Senin, 23 September 2013

Sudah pasti kita mengenal sederet nama berikut: Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar, dan W.S Rendra; sebagai tokoh-tokoh besar dalam ranah kesusastraan kita. Sumbangan karya-karya mereka seharusnya ditempatkan pada ‘ruangan’ yang-semestinya, selain patut untuk sekedar diacungi jempol. Misalnya: pemberian ruang apresiasi dalam hal pengkritikan sastra. Yang bersifat secara umum, ataupun teoritis.

Upaya dalam pengarangan karya-karya oleh keempat penyair tersebut –yang berbentuk sajak– tentu memiliki sebuah “kondisi” dalam kelahirannya. Yakni bagaimana penyair menganggap dirinya di tengah lingkungan masyarakat dan buday
anya. Demikian keberadaan si sosok pengarang –yang-pribadi– ditampilkan: pada “kondisi” tersebut. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana memperlihatkan soal ”kondisi” sosok-yang-pribadi?

Inilah yang Subagio Sastrowardoyo (SS), coba untuk mengungkap penyosokan kepribadian mereka. Dalam buku serial kritik: Sosok Pribadi Dalam Sajak. Di antara ulasan-ulasannya, pernah termuat di majalah Budaya Jaya tahun 1973-1974 dan 1976. Perhatian SS terhadap empat penyair tersebut, semata-mata demi kelangsungan hayatnya. Tulisnya di pengantar buku:

“...Hanya karya sastra yang tak sanggup menarik perhatian atau yang telah terbenam di bawah debu sejarah, yang terhindar dari perlakuan penilaian...” (hlm. 8)
*
Pembahasan pertama dimulai dengan Chairil Anwar, bagaimana sosok kepenyairannya yang berorientasi pada kebudayaan sastra barat. Namun, SS takzim dengan rendah hati. Ia tulis di kalimat pembuka, “Ini bukan kecaman terhadap Chairil Anwar. Kurang keberanian dari saya untuk mengutik-utik kedudukan tokoh sastra yang kenamaan itu...” (hlm. 11)

SS menilai, pemikiran Chairil dalam menyajak bertolak dari kebudayaan yang Indonesia-Eropa, yang Pribumi-Asing, yang Timur-Barat. Sebab tak bisa dipungkiri lagi bahwa sejak kota di Indonesia –representasi dari tempat Chairil bersajak– terjajah pada zaman kolonial, ia merupakan perpaduan dua unsur budaya.

Perspektif SS tak berhenti pada “keadaan” dua budaya yang memungkinkan Chairil dapat bersajak. Secara tangkas dan penuh kejujuran, SS melihat ekspresi gerak batin dalam Chairil:
“Kematangan pengalaman bersajak penyair angkatan ’45 ini terbukti juga pada cara mengucapkan diri yang lebih padat dan langsung. Hal ini terutama kentara pada kenyataan makin hilangnya gejala perbandingan yang sekedar menjajarkan dua barang yang serupa, dengan mengucapkan yang lebih lazim dalam bentuk metafora, yang pada dasarnya menyatukan hakikat dua barang. Chairil Anwar tidak mengatakan “Aku ini seperti binatang jalang”, melainkan lebih langsung menghujam pada hakikatnya “Aku ini binatang jalang”. Dengan demikian, gaya ucapannya lebih kental.” (hlm. 38)
Di samping itu, yang-estetik dari logat Chairil, mengacu pada ke-alamsemesta-an. Gerak batinnya tersebut, terdorong oleh intuisi yang muncul dengan kehendaknya. Chairil pun bersajak dari peleburannya dengan alam semesta. Seakan ia menyatu dengan irama –alam semestanya.

Intuisi yang dengan alamiahnya muncul tersebut, akan mengalamatkan kepada Chairil; bahwa kapan ia bangkit sebagai penyair, dan kapan pula ia berakhir. Tulis di sajaknya yang dibuat pada tahun kematiannya (1949); “Yang Terampas dan Yang Luput”: ...tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.

Demikianlah Chairil, (dan teman se-angkatannya), dipengaruhi oleh budaya barat. Mereka humanisme yang universal –begitu kata SS. “Dengan meninggalkan sajak-sajak demikian pada akhir hidupnya, maka orientasi budaya Chairil yang hendak berpusat di benua Eropa telah pula berlalu beku.” (hlm. 55)

*

Sitor Situmorang. Pembahasan berlanjut untuk sastrawan ini. Menurut SS dalam esainya berjudul “Manusia Terasing di Balik Simbolisme Sitor”, sajak-sajak Sitor merepresentasikan bahwa ia adalah “manusia terasing”. Berangkat dari unsur eksistensialisme yang terlekat dalam karya-karyanya.

Dalam “Sajak Gadis Itali” misal. Pantun ini bersampir dengan “...arti dan bunyi katanya membayangkan latar belakang ketempatan dan latar belakang kejiwaan...” (hlm. 58). Yakni, suasana di teluk Napoli, Italia.

Akan tetapi, Sitor lebih mengiblat pada Perancis. Yakni ketika Sartre dan Camus bilang bahwa hidup adalah Absurd. Maka Sitor –dalam penokohan Basuki dalam Lakonnya, Jalan Mutiara– menyatakan kehilangannya terhadap kepercayaan dari, dan untuk Tuhan. Basuki menentang takdir dengan caranya bunuh diri. Kutip SS dalam lakon Jalan Mutiara:

“...jika kita sendiri tak berkuasa menolak kelahiran kita, mencegah adanya kita di dunia ini, kebebasan yang tersisa ialah mengakhirinya sendiri.” (hlm. 127)

Persoalan bunuh diri, setidaknya mengingatkan kita akan esai-esai Camus yang terhimpun dalam Le Myth de Sisyphe (Mitos Sisiphus) –yang bersoalan dengan bagaimana mengatasi Absurditas. Sepertinya, pengaruh Camus dalam penokohan Basuki-nya Sitor, menobatkan dan mempertegaskan dirinya bahwa Sitor adalah “manusia terasing”.
*
Kemudian SS membahas kepenyairan Toto Sudarto Bachtiar. Yang memperlihatkan bahwa penyair Toto berhati sabar. Yakni menerima nasib. Berangkat dari sajak “Malam Laut” yang bersuasana gagah: “...Karena laut tak pernah takluk, lautlah aku/ Karena laut tak pernah dusta, lautlah aku...”

Individualitas penyair, “...tidak berkeinginan hendak melawan serta mengubah keadaan, melainkan tinggal mencatat serta menerimanya,” –begitu SS bilang. Kesabaran Toto adalah sahaja, “...dari rangka kesadaran hidup dan dunia yang berseluk-seluk.” (hlm. 144)

Dalam situasi kesusastraan Indonesia ketika SS menulis Sosok Pribadi Dalam Sajak, sikap Toto yang sahaja telah membuatnya terpukau. Sebab ditulisnya, Toto sendiri telah merintis pencarian ilham sebagaimana ia membuka jalan perkembangan baru yang kemudian ditempuh penyair setelahnya. Semisal Ajip Rosidi, Rendra, Ramadhan K.H.
*
Sementara terakhir, Rendra terulas sebagai pribadi yang kekanak-kanakan, di balik lantang persajakannya. Demikian SS menulis dalam “Kerancuan Pribadi Rendra-Lorca”.

Banyak diurai SS, bahwa metafor-metafor yang ditempatkan Rendra dalam persajakannya, adalah dunia utopisnya.

Menurutnya, kesan yang ditujukan kepada sajak-sajak Rendra lebih banyak berperan khayal daripada angan-angan. Yang dimaksud di sini, perbedaan fancy dan imagination yang dianggap kritikus-kritikus di zaman Romantik Inggris, melihat “khayal” sebagai permainan angan-angan yang lebih ringan serta kurang sungguh-sungguh. SS menguatkan hal ini dengan mengutip apa yang dikatakan Coleridge berkenaan akan-hal-itu:

“...good sense is the body of poetics genius, fancy its drapery, motion its life, and imagination the soul that every where, and in each.” (hlm. 211)

Balada-balada Rendra yang terhimpun dalam kumpulan sajaknya yang pertama, “Ballada Orang-Orang Tercinta”, ditegaskan SS sebagai peniruan atas berbagai segi subyektif pada balada-balada Federico Garcia Lorca (1899-1936), penyair kenamaan Spanyol.

Citra Rendra terjatuh di sini, manakala SS secara cermat membandingkan karya keduanya. Tulisnya: “...Balada-balada Rendra membayangkan suasana perasaan yang sama. Rendra rupanya tidak pernah mengenal tragedi di dalam kehidupannya. Gerak jiwanya, yang tinggal pada permukaan hidup, menjaganya sehingga tidak terperosok ke dalam perasaan hidup yang murung dan sedih. Penglihatan hidupnya seperti yang ada pada anak yang tak bersalah, yang menikmati pesona dunia tanpa sadar akan bayangan-bayangan gelap yang mungkin merundung di belakang setiap pengalaman.” (hlm. 199)

Dengan penuh nada-nada satire, tulisannya (SS) ditutup, “...Rendra terlalu banyak berpulas dan berjingkrak-jingkrak di atas pentas sastra, di hadapan publik yang disangkanya terlalu dungu untuk bisa membedakan antara permukaan dan gerak-gerik yang sungguh-sungguh dan yang pura-pura.” (hlm. 212)

*
Meski demikian, Sosok Pribadi Dalam Sajak telah serta-merta berbicara yang-pribadi, yang-kritis. Pembaca patut menempatkan buku ini pada garda depan barisan literatur susastra kita. SS mencipta proses yang-kreatif: buah kritik menyoal “sosok pribadi” yang dalam sajak keempat tokoh sastra kita; yang barangkali belum pernah dipikirkan penyair se-generasinya.

Bagi pengamat sastra: yang pemula dan yang telah bergiat; pekerjaan rumah selanjutnya adalah: bagaimana kita terus menyikapi karya sastra. Dengan cara mengapresiasi. Penyair Subagio Sastrowardoyo telah membuktikan akan-hal-itu. Bagaimana kita?






Judul: Sosok Pribadi Dalam Sajak
Penulis: Subagio Sastrowardoyo
Penerbit: Pustaka Jaya
Tahun: 1980

Jakarta, 19 September 2013
*Oleh Rahmat Mustakim, terimakasih resensi koleksi buku saya ini. 

Posted on Senin, September 23, 2013 by Rianto

No comments

Jumat, 13 September 2013


Di masa sekolah tentu kita ingat dengan seremonial upacara bendera di hari senin. Di mana upacara ini menjadi kidhmat saat bendera sang merah putih dikibarkan dengan nyanyian merdu "Indonesia tanah airku.." menambah getar keindoensian.

Terlebih saat 17-an, kita semua diajak oleh guru-guru kita untuk memadati alun-alun, kembali melaksanakan upacara bendera.Uniknya kita merasa dikembalikan pada masa revolusi saat getar-getar  teks proklamasi yang dibacakan oleh Bung Karno melalui rekaman ataupun pembacaan teks oleh petugas upacara.

Namun sayangnya pemaknaan kemerdekaan itu sepintas lalu saja pada seremonial upacara. Setelah itu kita disibukan dengan bermacam-macam perlombaan. Ataupun didendangkan merdu suara biduan dangdut yang sengaja sudah disewa (oleh pejabat) untuk memeriahkan kemerdekaan. Kita pun akhirnya banyak dikecewakan dengan pidato remeh-temeh pejabat yang menjurus pada usaha politis "Pilihlah Aku di 2014."

Hilanglah sudah makna suara Bung Karno yang sepintas lalu kita dengar di upacara bendera karena redam suara biduan  dan pejabat yang gebyar dengan panggung-panggungnya. Inikah yang  disebut dengan estetisasi sebagai negara panggung telah merasuk ke pola pikir kita dalam mengungkapkan kemerdekaan dalam bingkai estetisasi yang diketahui pola pikir ini berasal dari watak dan perilaku kolonialis? Disinilah kita pun terkenal dengan negara gebyar.

Persis wacana gebyar berpesta ria ala kolonialis ini dilakukan oleh raja-raja untuk menunjukan rsa hormat terhadap VOC yang menutupi kenyataan bahwa kita terjajah teritorial. Oleh karena itu kita harus berfikir ulang mengenai semangat kemerdekaan yang dibumbui dengan estetisasi yakni memberi tampilan hias yang cantik pada pangung-pangung tapi kita kehilangan makna yang sesungguhnya mengenai kemerdekaan. Sebagai Homo luden kita berhak untuk bermain-main mengikuti perlombaan untuk memeriahkan kemerdekaan, namun kita patut pula bertanya dalam hening wacana apa dan siapa yang dibawa ini? Begitu.

Posted on Jumat, September 13, 2013 by Rianto

No comments

Sabtu, 17 Agustus 2013



MORRIEM 12 Agustus 1923, sebuah koran lokal pertama menulis sebuah artikel berita.  Tubuh gempal berbulu dada itu terkujur kaku dengan sebilah pisau di punggungnya. Berita itu menampilkan foto hitam putih sebuah mayat yang  dikerumuni semut-semut, tergeletak di seberang sungai Leris, sungai terpanjang di daerah itu yang mengalir tenang


Dituliskan di halaman depan, menjadi headline. Terkabarkan tubuh gempal itu mati seperti disiksa, tak diketahui pelakunya. Foto hitam putih itu bisa tergambar jelas, mayat bertubuh gempal itu masih menyisakan darah segar yang mengalir di kepalanya, tembus timah panas. Darah dari kepalanya menyatu dengan aliran sungai yang tenang, memerah, menyebar dan menghilang terbawa arus tenang sungai, sedangkan darah yang keluar dari hunusan pisau yang masih tertancap di punggungnya merembas menyatu dengan kemejanya. Dan semut-semut yang mengerumuninya seperti terlihat julur  lidah-lidah yang sedang bernafsu menjilat-jilat darah segar itu.


Di sekitar mayat bertubuh gempal yang terbujur kaku itu menyisakan tanda jejak-jejak kaki binatang yang diketahui jejak Harimau. Jejak itu tumpang tindih dengan jejak bersepatu yang diduga pelakunya. Persis bau kencing di tubuh gempal itu pertanda kekuasaannya sudah sampai ladang Tuan Morf. Ladang dimana tubuh gempal itu bekerja sehari-hari.


Orang-orang mengerumuni mayat itu sedari pagi seiring anjing-anjing kampung milik penjaga ladang meraum-raum tajam, tak tenang semalaman. Bahkan anjing-anjing itu tak berani mengendus mayat yang terbujur kaku, teronggok dibiarkan begitu saja. Anjing-anjing tak ada yang berani mendekati mayat itu, jelas bau air kencing menjadi tanda simbol kekuasaan  dari Harimau.  Hanya terdengar sayup-sayup suara dari obrolan –orang-orang yang datang bergumul saat itu. Mereka  mengaku kepada wartawan sebagai saksi hidup. Tidak ada yang berani menjadi saksi kematian!


Sekaligus tidak berani berasumsi siapa pembunuh si tubuh gempal itu, sebelum pemilik ladang, seorang kaya Tuan Morf datang memeriksa langsung dan melaporkan kejadian itu kepada goverment serta wartawan lokal.


Tubuh gempal yang belum busuk itu seakan-akan bau kabar burung dugaan siapa pelakunya masih menjadi misteri,  belum tercium sekitar kampung, jua sekitar pekerja ladang. Ini pertanda buruk. Serta menjadi berita tak sedap bagi sisa-sisa jago berkelahi, mereka yang  merupakan pensiunan tentara-tentara perang.  


Sehingga yang sedang berkumpul sore itu 13 Agustus  1923, mereka semua  yang sebelumnya bergumul menjadi satu dalam ketakutan, mendadak berkumpul duduk-duduk sambil bermain cekih di Rumah Tuan Morf. Mereka datang karena uang, mereka adalah pemburu para bandit, mereka di sewa dan menunggu perintah Tuan Morf untuk menyelidiki kasus ini, -tanpa pengetahuan government-. Government selalu mengambil keuntungan dari kasus seperti ini. Apalagi Tuan Morf harus membayar pajak tiap tahunnya. 


Kabar kematian? Tentunya itu pun mengandung pajak yang harus di bayar pemilik ladang seperti Tuan Morf. Tentunya itu besar.


Merebak kabar, satu nama disebut dari obrolan-obrolan yang lambat laun makin santer terdengar. Tak menyebut gelagat, tak menyebut rupa, tersebut nama seorang kakek gaek adalah penyelamat satu-satunya. Kakek itu pensiunan tentara perang juga. Kini orang sekitar ladang Tuan Morf, terutama kelompok pemburu bandit itu diterpa kesangsian. 


Diketahui kakek tua telah pikun. Terkadang ia bisa diajak bicara, tapi lebih banyak ia mengamuk tidak jelas yang terkadang teman-temannya harus membawanya, mengangkatnya dari selokan, mabuk habis kalah berjudi. Dahulu ia juga dikenal sebagai pendeta sebelum ia memutuskan untuk ikut perang. Perang telah mengambil jiwanya.


Pendeta berubah menjadi pemabuk. Identitas itu berubah semudah melepas pakaian. Tubuh berhak memakai pakaian apapun. Pakaian pendeta ataupun pakaian pemabuk sama saja. Terjebak dalam pandangan umum belaka.


Kakek tua itu sudah tidak bisa berburu Harimau lagi. Terlebih mayat tadi pagi, mayat dari anak buah si Tuan Morf yang tergeletak di pagi hari yang lalu itu tidak hanya cakaran harimau saja. Orang sekitar bertanya-tanya, mengapa kepalanya tembus oleh peluru? Sejenak bolehlah bingung mereka semua, memikirkan dengan tertib, memajukan logika ditengah ketakutan yang meruam di sekitar jantung dan adrenalinnya, bahkan di sekitar keringat-keringatnya. Merasuk dalam sel-sel otaknya memacu kemampuan berfikirnya, sebab mereka terpaksa memikirkan, Harimau ataukah peluru yang lebih berbahaya?
 

“Tunggu dulu,” jawab laki-laki kerempeng. Dengan nada cepat ia menambahkan, Kini sudah tidak bisa lagi meminta bantuannya,” sambungnya sambil melinting-linting kumisnya, yang seakan-akan di kumpulan lelaki itu telah menambah murung muka orang sekitarnya mendengar pendapat si lelaki kerempeng, ketua kelompok pemburu bandit


Laki-laki disebelahnya menyambung cepat, “Apa tidak langsung kita datangi saja rumah kakek itu. Guru Vorm pasti bisa diajak bicara.”


“Kita sudah lama berdiam diri. Apa kita sampah semua disini! Menjadi daging-daging segar yang siap disayat-sayat oleh cakar harimau gunung atau  diikat dibiarkan teronggok di tepi sungai ditembus peluru yang datang entah dari bandit atau cakar… 


“Cihh.. biar aku saja yang membujuk Guru Vorm ,” jawab laki-laki ke lima dari kelompok itu


“Ayo bergerak, tanpa si kakek tua, kita tidak bisa melawan Harimau,” jawab laki-laki kerempeng.


“Jangan lupa kau bawa minuman ini untuk Guru Vorm si kakek tak berguna itu,” salah satu teman si lelaki kerempeng mengingatkan.


“ Ayoo.. bergerak!!,” jawab serempak,laki-laki bertujuh yang sedang berbincang di rumah Tuan Morf.


Lekas tiga orang dari tujuh itu buru-buru menuju rumah si kakek. Wajah tegang sekelompok jagoan bertujuh itu terlihat nampak di wajah-wajah jagoan itu,  jelas sekali, cara mereka merokok, menyeruput kopi, atau langkah-langkah yang penuh keraguan. Di bale-bale banyak tumpahan kopi, serta sisa-sia abu rokok yang tak rapi menandakan mereka sedang gugup. Dari obrolan mereka dapat ditangkap, seakan mereka berbisik, “Kami lebih takut diterjang Harimau dibanding dengan peluru.”

Seorang lagi yang sedang tidur di rumah Tuan Morf  masih terlihat lelap di bale luar, tidur miring, tangannya masih siaga dengan pistol di pinggangnya. Kakinya mengangkang sebelah, melekuk, sesekali jatuh miring kesamping. Tanda ia tidak bisa  tidur pulas siang itu. 


GURU ELF VORM, 72 TAHUN, MANTAN PENDETA DARI GEREJA HELENIS sedang berada di rumahnya. Terdengar tapak kaki dari sepatu yang menempel tanah-tanah yang lengket dengan suara bercak air hujan yang mengubur suara jangkrik dan kodok ataupun suara ayam  yang semakin lama suara langkah bersepatu itu muncul mengubur suara itu. 


Langkah kaki bersepatu terdengar terhenti di depan pintu rumah Guru Vorm, si kakek pemabuk itu.

Guru Vorm sedang mengasah cangkulnya di dalam rumah. Sore tadi hujan memang turun, ladang-ladang siap diolahnya lagi. Tidak, kali ini ia ingin sekali berburu burung hutan untuk santapan makan malamnya. Di dalam rumahnya kalian bisa mendengar suara ayam terdengar saling bersahut-sahutan, banyak sekali peliaharannya. Ya, lelaki tua itu terkenal suka pelihara ayam. Entah untuk berjudi “adu ayam” ataupun menjualnya di pasar, ditukar dengan berkrat-krat minuman. 


Pintu rumahnya terketuk kencang.


Guru Vorm buka pintunya,” kata laki-laki itu


Guru, buka pintunya,” ia mengulangi sampai tiga kali.


Pintu terbuka, dengan cepat salah satu dari tiga laki-laki tamu itu menuju jendela, menutup- semua pintu-. 


“Apa tuan ikut dengan kami, ?” tanya lelaki itu dengan nada serius sambil meletakan botol minuman.


“Aku tahu kalian akan kesini,” jawab Guru Vorm dengan senyum sinisnya 


“Ya, Tuan Morf yang menyewa kita. Dan Tuan Morf yang membayar kita. Serta dengan hormat, Tuan Morf pula yang meminta Guru Vorm menemani kami berburu Harimau. Mencari jejak, lalu mengusir harimau itu. Tapi Sekarang kita semua, seisi kampung ini geger pula dengan ulah bandit itu, yang telah menembuskan peluru di kepala salah satu penjaga ladang Tuan Morf. Soal Bandit kami yang kan mengurusnya,” balas lelaki tersebut. 


“Aku sudah tua, dan kalian tahu aku ini yang sekarang hanya bisa mengerjakan dua hal selama pasca perang 30 tahun lalu. Harimau? Sekarang yang ku ketahui oleh penciumanku hanya bau minuman untuk menemani  mabuk dan berjudi,”  jawabnya jelas. Dengan nada lebih tinggi ia pun berucap, “Sungguh aku sendiri tidak yakin kedua kakiku ini mengijinkan untuk naik bukit-bukit dan menyeberangi sungai Leris yang sungguh lebarnya itu. Terlebih aku sendiri ketakutan dengan sisa-sia ranjau yang ditanam di tengah hutan,” jelas Guru Vorm sambil melihatkan luka bakar di kakinya. 


“Bukan hanya mematikan musuh serta melukai kakiku saja, anak harimau pun turut menjadi korban banyak yang mati terkena ranjau aktif itu. Bukankah kalian juga yang menguliti dan menjualnya kepada orang kulit putih di pasar gelap? Jadi siapa yang sebenarnya menakutkan? Mungkin Harimau ingin membalas perbuatan kita itu. Sampaikan pada Tuan Morf, maaf kali ini aku tidak bisa, tambah Guru Vorm sambil mengelap senapan angin yang sedari tadi ia usap-usap dengan kain lapnya, menyingsing spot-spot warna hitam bedil itu terasa mencolok mata yang memandangnya.


Ketiga lelaki  yang disuruh lelaki kerempeng, ketua kelompok pemburu bandit yang datang ke rumah kakek tua merasa kalah argumen, tak mampu mengajak kakek tua itu mengikuti rombongan untuk memasuki hutan atau berjaga-jaga kembali di Ladang Tuan Morf yang sejak dua hari lalu geger, sebab penjaganya mati di pinggir sungai. Apakah setiap rombongan para  pemburu bandit seperti mereka masih membutuhkan seorang kakek tua? Guru Vorm si penjudi dan pemabuk itu yang sudah lupa ayat atau doa apa yang harus diucap agar membangkitkan kembali gairah keberaniannya melawan hukum alam. Kini ia banyak mengeluh, sering mengaku  jalan sebentar saja terasa kaki-kakinya tertarik urat yang sudah tua, linu menghujam setiap sendi-sendinya, langkahnya sudah habis, yang ia tahu hanya mabuk adalah teman sehari-harinya. Ini bakal menyulitkan perjalanan, penjagaan ladang Tuan Morf akan terganggu saat ia harus ikut berpatroli.


Ketiga lelaki kembali ke kelompok tujuh pemburu bandit itu. Kini kabar yang tersisa hanya si bandit bakal meyerang malam ini.


“Lekas kita bergerak ke ladang,” ucap lelaki pertama si lelaki kerempeng. Ketua kelompok itu sedang menghisap rokoknya dengan gugup, terlihat setelah mendapat kabar dari ketiga utusannya tersebut.  

SORE SEKITAR PUKUL LIMA HUJAN TURUN. Air sungai berubah menjadi lebih merah, embun kembali turun dari lembah, lumpur menarik keatas, udara dingin menyerang kulit para pekerja yang menunggu antrian untuk melintasi jembatan penyeberangan satu-satunya menuju ladang Tuan Morf. Mereka yang berada di jembatan itu tidak pernah takut dengan hujan ataupun dinginnya udara, hanya saja bayang-bayang pembunuh penjaga ladang serta auman Harimau dari bermil-mil kejauhan hutan yang dalam menjadi begitu dekat memungkinkan ketakutan mengisi hati mereka, membuat dinginnya guyuran hujan tak segigil jantung mereka yang berdetak keras saat perbincangan mereka mengenai si tubuh gempal yang mati sehari yang lalu. Harimaulah yang membuat bertambah kencang mendorong aliran darah mereka memompa jantung lebih cepat.
 

Para pemburu bandit kelompok lelaki bertujuh sudah siap berjaga ladang, mereka berkumpul  di sebuah rumah dekat dengan pos pemeriksaan di jembatan penyeberangan itu. Dua dari mereka sedang berpatroli. Para pekerja ladang sudah banyak yang kembali ke rumah. Kecuali rasa takut, sekali lagi suara-suara takut mereka tetap berlari kencang, mereka siap berburu malam ini, tapi ketakutan sudah lebih dulu memburu hati dan jantung para penjaga ladang Tuan Morf.


“Apa yang harus kita takutkan dari bandit itu, haruskah lebih baik kita mengurus Harimau terlebih dahulu?,” tanya si lelaki ketiga saat berjaga di depan kantor pemeriksaan masuk ataupun keluar ladang Tuan Morf.


“Bodoh !!!... Harimau tidak bisa diajak bicara,” hembusan rokoknya masih saja menandakan si lelaki ke empat menunjukan kegugupannya. Rokok si lelaki ketiga jatuh. Seiring letupan selongsong peluru terdengar. Ia bergegas berlari dengan si lelaki ke empat.


Belum lama berselang suara tembakan, meletup kembali dari dalam ladang Tuan Morf.  Si lelaki  ketiga, ke empat, ke lima dan ke enam bergegas ke luar. Si ketua kelompok pemburu bandit, si lelaki kerempeng  ada di dalam, ia tidak mau ada di  dalam sekitar pos pemeriksaan saja. Buru-buru ia mengambil pistol dan tanda salib yang ia kalungkan di dilehernya. Bergegas menuju suara letupan tersebut.


Satu dari dua penjaga yang mengikuti jejak bandit itu tewas, sedangkan satu lagi terluka disekujur tubuhnya di samping dada kanannya dengan luka yang terkoyak akibat cakar dan gigitan Harimau.

Di kondisi kritisnya ia memberi kabar. 


Mereka sedang mengikuti seorang yang dicurigai bandit itu muncul dari sungai. Saat ia berteriak memanggilnya dan memberikan peringatan dengan menembakan pistol ke udara, bandit itu tenang dan kembali menyelinap ditengah pepohonan sekitar hutan dekat ladang Tuan Morf. Anehnya mereka merasa bandit itu seperti sedang berburu mengikuti jejak harimau di depannya. Jejak harimau itu menyatu dengan jejak sepatu bandit itu, sehingga penjaga itu semakin waspada. Sialnya jejak Harimau itu benar menjadi hantu yang menyerang ketakutannya.


“Dari jejak sepatu bandit ini dan jejak harimau, mana yang lebih dahulu menyerangmu?,” tanya si lelaki kerempeng itu memastikan.


“Harimau,” jelasnya.


Mereka bergegas. Rombongan pemburu bandit yang telah di sewa Tuan Morf itu menuju hutan. Sementara itu, hujan turun semakin deras. Guru Vorm sedang mencuci kaki dan sepatunya yang lengket akibat lumpur, cangkul ia senderkan dekat perapian dapur belakangnya. Halamannya luas. Guru Vorm  mengguyur air, mencuci kayu-kayu yang baru ia ambil dari hutan.


Beberapa ayam ia ambil dari kandang.


Sekilas, sinar mata dari seseorang dari kegelapan seperti mengawasi belakang rumahnya, mengawasi ayam, mengawasi jejak kakinya, tak terkecuali mengawasi detak jantung  Guru Vorm si pendeta itu dari belakang perapian dapurnya. Mata itu menyala-nyala dibalik pepohonan dan daun-daun yang menumpuk dekat kandang ayam peliharaannya. Sekali mengedip mata itu menakuti ayam-ayam yang membuat teriakan ayam-ayam itu sesekali teriak sekencang-kencangnya menghabiskan suara akibat ketakutan. Seperti itulah manusia tak lebih seperti ayam-ayam yang sudah terperangkap dalam kandang, hanya bisa berteriak, teriakan ketakutan.


Sinar mata yang mengawasi gerak Guru Vorm si pendeta dari Gereja Helenesia itu semakin awas dan memunculkan taring-taringnya saat membawa ember yang berisi daging ayam. 


Oh tidak, lalu untuk apa kayu-kayu dari hutan itu? apakah untuk membuat kandang layaknya kandang ayam yang ia ketahui sudah lapuk? 


“Tidak,” jawab Guru Vorm si pendeta itu.


Tentunya itu lebih besar, dan mata awas itu mempunyai hidung yang suka mencium bau amis cincangan daging ayam yang berember-ember yang dibawanya itu.

*



* Cerpen ini  ditulis untuk mengikuti sayembara cerpen yang diadakan LKM UNJ.

Ditulis oleh Rianto

Rawamangun 17 Agustus 2013.

Posted on Sabtu, Agustus 17, 2013 by Rianto

No comments

Jumat, 16 Agustus 2013



Kita harus berfikir ulang mengenai makna wacana keragaman kita. Sebab apa yang pernah kita pelajari dari buku-buku SD yang memuat keragaman suku, bahasa, agama yang menunjukan perbedaan identitas itu  sungguh tersimpan ancaman jika kita tak mampu mengelola identitas itu dengan benar. 

Lalu, sejak kapan kita mengenal keragaman mampu membawa wacana Indonesia yang ika? Jawabannya adalah sejak para pemuda sendirilah mengucap "berbangsa satu, berbahasa satu dan bertanah air satu" yang menjadikan teks sumpah pemuda sebagai kunci pengingat  pernah menyatunya keragaman kita.  

Kini  kita tak mampu mengelola wacana identitas keberagaman itu yang menyebabkan krisis kepercayaan atau yang dikenal dengan distrust menjadi panglima. Menjadi batu sadungan yang menyebabkan kita dimanapun saling curiga, saling memusuhi, saling menindas, saling memicingkan mata.


Akhirnya sumber krisis identitas yang ditandai dengan "keakuan" agama, suku, warna kulit semua perbedaan itu menjadi bensin yang siap membakar kita. Tercaplah sudah sebagai bangsa yang kini penuh kekerasan bukan persatuan. Lihat saja ! Konflik syiah sampang madura adalah contoh loyonya bangsa ini mengelola identitas itu . 

Dalam bahasa sederhana, bangsa ini belum mampu mengenal Orang lain yang berbeda identitas itu.  Persis yang diungkapkan Kapuscinsiki  "Aku ada karena aku bertemu dengan Orang lain". Orang lain yang beragam itu ibarat cermin, dimana menggambarkan wujud atau sikap kita sebagai bangsa yang  beradab atau tidakkah.  

Betul, berjumpa dengan Orang lain yang beragam identitas itu adalah tantangan pada abad ini. Yang harus kita renungkan dalam keragaman ini kedepan adalah bagaimana peran pemerintah mengelola keragaman identitas ini di dalam pendidikan multikultural yang sering didengungkan? Meretak atau menyatukah kita nantinya?

*Tulisan ini masuk di rubrik Poros Mahasiswa Koran Sindo 31 Juli 2013 (non edit)

Posted on Jumat, Agustus 16, 2013 by Rianto

No comments