JIKA KITA PERNAH NAIK KERETA API mengintip melalui jendela menyender dan mulai berimajinasi, ternyata di sepanjang rel kereta api menyimpan sebuah kisah teks sejarah yang di mana perkembangan teknologi mampu mengantarkan sejarah bangsa yang dulu  bernama hindia belanda ke sebuah penanda peradaban. Sebelumnya sejarah kita yang tadinya timbul-tenggelam dalam pengertian “terang atau gelap” dalam imajinasi ternyata menemukan titik terangnya itu ditentukan juga pada  perkembangan ilmu pengetahuan di barat jauh sana.

Terutama teks bahasa-bahasa seperti kereta api, term-term, menara, pakaian, cermin menjadi simbol kata kunci membaca keindonesiaan kita.

Di kala hindia belanda masih berimajinasi di kereta kudanya yang rakyatnya hidup dengan sederhana dengan kaki-kaki mungil yang terbiasa bersahaja dengan tanah, menapak dengan kaki telanjangnya mengangkut barang-barang tuannya. Konon kaki-kaki telanjang itu mesti merasakan pengalihan teknologi kereta dengan roda penarik dengan kuda-kudanya sebagai simbol kemodernan.

Ilustrasi oleh Arahmaiani,
dari buku Enggineers  Of Happpy Land,
 Rudolf Mrazek
Pengetahuan di barat jauh sana  membawakan ide besar untuk membawa imajinasi pengangkut  yang lebih lebih efisien yang mampu mengangkut barang-barang tuann-nya yang terlampau banyak. Roda penarik yang tadinya gagah dengan kuda-kudanya yang dapat melaju di Jalan Raya Pos  Daendels yang terkenal itu seiring kemajuan di barat kini bakal diganti dengan laju kereta api.  Itulah mengapa perlunya trem-trem yang melaju dengan uap-uapnya perlu dibangun di tanah jawa kala itu.

Jelasnya imajinasi itu muncul tahun 1842. Seiring terbitnya artikel Kopiist (majalah pertama di hindia belanda) yang memaparkan laporan rincian biaya, kondisi penduduk, yang berkaitan dengan mewujudkan begitu eloknya kicauan kemodernan  Jawa  kalau jalur kereta uap dan dan gerbong-gerbongnya hadir guna meningkatkan produktivitas penduduknya.

Seiring itu, muncullah perintah dari Raja Nederland Williem I yang mengeluarkan dekrit kereta api yang pertama untuk Hindia belanda. Perintah itu tertulis,

…Guna memajukan transportasi produk dan benda lain dari semarang ke Kedoe, Wilayah Voorsten Landen di Jawa dan sebaliknya akan dibangun sebuah jalur rel kereta api dari besi…

Di sinilah hadir bayang-bayang imajinasi kaki-kaki telanjang pribumi bersama orang-orang eropa mulai menaiki trem-trem yang melaju di atas rel besinya itu bukan imajinasi belaka. Meski terlampau lama bayang-bayang imajinasi kemodernan itu  muncul sekitar 25 tahun setelah dekrit itu. Lama memang.

Namun, dari situ jawaban membaca modernitas dalam teks sejarah dapat ditemui dalam iring-iring teknologi yang menyelimuti kemodernan kebudayaan lampau. Jalannya bisa ditelusuri diteks-teks tertulis seperti yang dilakukan  Kartini ketika menuliskan pengalamannya naik kereta api menyembunyikan  imajinasi modernitas di jawa dimana bau jalan aspal dan uap dari kereta api menyemburkan perjalanan yang melelahkan, ditulisnya di surat-suratnya. Begitu.

Di bawah ini versi layoutan tulisan di atas. Dan ada juga puisi dari Wijhi Tukhul "Masihkah Kau Membutuhkan Perumpamaan" dari buku Para Jenderal Marah-marah edisi khusus Tempo.