalamnya Penonton atau Pencipta?

Hal yang menarik dari  perspektif  itu, Hugo dan George  memandang kota hanya perlu dua kata saja “suka memperbaiki”. Misalnya, interaksi George dengan manusia kota lainnya, seperti Rene Tabard yang membawakan sebuah Film karya George mengilhaminya untuk menceritakan kisahnya, memperbaiki kehidupan masa lalunya juga.  Itulah mengapa Hugo percaya, setiap bertemu dengan manusia kota lainyya, pasti ada sebab yang membawanya.

Apakah anda juga  berada di kota? Apakah saya mengenal kalian? Lalu adakah sebab dalam ruang dan waktu yang bisa kita perbaiki? Mari kita menjadi maanusia kota yang lengkap, yang menulis, memerankan, sutradara dari tubuh imaji kita sendiri. Tentunya dengan semangat memperbaiki ala seniman George untuk mencernanya. Dan Hugo telah menyadarkannya!! Kota membutuhkan seniman.