Kamis, 18 Juli 2013



Poeze menjelaskan tujuan Tan Malaka menulis
brosur S.I Semarang and Onderwijs

"Akuilah dengan hati yang putih bersih, bahwa kamu sanggup dan mesti belajar dari orang Barat. Tapi kamu jangan jadi peniru Barat. Melainkan seorang murid dari Timur yang cerdas, suka memenuhi kemauan alam dan seterusnya dapat melebihi kepintaran guru-gurunya di Barat” (Tan Malaka)

Tiga Januari 2012 lalu saat penulis menjadi moderator pada kuliah umum yang diadakan Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM) UNJ sempat berkunjung ke Hotel Saloom, Senen, Jakarta, janjian bertemu dengan Poeze.  

Awalnya rencana diskusi itu tidak diagendakan oleh Poeze. Karena Poeze sendiri sedang sibuk melaunching bukunya yang terbaru mengenai pemberontakan Madiun.  


Panitia meminta Poeze untuk mengisi kuliah umum untuk menjelaskan sepak terjang Tan Malaka dalam dunia pendidikan di Kampus UNJ. Pustaka Kaji yang menerbitkan ulang buku “Serikat Islam Semarang dan Onderwijs”, bekerja sama dengan Poeze untuk memberikan kata pengantar.
 

Jimmy F Paat, aktivis pendidikan mengikuti diskusi
Dalam diskusi, Poeze menyatakan bahwa pemikiran pendidikan Tan Malaka dibentuk karena pengaruh dari sekolah guru di Haarlem, pengalaman dalam praktik di Deli dan Semarang, dan mungkin diskusi mengenai teori-teori pendidikan Belanda telah membentuk pemikirannya.


Di Haarlem, Tan Malaka merupakan sosok pribadi dari hindia belanda yang maju. Diakui guru-guru disana Tan Malaka sanggup mengikuti pelajaran ilmu pasti yang rata-rata guru belanda mengejek murid dari hindia belanda kebanyakan tak mampu menguasainya.


Ketika ia mendapatkan kesempatan mengajar di Deli, ia sangat senang untuk mempraktikkan keilmuannya. Ia mengajarkan anak-anak kuli kontrak. Pun Tan Malaka mendesak para pembesar untuk menggelontorkan dana bagi pendidikan mereka, agar dapat menekan efisiensi. Namun usahanya gagal dan ditolak.


Hingga akhirnya ia berkesempatan untuk mendirikan sekolah di Semarang. Di sana ia membuat brosur kecil mengenai pengembangan pemikirannya dalam pendidikan. 

Lody F Paat, dari Koalisi Pendidikan dan aktivis pendidikan di UNJ menyatakan, "Risalah ini sangat penting  untuk dijadikan referensi agar mengetahui sejarah pendidikan. Usaha Tan Malaka pun melampaui apa yang pernah dilakukan oleh Paulo Freire."

Poeze menjawab pertanyaan dari peserta diskusi




Menurut Tan Malaka, ada tiga tujuan mendirikan sekolah pada saat itu. Pertama memberi senjata cukup buat pencarian kehidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa belanda, jawa, melayu dsb), kedua memberi haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup, dengan jalan pergaulan (vereniging). Ketiga menunjukan kewajiban kelak, terhadap pada berjuta-juta kaum kromo.


Dengan adanya haluan/onderwijs  tegaslah sudah maksud mendirikan sekolah tersebut. Maksudnya adalah mencari suata macam didikan yang bisa mendatangkan faedah bagi rakyat. Menariknya ketika sekolah kekurangan guru, Tan Malaka menciptakan kursus guru di sekolah tersebut. Ia menekankan perkara guru itu penting sekali. Jangan guru keluaran kweekschool, yang tak berani memihak. Kalaupun memihak itu karena gajinya saja, bukan karena haluannya.


Jiwa pedagog Tan Malaka pun terlihat pada penyusunan Madilog. Buku itu disusun dengan menujukan semangat keilmiahan Tan Malaka. 

Ia menyusun buku itu agar mudah dimengerti, seperti halnya guru, ia ingin tulisannya dimengerti dan mudah dicerna”, kata Poeze

Sebagai penggagas awal republik ini ia dianggap sebagai Bapak Republik. Impiannya tersebut bisa dilihat dari gagasan tulisannya “De Naar Republik Indonesia”.  Namun, Tan Malaka telat mengetahui jalannya proklamasi. 

Dan ini tragis”,  menurut Poeze.

Posted on Kamis, Juli 18, 2013 by Rianto

No comments

Rabu, 10 Juli 2013




Tiga lelaki tua itu sedang berdiskusi mengenai keindahan lukisan Raden Saleh. Perdebatannya mengenai pencahayaan yang digunakan Raden Saleh dalam goresan lukisan yang menggambarkan seorang kompeni belanda menaiki kuda melintasi jalan puncak megamendung telah menarik ketiga lelaki tersebut saling berargumen. 

Sebab Raden Saleh memikirkan teknik "pencahayaan" yang menghidupkan lukisannya. Lukisan-lukisan Raden Saleh itu pernah dipamerkan di  Galeri Nasional Jakarta Juni 2012 tahun lalu. Sang Maestro lukisan modern ini dimata saya bukan hanya sebagai perintis awal seni lukis modern Indonesia. 

Ia juga seorang guru. Coba kita lihat beberapa karya sketsa/lukisannya yang dipakai untuk belajar di sekolah-sekolah didikannya. Berupa gubuk-gubuk yang berdiri seiring dengan pohon di belakang halaman ataupun depan halaman menandakan lukisan ini terasa keindonesiaannya, mengembalikan ingatan kita tentang "desa", tentang tanah airnya. 


Kita ketahui bahwa hasil karya seorang seniman bukan hanya keluar dari imajinasinya saja tapi berasal dari hirupan kehidupan masyarakat disekitarnya. Entah saya berfikir lukisan itu seperti menjadi ingatan tentang tanah airnya, tentang masyarakatnya.

Di Abad 19 garis-garis ilustrasi dari lukisannya dibuat. Perkembangan sekolah untuk pribumi yang menawarkan pelajaran "menggambar" sangatlah minim.  Karel Frederik Holle-lah (1829-1896) yang menjadikan Raden Saleh ilustrator untuk membuat  "teekenvoorboolden" yaitu contoh ilustrasi untuk mempermudah pengajaran menggambar untuk dikembangkan dan dicetak.Oleh karena itu Raden Saleh ditugaskan merancang 46 gambar berupa litografi yang terdiri dari dua versi yakni hitam putih dan berwarna.

Sayangnya sumber sejarah menyebutkan dari 120 litografi yang dicetak kini hanya tinggal 26 buah saja. Serta tersimpan di koleksi Vari Perpustakaan Nasional Jakarta. Juga diketahui belum ada inisiatif serupa untuk membuat litografi sebagai bahan pembelajaran menggambar kala itu kecuali Filipina

Di bawah ini beberapa karya dari Raden Saleh yang lainnya. Mari maknai gambar tersebut dengan teks ingatan kampung halaman serta jejak-jejaknya mu sendiri.


perbedaan cetakan berwarna dan hitam putih 























Posted on Rabu, Juli 10, 2013 by Rianto

No comments

Sabtu, 06 Juli 2013

Mengapa disaat kita melihat karya seni di sebuah galeri, museum ataupun pameran tunggal, dibutuhkan visual yang membuka mata hati untuk merenungi sejenak makna karya itu? Jawabannya memang dibutuhkan relung-relung waktu untuk sejenak menikmati, tidak  dengan cepat langsung lalu-lalang meninggalkan karya seni. Cobalah nikmati dengan renung dalam makna karya yang sedang kita lihat tersebut dengan visualisasi biasa atau dengan imajinasi dengan perlahan-lahan menimbulkan pertanyaan biasa namun kritis, apa pesan yang hendak disampaikan oleh sang seniman?

 Tidak ada media yang menarik untuk melontarkan pesan berupa kritik sosial kecuali dengan karya seni, seperti gambar-gambar, mural, atau media apa saja yang dibuat dengan kayakinan seni yang membawa kita pada sebuah keyakinan pula bahwa kritik sosial bisa dibikin dengan gaya simple namun bisa mengunggah imajinasi kita dalam kukungan ketidakadilan.

Sempat tahun lalu kalau tidak salah saya melihat pameran yang diadakan oleh mahasiswa seni rupa UNJ. Saya tertarik dengan karya yang terpampang sederhana berupa billboard yang tergambar "Si Budi" yang asik bermain kelereng. Tapi si Budi ditampilkan dengan gaya posmo dimana Budi kini bermain kelereng di Laptop alias Online.
"ini budi, budi sedang bermain kelereng secara Online", billboard itu berbicara.

Atau ada juga karya yang menggambarkan pertarungan klasik antar pendukung Persija dan Persib". Dengan Tank-tank yang dibuat seperti mainan tersebut berisi simbol The Jakmania ataupun Viking sebagai tanda baca mengurai persoalan kekerasan yang sering terjadi kala kedua suporter ini bertemu. Persis permasalahan itupun sampai sekarang masih mengembang, terkini yaitu kasus pelemparan bus pemain persib yang hendak bertanding di Stadion Gelora Bung Karno ataupun aksi sweeping plat no B di Bandung.

Mengunjungi galeri seperti ini bersiaplah kita bakal dijewer dengan persoalan yang kini menjangkiti kita sebagai manusia. Cantiknya, kita dijewer dengan visualisasi yang menggugah pikiran, perasaan seni kita untuk melihat kembali indahnya kehidupan itu sendiri untuk dimaknai dengan jalan peradaban.









Posted on Sabtu, Juli 06, 2013 by Rianto

No comments

Rabu, 03 Juli 2013


JIKA KITA PERNAH NAIK KERETA API mengintip melalui jendela menyender dan mulai berimajinasi, ternyata di sepanjang rel kereta api menyimpan sebuah kisah teks sejarah yang di mana perkembangan teknologi mampu mengantarkan sejarah bangsa yang dulu  bernama hindia belanda ke sebuah penanda peradaban. Sebelumnya sejarah kita yang tadinya timbul-tenggelam dalam pengertian “terang atau gelap” dalam imajinasi ternyata menemukan titik terangnya itu ditentukan juga pada  perkembangan ilmu pengetahuan di barat jauh sana.

Terutama teks bahasa-bahasa seperti kereta api, term-term, menara, pakaian, cermin menjadi simbol kata kunci membaca keindonesiaan kita.

Di kala hindia belanda masih berimajinasi di kereta kudanya yang rakyatnya hidup dengan sederhana dengan kaki-kaki mungil yang terbiasa bersahaja dengan tanah, menapak dengan kaki telanjangnya mengangkut barang-barang tuannya. Konon kaki-kaki telanjang itu mesti merasakan pengalihan teknologi kereta dengan roda penarik dengan kuda-kudanya sebagai simbol kemodernan.

Ilustrasi oleh Arahmaiani,
dari buku Enggineers  Of Happpy Land,
 Rudolf Mrazek
Pengetahuan di barat jauh sana  membawakan ide besar untuk membawa imajinasi pengangkut  yang lebih lebih efisien yang mampu mengangkut barang-barang tuann-nya yang terlampau banyak. Roda penarik yang tadinya gagah dengan kuda-kudanya yang dapat melaju di Jalan Raya Pos  Daendels yang terkenal itu seiring kemajuan di barat kini bakal diganti dengan laju kereta api.  Itulah mengapa perlunya trem-trem yang melaju dengan uap-uapnya perlu dibangun di tanah jawa kala itu.

Jelasnya imajinasi itu muncul tahun 1842. Seiring terbitnya artikel Kopiist (majalah pertama di hindia belanda) yang memaparkan laporan rincian biaya, kondisi penduduk, yang berkaitan dengan mewujudkan begitu eloknya kicauan kemodernan  Jawa  kalau jalur kereta uap dan dan gerbong-gerbongnya hadir guna meningkatkan produktivitas penduduknya.

Seiring itu, muncullah perintah dari Raja Nederland Williem I yang mengeluarkan dekrit kereta api yang pertama untuk Hindia belanda. Perintah itu tertulis,

…Guna memajukan transportasi produk dan benda lain dari semarang ke Kedoe, Wilayah Voorsten Landen di Jawa dan sebaliknya akan dibangun sebuah jalur rel kereta api dari besi…

Di sinilah hadir bayang-bayang imajinasi kaki-kaki telanjang pribumi bersama orang-orang eropa mulai menaiki trem-trem yang melaju di atas rel besinya itu bukan imajinasi belaka. Meski terlampau lama bayang-bayang imajinasi kemodernan itu  muncul sekitar 25 tahun setelah dekrit itu. Lama memang.

Namun, dari situ jawaban membaca modernitas dalam teks sejarah dapat ditemui dalam iring-iring teknologi yang menyelimuti kemodernan kebudayaan lampau. Jalannya bisa ditelusuri diteks-teks tertulis seperti yang dilakukan  Kartini ketika menuliskan pengalamannya naik kereta api menyembunyikan  imajinasi modernitas di jawa dimana bau jalan aspal dan uap dari kereta api menyemburkan perjalanan yang melelahkan, ditulisnya di surat-suratnya. Begitu.

Di bawah ini versi layoutan tulisan di atas. Dan ada juga puisi dari Wijhi Tukhul "Masihkah Kau Membutuhkan Perumpamaan" dari buku Para Jenderal Marah-marah edisi khusus Tempo.




Posted on Rabu, Juli 03, 2013 by Rianto

No comments

Buat saya "belajar hal-hal baru" gak ada matinya di neuron otak. Artinya saya suka tantangan. Dari belajar nulis esai, feature sampai nulis cerpen yang kadang-kadang kalo dilihat tulisannya agak meyedihkan alias parah deh. Namun, namanya belajar hal-hal baru selalu aja menemukan hal yang menarik, apalagi kalau namanya 'berkarya' menyelesaikannya bukan berarti  Finis. Mesti berlari kecil-kecil lagi untuk mendapatkan poin di garis finish baru. Kali ini saya belajar layout menggunakan aplikasi in-design.



Saya sangat tertarik melihat buletin-buletin yang mempunyai kualitas estetikanya tinggi. Mulai dari art works-nya ataupun hanya tampilan ilustrator covernya.  Sehingga saya tertarik coba bikin aja layoutan sendiri. Mulai sekarang saya jadi gandrung baca buku layout walau hasil pinjam dari temen.  Begitu pula kalau lihat koran, majalah, ataupun artikel saya jadi lebih detail mantengin gimana ini bisa seperti ini, layoutnya, grafisnya, art worksnya, ataupun ilustratornya.

Ini pertama kali pengalaman saya melayout buletin.  Contohnya ya baru ini. Untungnya ada juga hasil download-an di youtube cara layout dari Luthfi dan juga hasil nanya-nanya sama Larisa Huda, hehe, dia sensei saya loh...
Kalau sedang layout, saya terbawa suasana yang menyenangkan, seperti main game pasti berjam-jam untuk menyelesaikannya. Pun yang terpenting dalam layout ternyata adalah kemauan kita untuk melakukan tahap-tahap kreatif yaitu mulai merancang dulu proses konsep design.

Seperti yang diungkapkan oleh Surianto Rustan (2009), "Layout yang dikerjakan melalui proses dan tahapan yang benar bukan tidak mungkin akan berdampak positif pada tujuan apapun yang ingin dicapai desainer melalui karya desain yang dibuatnya"    

Posted on Rabu, Juli 03, 2013 by Rianto

No comments