Rabu, 05 Maret 2014





Affandi aku generasi sekarang yang ingin berjumpa, mengobrol, melihatmu melukis. Melihat lukisanmu selalu ada do’a : aku ingin mataku basah dengan goresan-goresan kuasmu yang kuat. Goresan-goresan itu, mengajakku dengan kusyu, aku ingin melihatmu langsung saat melukis. Aku melihatmu, hanya dari cerita-cerita. Aku yang dilahirkan di zaman instagram memang mudah ketika mencari foto-fotomu, lukisan-lukisanmu. Tapi aku lebih tertarik dengan lukisan kata, lukisan imajinasi kata yang berbentuk huruf-huruf kehidupanmu. Lalu jadi cerita. Hebat, aku bisa membayangmu dari kata dan cerita.

Dalam buku Sudjojono dan Aku. Mia Bustam sering kali menyebutmu, menceritakanmu. Aku terharu ketika hidupmu penuh dengan kisah-kisah hebat. Dalam LKS ataupun buku paket saat sekolah aku hanya dapat sedikit sekali kata. LKS dan buku paket miskin kisahmu.

Saat aku sendiri di kamar, meratapi hidupku. Aku malah menjelajahi, meniduri kembali majalah horison lawas yang aku beli bersama (Alm) temanku Goher. Aku menginap di rumahnya (Cengkareng), bercerita mengenai skripsi, cita-cita, hidup, pacar dan lain2. Kadang-kadang dia meledekku karena aku tidak berani berkata-kata dengan perempuan. Aku bersyukur dan berdoa untukmu di sana. Kawan, aku ingin menjadi master dan monster kata-kata!

Dari toko buku Delawas yang kau tunjukan itu, aku membeli majalah Horison (1985)  yang jelek lusuh itu hanya lima ribu rupiah. Duh, aku menghabiskan uang hamipr seratus ribu. Kau bingung. Aku banyak membeli buku. Tapi buku-buku bukan untuk kuliah. Bukan untuk skripsi. Sampai sekarang aku terlunta-lunta. Cedera kata untuk menulis skripsi. Curhat.

 
Dari majalah Horison itu aku berkenalan dengan Affandi. Kusnadi menulis tentang Affandi. Kusnadi mengatakan Affandi adalah Tokoh Pembaharu Seni Lukis Indonesia. Sial.. kakek ini orang hebat.  Affandi pelukis yang mulai berkiprah sejak tahun 1936. Dari permulaan itu saja Affandi sudah sangar dengan lukisan-lukisannya.

Affandi cerdas dalam anatomi tubuh saat melukis (lihat lukisan Ibu). Uh, aku ingin seperti Affandi. Bisa melukis istrinya yang tercinta Maryati, melukis anaknya Kartika. Tapi aku sedih, aku hanya bisa melukis dengan kata-kata, Juga aku ingin bilang untuk istriku kelak, aku ingin melukismu dengan kata-kata! Afandi melukis, aku juga melukis. 

Kusnadi menilai, teknik naturalistis Affandi dikuasai bukan dari secara formal. Kusnadi menulis, “bukanlah dari belajar secara formal , tapi oleh kelihaian pernah menyelinap “menajdi model” dalam studio pelukis Belanda tahun 30-an di Bandung, sehingga mampu mengintip  cara studi melukis model”. Kisah itu berdasarkan cerita dari Popo Iskandar.

Affandi seorang pengagum Michael Anggelo dan Van Gogh ini bisa jadi contoh buatku untuk pandai menyelinap. Menyelinap kata, menyelinap makna agar mempunyai goresan-goresan hidup yang tak melulu diajarkan dari yang FORMAL (Sekolah). Sekolah yang formal-formal itu justru bukan menyelinapkan ilmu. Kadang-kadang, diam—diam hanya melenyapkan pengetahuan.

Merinding melihat lukisan Affandi berjudul “Pengemis”. Dalam karya cat air ini Affandi mengajarkan kita untuk jangan ragu-ragu. Karya yang terdiri dari tiga lembaran kertas ini menggambarkan dengan apik, cerdas, hebat, bertutur. Kusnadi menulis, 

“Sejak ia nampak datang dari kejauhan, sampai diam berdiri meminta uang; kemudian pergi setelah menerima sesuatu ataupun tidak.”

Salah satu karya masterpiece Affandi ini seperti hidup. Aku menjadi membayangkan lukisan ini seperti hidup, seperti bergerak. Sayang, aku ingin melihat langsung lukisan ini. Karya yang harus aku lihat selama kita hidup.

Suatu saat nanti aku akan ingin bilang pada kamu, aku pasti mampu melihat semua lukisan-lukisan Affandi secara langsung bersamamu. Menulis terus tentang Affandi. Melukis Affandi melalui kata menjadi kerja menantang untukku. Mengkoleksi kisah Affandi di mana saja. Di majalah, di koran, di buku, bahkan di sebuah percakapan sunyi sekalipun. Aku gali itu.  Ah, aku menulismu sedikit sekali. Affandi, aku berdoa dari sini : Aku melukismu huruf-demi huruf, kata-demi kata. Dari situ aku menghargaimu melalui kata-kata.  Semoga yang membaca, kamu sudi berbagi kisah tentang keringnya aku tentang kisah-kisah hebat lainnya tentang Affandi. Lalu sudi memberikan aku kata, kisah, buku yang melukis kisah hidup Affandi. Amin.



Posted on Rabu, Maret 05, 2014 by Rianto

No comments

Selasa, 04 Maret 2014

Koran Sindo Selasa, 4 Maret 2014
Guru mesti bermimpi punya banyak buku. Guru mesti punya perpustakaan pribadi. Dari buku guru banyak cerita. Berbagi cerita bacan buku dapat membuat imajinasi anak berkelana bebas. Guru berumah buku jarang ditemukan di abad 21 ini. Guru sibuk dengan rpp dan silabus. Guru sudah jarang membaca buku.

Kita mengerti guru adalah pembentuk jiwa murid. Jiwa murid dikembangkan dari imajinasi kata dari buku-buku. Murid tentunya menanti guru yang punya banyak cerita dari buku. Kegiatan saling berbagi cerita dan saling pinjam buku adalah perbuatan suci selain mengerjakan tugas sekolah.

Berdiskusi mengenai buku jarang dilakukan oleh guru kita. Sebab sekolah berubah menjadi penjara imajinasi dan buku-buku. Mirisnya, guru-guru abad 21 enggan membeli buku saat gajian. Guru abad 21 lebih memilih mobil dan motor ketimbang buku.

 Di zaman yang serba berkecepatan tinggi, guru-guru mesti menghadapi murid zaman internet. Guru tak berbuku tapi murid berinternet. Guru abad 21 mesti menambah kecepatan dengan berbuku. Kecepatan literasi guru dalam mengembangkan imajinasi anak murid haruslah dari buku-ke buku. Kita percaya internet belum bisa mengalahkan buku sebagai cetak biru pengetahuan.

Kita selalu menanti guru abad 21 yang rajin membeli buku dan mengembangkan perpustakaan. Kita lebih kagum dengan guru berumah buku dibandingkan dengan guru bermobil dan bermotor. Profesi guru bukan hanya sibuk metode belajar dan evaluasi pelajaran. Guru juga mesti sibuk hidup berbuku dan mengurus perpustakaan di rumah. Guru mesti memperindah rumah dengan buku-buku dibandingkan dengan memadati rumah dengan barang elektronik.  

Jarang sudah kita temui murid-murid bermain ke rumah guru menemukan guru yang berbuku. Kasihan, murid hanya berbekal buku paket yang isinya hanya ringkasan-ringkasan pengetahuan. Guru tak berbuku murid bebal. Maka guru tak berbuku mengamini bebalisme dalam pendidikan.

Pernahkah guru-guru saat liburan mengajak murid-murid untuk berkunjung ke toko buku dan mengobrol buku-buku dengan pedagang buku? Inilah apa yang disebut dengan hubungan interaksi guru dan murid dijalin melalui benang tenunan literasi. Sayangnya, guru abad 21 lebih memlilih berlibur dengan murid-murid menjadi pelancong ke tempat wisata. Lalu sibuk potrat-potret diri dan dibekukan di album sekolah, twitter dan instagram.


Kita selalu menanti Guru abad 21 menjadi guru yang berumah buku. Guru seperti ini apa yang diungkap Romo Mudji Sutrisno sebagai guru kebudayaan. Yakni guru yang dengan sabar berimjinasi dengan proses menenun melalui jalan literasi. Guru yang selalu merajut melalui kata dan pengetahuan. Guru yang tidak hanya mengajak berkeliling borobudur tapi juga dengan sudi berkisah dan hayat menghayati kemegahan borobudur. Guru abad 21 harus menjadi pemahat kata-kata, sebab dari situlah murid yang berupa batu kasar menjadi batu yang berbentuk dan indah. Guru abad 21 maukah kalian berumah buku? Semoga saja…

Tulisan ini masuk di rubrik poros mahasiswa Koran Sindo 4/3/2014. (Tulisan tanpa edit)

Posted on Selasa, Maret 04, 2014 by Rianto

No comments

Senin, 03 Maret 2014




Bekasi menjadi duka bagi pejalan kaki. Seperti keong jang merangkak pelan-pelan tak pernah berlari kami melintas lampu-lampu kota menuju Stasiun Bekasi. Komuter, gerak kalian begitu cepat. Adegan larimu kenapa begitu terburu? Aku jarang merasakan seperti orang-orang jang beradu cepat mendapat tiket kereta seperti kalian. 

Ah sial.. Aku salah mengantri. Aku tidak mengerti betul tentang naik kereta. Biarlah lama mengantri, asalkan aku kembali menginjak di tanah Jakarta.  Jakarta aku begitu kembali rindu dengannja.  Padahal, jika  sudah dikereta tidak perlu limabelas menit aku sudah dapat memelukmu lagi. Sajang, aku betul-betul rindu padamu. 

Menungu, Jakarta membuat aku terus menunggu. Di peron itu penuh orang-orang jang bermuka lesu. Oh tidak, sebegitu sendukah. Aku jadi teringat ibu jang mengendong anaknja menghampiriku. Ia tidak mau mengantri, karena mengendong anaknja itu.  

Dengan wajah sendu dan capek, si Ibu menghampiriku dan berkata, “Mas, aku bisa menitip tiket?” 

Aku pun menjawab, “Oh ja bisa, “ kataku, “Ibu disampingku sadja,” jawabku lagi.

 Mungkin orang-orang sekitar ada jang kesal atau ada juga jang memaklumi kalau si ibu itu mengantri didekatku. Boam deh, itu keputusanku.

Ketika aku tanja, ternjata si ibu pulang ke Bogor. Menaiki comuter line malam ini, ia pun selalu melihat jam tangannja jang berwarna perak itu dan berkata, “Biasanja sampai jam sebelas malam mas baru di Bogor”. Si ibu mengatakan itu dengan sendu. Ternjata si ibu hanja melintas Jakarta. Sedangkan aku akan dikeloni Jakarta malam ini. Kepelukan hangatan kota itu.

Semakin malam, orang-orang begitu semakin tampak sendu. Ada juga jang bergembira, ketika suara dari speaker mengatakan kereta baru tiba Jatinegara. Aku belum bisa menghitung lama atau tidaknja. Di peron itu wajah-wajah orang-orang jang begitu capek dan lelah sehabis menghadapi ganasnja kota menjadi kartu as untuk membaca wajah kota. 

Orang-orang  itu begitu lucu. Mengapa mereka tidak ada jang membawa tombak, pistol, ataupun granat untuk melawan monster jang bernama kota? Oh aku baru mengerti wajah ketakutan kota bisa diredam dengan telepon genggam. Aku jadi berterimakasih bagi penemu telepon genggam, kamu menyelamatkan wajah-wajah sendu itu. Penjelamat dari ketakutan akan kota.

Aku hanja bisa membuka buku dan  mencari pelampiasan kata. As Laksana mendongengiku. Bukunja “Murjangkung cinta yang dungu dan  hantu-hantu” menjadi kekasih kata. Ciuman kata-kata dan tutur kalimat dongeng AS laksana membiusku dalam lamunan kegelisahanku akan wajah kota.  Ia mengajariku tentang “Teknik Mendapatkan Cinta Sejati”.  Kalimat pertamanja menggugahku,

“Jika harus membenci orang yang sangat kau cintai apa yang kau lakukan?” 

Aku pun menutup buku itu. Kereta berjalan dengan begitu santai. Aku pernah membenci kota. Dan berkali-kali aku jatuh cinta kembali padanja.

Mungkin aku menjawabnja seperti ini

Untungnya kereta tidak penuh. Orang-orang bisa menghibur dirinja. Mengobrol, merapikan barang, memomong anaknya, bermain telepon genggam,. Ada juga jang tidur ayam melepas lelah. Dan aku menjadi mata jang tak tidur memperhatikan mereka dan suara-suara dari entah mana asalnja memberitahukan telingaku, “Stasiun Cakung,” begitu teriaknja. Aku mengajak temanku untuk turun di Stasiun Buaran berharap metromini 47 masih ada.

Kami turun dari kereta.

Sajangku, aku sebetulnja agak lelah. Kenapa engkau tak menjemputku dengan metromini itu. Kali ini engkau membuat aku harus menunggu kendaraan mana lagi jang bisa mengantarku ke kampus. Sajang, aku tidak mau naik taksi,  ja aku berhitung mungkin ada jang lebih murah. Ah, aku membacamu secara ekonomi lagi. 

Kamu tahu, kami coba menaiki bajaj. Tapi harga tidak sesuai dan tak ada kata sepakat. Urung niat kami naik bajaj. Berharap transjakarta datang menjemput kami. Kami pun jalan menuju shelter terdekat. Kucing meraung-raung di sekitar pohon bambu menjadi lonceng. Tanda ada pejalan kaki memasuki sarangnja. Aku mengusik.

Kota selalu menjadi keajaiban dan keberuntungan. Angkot merah 25 menjemputku sajang. Engkau begitu baik. Sekali lagi aku bersjukur, mungkin engkau sengaja membawakannja bagiku sebagai kejutan. Angkot merah menjadi ruang kota tersempit saat tubuhku memasukinja. Kami berpadat-padatan dengan penumpang lain. Kepadatan ada di angkot juga. 

Jakarta begitu angkuh. Malam-malam seperti ini engkau menutup diri. Di ruang kecil angkot itu kami juga dihampiri pengamen kecil menjanji pop. Gila pikirku, diam-diam engkau menghadirkan pemusik cilik itu untuk menghibur wajah-wajah sendu di angkot itu. Tak ada dialog diangkot. Mal tutup. Ada pedagang pasar malam jang masih melek menjual baju-bajunja.

Jakarta, engkau bersolek diri sebenarnya untuk siapa? Gedung-gedungmu tidak pernah menghiburku. Barangkali aku hanja benci dengan keramaian. Makanja jarang sekali aku keluar rumah. Muncul pertanjaan dariku. Bagiku Rendra  juga pernah bertanja dan berkata,”Membangun untuk apa...?” Majalah Basis Djanuari 1971 dengan cover jang  memampang foto Rendra muda itu menjadi sarapan kataku di hari ini. 

Kota tidak pernah membiarkan orang-orang berlari untuk finish. Kecepatan kendaraan begitu cerewet memanjakan orang-orang untuk beradu lari. Tetap saja kota sudah bosan dengan kecepatan orang-orang dengan keangkuhan  slogan pembangunanja. Tetap sadja orang-orang itu  lambat, pelan, mengalun rendah. 

Kota selalu menuntut kita merubah kecepatan. Justru saat kita mencoba merubah kecepatan sebetulnja kita semakin melambat dan semakin lambat.  Rudolf Blum (1971)  dalam tulisannja Pengertian Mengenai perubahan Sosio Kultural menghentak dengan uraian problem kelambatan budaya.
“Rupanja problim manusia jang sesungguhnja,” katanja,  “Ialah soal menjesuaikan pola-pola pikiran dan kelakuannja dengan taraf tertentu dalam perkembangan tehnik.”

Manusia selalu bermimpi menjadi jang super cepat. Padahal pikiran-pikiran manusia selalu terlambat. Kota sudah berlari sekian mil. Tapi dengan pikiran kita berfikir angkuh, begitu tak tertundukan.. Kita terus mengejar angan-angan dengan pembangunan. Manusia mesti berfikir alternatip. Orang-orang jarang jang beradu cepat memaknai kota dengan pikiran alternatip. 

Kita mesti urakan. Persis jang Rendra katakan sebagai alternatip kaum  urakan sebagai perlawanan budaya kota jang memuja kecepatan itu. Kita mesti menjadi urakan untuk melawan keangkuhan kota.  Karena kota selalu mencengkeram untuk mengamini kebudayaan mapan sebagai simbol membaca kota jang ideal. Menjadi urakan berarti kita, “membangun moral baru atas dasar keinsjafan baru. Dan itupun tidak terlepas dari tradisi, melainkan sesuai dengan tradisi jang sednag berkembang, dan dengan mata terbuka.”

Larik do’a menjadi orang kota adalah menjadi jang mapan. Akhirnja Kita menjadi individu jang  tidak boleh berdialog dengan kota. Dengan sesama kita mesti harus cepat berlari dan terkadang saling menjegal. Kota tidak mengharapkan keong-keong. Lemah dan lambat.

Terminal Rawamangun menjadi pemberhentian angkot kami.


Wajah kota masih sadja sepi. Kami berjalan menuju kampus. Aku bersyukur,  masih mempunjai kaki untuk dikendarai. Para pekerja bersih-bersih mobil masih beraktivitas.Televisi dan sepakbola menjadi hiburan mereka. aku melihat wajah-wajah kota begitu terhibur dengan televisi.  Dan lampu-lampu dari tukang nasi goreng mengingatkan kami untuk makan. Perutku seperti ada monster. Kota melanggengkan monster-monster itu terus mengintai siapa saja. Di kegelapan sekalipun.

Posted on Senin, Maret 03, 2014 by Rianto

No comments

Sabtu, 01 Maret 2014


kelonan
Untuk Pelukis Uban,

Kalau saja lukisan diibaratkan sebuah bangunan yang tersusun dari kata lalu membentuk sebuah puisi; aku belum bisa tunjukan padamu puisi mana yang mesti digubah sebagai prolog. Mengawini lukisan dengan keindahan kata rupa puisi mestinya bisa saja menjadi jelmaan goresan makna, lalu mengajakmu berkata-kata, mempunyai rupakah lukisanmu itu? Aduh, aku tidak punya puisi itu.

Beberapa waktu lalu sempat majalah Playboy masuk ke dalam pikiranku. Ada seorang seniman lukisan yang aku lupakan dalam ingatan namanya itu, pernah menulis esai yang menurutku bisa saja dikatakan sebagai syahadat lukisan. Begitu lucu dan mungil sekali syahadat berbentuk amarahnya itu. Jika orang-orang menganggap lukisan dibaca secara ekonomi (baca uang) menjadi gambaran kuasa akan lukisan bagus, yang indah, yang paling estetik. Yang pertama terluka adalah sang pelukis itu sendiri. Kita yang menikmati pun terluka, lebih dari ironi, itulah tragedi. Mengerikan.

Radhar Panca Dahana sempat ngomel keras dalam tulisannya “Pasar Palsu Seni Rupa Indonesia” (Dalam Sebotol Coklat Cair, Koekoesan 2008), mengutip kecemasan Ivan Sagito saat lukisan lembunya tembus 800 juta. Ini ironi, sebab kata Radhar pasar bikin pelukis jadi teralienasi. Simbiosa mutualistik antara pelukis, lukisan dan apa yang dilukiskannya terpecah, termarginal, eh saling cemburu antara ketiganya. Saat itulah  seni menulis obituarinya. Semoga pelukis uban menggendong dan berburu tafsiran Radhar itu.

Terlepas dari syahadat itu, kegiatan berseni lukismu mewarnai kampus kita yang semakin ramai oleh motor-motor. Dan melihat lukisan-lukisanmu yang lalu lalang seperti sepeda motor merayu  imajinasi yang mengetuk mataku yang begitu mengantuk sebetulnya kalau melihat lukisanmu yang Mooi Indie. Sebab bukankah kita pernah mengobrol tentang apa itu Mooi Indie. Kita tidak pernah masuk dalam artian secara politik loh. Itu lukisanmu, bukan politik, bukan debat  realisme.

Kita ingin selalu menggali dan membongkar lagi perasaan mengenai keindahan. Jika kita jalan-jalan naik kereta misalnya. Mengapa dalam hati kecil dan hati yang begitu sejuk, tentram, jiwa kota kita ingin mengatakan:

 “Loh itu sawah bagus ya,” begitu dalam hati berbicara, “Wah, itu bocah main sepak bola tanpa alas kaki di pinggir rel begitu apik dan realis sekali jika dibuat lukisan,” tambah hati kita.

 Ada kata yang ingin kita ucapkan. Menggebu begitu deras seperti kita bertemu dengan cinta pertama. Selalu ada kerinduan untuk mengatakan dan mengecup bibirnya yang estetik. Itulah yang indah, yang tersentuh yang dirasa. Mengapa saat kita menjelajah dalam komputer minta bantuan syeikh goggle. Coba kliklah dengan kata kunci wanita cantik, apakah kamu setuju kalau wanita-wanita yang diciptakan secara acak oleh Syeikh google itu yang indah-yang estetik. Keindahan tidak selalu mirip seperti anak perawan, selalu dikamar, menunggu untuk dipilih. Kecantikannya menunggu untuk disodorkan bagi yang berduit.Aduh Syeikh Google ini bukan zaman Siti Nurbaya lagi!

Melihat lukisan itu

Lukisan itu terpampang sudah lebih sebulan di ruangan kecil tiga kosong lima  menjadi ruang berbeda. Sebab apapun bentuk gambar, kemunculan rupa lukisan entah itu hanya warna yang tidak berbentuk yang mengugah imajinatif saja pun dapat kita katakan sebetulnya ada yang berbeda, mata begitu dimanjakan jika kita menyukai lukisan. Sebab Pelukis Uban sebagai aktor sekaligus sutradara dalam drama lukisannya. Kalau begitu, sebetulnya Pelukis Uban adalah subjek utama untuk kita bertanya mengapa ini kok dilukis begini? Kenapa kok ini lukisan yang katanya penyanyi terkenal dari barat itu, saat kita mengenal dan mengenang rupanya secara hebat karena mempengaruhi  imaginasi semua orang. Kini seolah-olah rupa itu menjadi sebuah olok-olok,

“Wah inikan mirip temanmu? Bukan Jhon Lenon,” begitu ungkapnya.

Pertama, ungkapan itu justru bukanlah olok-olok. Tapi bentuk apresiasi secara langsung menunjukan permainan goresanmu dalam lukisan itu begitu (tidak) khusyuk mengenai kedetailan. Terkadang orang-orang suka dengan kedeatilan. Sebab Pelukis Uban sendirilah yang menginginkan itu. Menghindar dari kedetailan. Mirip tidak mirip.

how are you today
Kedua, katanya Pelukis Uban justru mengolok-olok realitas ornag-orang sekarang. Saat Pelukis Uban mendongeng bahwa lukisannya untuk mengolok-olok realitas. Seperti kata yang banyak muncul dan kadang-kadang ingin kita maki, tetapi terkadang-kadang kita juga cekikikan sendiri, terhibur melihat itu kata, “Piye Kabare, Penak Zamanku Toh”. Halloo, apa kabar kamu hari ini? Masihkah orang-orang hari ini rindu dengan si Piye Kabare itu, yang dihujat selalu, tetapi diam-diam ada orang-orang-orang yang ingin kembali ke masa lalu dan memujanya sampai mati. Pelukis Uban ingin berkata seperti itu. Namun apalah daya bung, orang-orang tidak bisa menafsir itu dengan berbekal ,“how are you today”. Biarlah imajinasi liar bermain-main sendiri, menafsir semaunya.

Kita bisa belajar dan berdialog dengan Kusnadi dalam tulisannya di Horison (1986) menangkap mantap lukisan “Ibuku” (1940) Affandi sebagai masterpiece yang unik. Menurut Kusnadi, Affandi bukan hanya mengungkapkan keahlian menangkap wajah secara fisik/anatomis sempurna. Pun mampu menperlihatkan kecenderungan pribadi seniman yang sangat memperhatikan segi perwatakan atau karakter daripada model. Memandang mimik wajah ibu dan melihat tangannya kita begitu menjadi makhluk yang bersedih hati melihat itu gambar.

Dalam buku yang  berisi tulisan-tulisan Sudjojono yang aku berikan pada Pelukis Uban. Bicaralah, katakanlah bahwa Sudjojono yang kita kenang melalui tulisan-tulisan hebat itu yang kita sempat obrolkan; begitu garang mengenai lukisan mooi indie dan realitas. Saat Sudjojono melukis kata mengenai biografi singkat Van Googh bukankah ada obrolan antara pelukis Van Gogh dan temannya yang penyair itu. Bagaimana mereka ngobrol begitu seru tentang apa yang Van Gogh lukis, dan apa yang digambarkan penyair itu melalui puisi mengenai seorang wanita?

cerita dari desa
Ya kita bukan bicara mengenai ini mirip ini, atau mirip itu. Atau malah ini tidak mirip apapun. Namun, lukisan berbicara bukan hanya karena goresan kuas, tapi goresan kejujuran mata dari sang pelukis, begitu kita memahatnya lewat kuas. Kita meratapi itu dengan sedikit  berkata, “Wah ini harusnya anatomi tangannya gak gini, gak gitu”. Lukisan kelak berapi-api jika ia berbicara realitas.

Aih, ini bukan propaganda loh. Karena kita hidup di sejarah zaman politik yang lucu. Berbicara realitas mesti dikait-kaitkan dengan ideologi X lagi! Bukan itu. Mata mesti jujur. Mungkin itulah apa yang mau diungkap Sudjojono mengenai jiwa ketok. Pelukis berjiwa ketok.  Sudjojono dalam mengajar lukisan tidak pernah mengajarkan perspektif. Mia Bustam dalam bukunya Sudjojono dan Aku (ISAI,2013) mengungkapkan Mas Djon itu cuma bilang, “gunakan matamu baik-baik”. Sudjojono mungkin akan menangis jika Pelukis Uban dalam melukis hanya meniru-niru saja, tidak punya minyak rambut untuk bergaya semaumu. Kerja melukis bukan untuk menciptakan Sudjojono-Sudjono atau Affandi-Affandi baru. Tapi bermuncullah dari dalam sarung, dari kelambu, dari popok, pelukis-pelukis yang mempunyai gairah baru.

 Apresiasi

Melihat lukisan berwarna dari Pelukis Uban membuatku terkenang akan imajinasi lucu ketika proses lukisan itu dibuatnya. Bisa saja kita membayangkan, Pelukis Uban begitu sibuk mencari pinjaman untuk membeli cat, kuas, dan kanvas. Sibuk mengurus kuliah yang tak beres. Membayangkan suara orkestra lagu-lagu barat sampai dangdut mengalun menghampiri memori saat melukis yang keluar dari hape bututnya. Lebih riskan dan lirih, kalau sambil melukis tidak hanya lagu efek rumah kaca yang ia putar tapi juga lagu panas dalam cowboy kampus mengalun mengeluh rendah minta didengarkan oleh telinganya. Sehingga meresap dalam kuas-kuasnya.

Lalu saat lukisan jadi. Banyak orang-orang bilang ini bagus, ini tidak. Orang-orang yang berkata ini bagus, ini tidak membuatku membayang mereka itu sebetulnya warga dari mana. Kampung sebelah? Anak gang? Atau anak kompleks? Bentuk Apresiasikah?

Ingat lukisan, ingat pelukis Mandra. Dalam salah satu tulisannya Umar Kayam pernah menulis secara bagus mengenai kehidupan pelukis Mandra di Bali. Umar Kayam, menulis sebuah kitcsh dalam lukisan. Untuk membongkar pikiran palsu kita tentang pujian dan apresiasi usang.
Pelukis Uban, gue mau dong ini di pajang
di kamar gue, hehe..

Umar Kayam mencontohkan Pelukis Mandra di Bali, cara untuk memuji tanpa kitsch. Melukis sebuah pemandangan, ada yang heran ada yang tidak. Mandra sengaja lukisan yang ia buat dipajang di luar agar orang-orang kampung; anak, orang tua, tetangga sebelah melihat itu. Dan orang-orang di sekitarnya itu anak dan orang tua yang tetangganya itu, lewat sambil bilang, “beuh, beuh, beuh”. Dari ucapan, “beuh-beuh, beuh,beuh,” sambil mengangkat jempol ataupun tidak, menunjukan Mandra pelukis hebat. Itu cara lugu apresiasi masyarakat di kampungnya yang terbiasa  dengan lukisan-lukisan Mandra. Ada kedekatan Mandra dan masyarakatnya itu. Tidak ada pujian palsu dan jempol palsu.

Jadi aku juga membayangkan saat lukisanmu itu dipajang di ruang tiga kosong lima maupun di pajang di Museum Bank Mandiri di Kota saat itu. Orang-orang yang sengaja melihat, datang, menuju museum bank Mandiri melihat lukisan mu itu, adalah orang-orang yang kesepian akan wajah-wajah desa, wajah-wajah pemandangan, bahkan diam-diam rindu, kangen menyibak wajah-wajah negativitas.

Ada gerak tubuh yang secara kosmologis ingin kita bongkar mengapa mereka meluangkan waktu untuk melihat lukisan ataupun apapun yang dipajang dalam apresiasi itu? Persis yang Umar Kayam tanyakan pula mengenai apresiasi orang-orang kota itu, kitcsh atau bukan.
  
Jika aku melihat lukisan dari pelukis uban berjudul “Cerita dari Desa”, jika aku bilang, “beuh-beuh, ini bagus” aku takut terjebak apa yang disebut dengan kitch itu. Pemandangan bocah bermain dipinggir sawah/ladang itu. Eh aku salah tafsir, itu kata Pelukis Uban gambar anak-anak yang bermain di rel kereta. Gambaran itu memang menjelma sebuah kerinduan aku sendiri.  Saat aku tak bisa memungkiri rasa kerinduan akan rumahku sendiri. Aku menjadi begitu terharu, rindu, dan ingin berjalan-jalan lagi di sawah ataupun bermain direl-rel kereta seperti itu. Kota mencaplok imajinasiku mengenai sawah,.rel kereta, menculik pemandangan itu. Betul aku saat ini bisa saja balik ke kampung  bermain di sawah ataupun bermain-main lagi di rel kereta untuk menaruh paku di rel kereta dan menjadikannya pisau kecil lagi bersama bocah-bocah di memoriku. Tapi itu tidak bisa dibeli begitu saja.

gundik
Mungkin inilah aku menjawab teks lukisan uban melalui perjalanan imajinasiku sendiri. Memori desa seperti hilang. Pun yang ada hanya imajinasi angkuh kota-kota. Jakarta ada dimana-mana. Di pikirian, di selokan, di ketiak, di kutang, dan di spanduk-spanduk caleg beraroma kota, bergairah Jakarta. Kerinduan kita begitu tidak tertahan akan wajah-wajah desa.

Melihat lukisan pelukis uban berjudul kelonan pertama, membuat kita kembali pada ingatan-ingatan untuk ikut terlibat apa betul kita bisa memaknai lukisan Pelukis Uban menjadi gerak kosmologis tubuh kecil yang pernah dikeloni seperti itu juga? Warna-warni imajinasi Pelukis Uban menjadikan mata kita memang menyukai yang warna daripada yang redup. Jiwa kita suka yang warna daripada yang redup itu. Kosmologi tubuh kita jadi terlibat dalam kelonan warna itu.

Sebagai epilog dalam tulisan picisan ini, lukisan “Gundik” dari pelukis uban menjadi kutipan dahsyat dari makna kita yang sudah membaca tulisan-tulisan Sudjojono mengenai realitas dalam lukisan. Cerdas, gundik dilukis gak berdada besar dan montok kan? Hehe, seperti Sudjojono mengambar perut gembrot ya gembrot.

Bicara gundik aku teringat akan buku Dolly (1983) karangan Tahjo Purnomo yang diperindah oleh Ashadi Siregar. Mungkin dengan diskusi buku itu agar kita banyak mengobrol dan mengerti tentang kosmologi tubuh perempuan-perempuan itu. Biarlah gambaran perempuan-perempuan yang sering kita negativitaskan dengan bermacam-macam merek seperti gundik, pelacur, toh Pelukis Uban coba melukiskan, menggambarkan ada sisi kemanusiaan yang tidak bisa kita elak: keelokan tubuh perempuan adalah kemanusian itu sendiri. Bukan sampah.


Lukisanmu adalah perempuan. Kita tidak memperolok-olok secara membabi tuli. Kita mesti mendengar, ada suara-suara dari lukisanmu berwajah cerah seperti wanita-wanita pemanggul beban itu. Memanggil kita dengan genit untuk digambar, kita lukis, kita tulis, kita puisikan dengan sejuk dengan mataku, dengan matamu. Plotinos menanggap yang estetik, keindahan itu kembali lagi ke mata kita masing-masing. Boleh jugalah, kacamataku, kacamatamu. Begitu.  

* bentuk apresiasiku untuk Pelukis Uban
Oleh Rianto, Pemahat Kata, bercita-cita menjadi pengepul buku-buku berbau lukisan. 

Posted on Sabtu, Maret 01, 2014 by Rianto

No comments

Jakarta, aku ingin membenci kamu sayang. Siang tadi tubuhku mengajak aku malas, tidur-tiduran. Akibat malam bergadang dan main futsal. Dirimu tak mengerti aku sayang. Kemacetan kau hadiahkan kepadaku. Begitu pula asap-asap dari motor membuatku benci menciummu. Aduh, begitu kejam dirimu padaku, sayang. Jadinya, Aku dan Lutfy mesti merangkak menuju Sekolah Kanisius. Kejam sekali orang-orang bermain orkestra klakson semanunya.

Paket buletin sastra Stomata ada di tas. Kami ingin mengatarnya ke Romo Mudji. Siang itu, aku mengirim pesan pendek ke Romo, “Salam Romo, aku menulis tentang sketsa berwarna Romo di buletin sastra Stomata, kampus UNJ. Aku ingin memberikan buletin itu untuk Romo. Terimakasih.”

Telepon genggamku bergetar.

Cepat romo membalas , “Dengan senang hati, terimakasih, terimakasih banyak. Kalau saya sedang di luar rumah titipkan ke satpam gardu SMU Kanisius Jalan Menteng Raya 64 Jakarta Pusat tetangganya PP Muhammadiyah,” begitu balasnya.

Romo Mudji sering aku disapanya lewat tulisan. Saat mataku masih pusing, badan terasa pegal-pegal. Kadang-kadang loper koran membangunkanku dengan lemparan korannya di ruang tiga kosong lima itu. Saat itulah, lembar demi lembar bau koran itu masuk ke hidungku. Kata-kata begitu liar berdesak-desakan terkadang tidak mau mengantri masuk ke otakku. Terkadang, aku menemukan tulisan Romo muncul menjadi oase di tengah berita yang penuh dengan politik, politik, politik.  Membuat kita tidak bisa tertawa.

Sekitar pukul tiga sore kami tiba di Kanisius. Kami menitipkan buletin Stomata berisi tulisanku mengenai sketsa berwarna itu. Wah, aku terkadang malu memberikan tulisanku yang tak bagus itu. Aku hanya terkadang berfikir, menyapa dengan tulisan adalah bentuk apresiasi seni yang aku sukai. Disitu aku bisa bergelimang kata dan berenang makna. Melalui menulis, terkadang KATA begitu genit. Aku dicumbunya, diciumnya, kadang-kadang ia selalu mengajaku bermain, pergi ke mana saja ia selalu mengatakan, “Ya aku mau menemui dan menemanimu”.

Tulisanku di buletin itu berjudul, “Sketsa Berwarna Yang Menjelma Kata Mengundang Sapa,”. Aku jadi teringat kembali dengan Solo. Karena di tengah suara azan subuh dan cerewetnya kereta-kereta aku menyelesaikan tulisan itu di Stasiun Solo Jebres. Oh, Solo aku rindu padamu.

Tadi siang, sebelum mengirim buletin itu ke Kanisius. Aku membuat surat kecil untuk romo. Surat kecil itu berisi aku mengapresiasi sktesa romo melalui tulisan. Sebab mesti tidak bertatap muka, terkadang manusia itu selalu bersapa kata. Esok, atau lusa kita bakal berkisah mengenai kata dan buku lagi. Aku jadi teringat saat mengobrol dengan Romo dua tahun lalu ada bekal kata dan buku :Wajah-Wajah Kebudayaan menjadi oleh-oleh paling bermakna dari Romo. Aku pun diajak waktu itu ke Galeri Nasional untuk membaca seni secara kajian budaya. Asyik. Dan  ini bukan kuliah loh!

Jakarta begitu aku memaknainya, mempertemukanku dengan orang-orang hebat. Aku mau bilang, sekejam-kejamnya dirimu padaku, kau selalu menghiburku dengan hal-hal kecil. Tadi sore sehabis dari Kanisius kami sempatkan mampir di Stasiun Manggarai.  Ada lapak kecil penjual buku. Aku begitu terayu oleh majalah bobo, buku-buku katalog lukisan dan satu buku tentang kritik karangan  Terry Eagleton. Ternyata dibalik kejamnya kamu, kadang-kadang tanpa sepengetahuanku kau menyelipkan kado yang mesti aku gali di sudut-sudut hatimu. Aku bersyukur.

Sehabis maghrib, aku mesti meninggalkan sejenak Jakarta dengan Metromini 47 Senen-Pondok Kopi. Aku dan temanku, Handi, menumpang duduk di mobil itu. Pukul setengah delapan lebih, arsitektur kota Jakarta begitu membosankan. Gemerlap lampu-lampu yang begitu sombong, begitu angkuh menyerang mataku (menarik untuk membeli!) ditengah mengantuknya aku.

Akhirnya aku berfikir sayang, mesti aku membencimu dengan sentuhan kemacetanmu, asap-asap motor. Aku begitu diam-diam, menyimpan perasaan jatuh cinta padamu. Saat lama-lama aku menjauh dari Jakarta. Aku Jatuh cinta pada buku-bukumu. Jatuh cinta pada ruang-ruang memori saat aku melintas jalan-jalanmu. Jatuh cinta pada memori saataku pernah tidur-tiduran di tanah dan stasiun-stasiunmu. Aduhai, aku ditemani Mia Bustam di buku Sudjojono dan Aku di tengah aku tersipu-sipu malu dan sedih meninggalkan Jakarta menuju Stasiun Bekasi.

Telepon genggamku bergetar lagi.

Romo Mudji menulis, “Rian terimakasih banyak. Tulisan lengkap meramu sketser dan sketsa-sketsa serta proses pendidikan guru kebudayaan,” belum sempat aku membalas, Romo mengirim pesan kembali: “Rian makin saya baca bahasa tulisanmu indah dan dalam. Teruslah nulis Rian,” begitu balasnya.

Duh, hati dan pikiranku jadi bergetar. Romo memuji tulisanku. Entah mengapa, aku hanya teringat akan teman-temanku. Aku teringat Larissa Huda yang telah melayout buletin itu. Aku teringat Hamzah Muhammad, Irsyad, Ridwan dan para awak buletin Stomata lainnya yang mau mampir dan mengembara melalui kata dan tulisanku. Aku teringat dengan teman-teman di ruang tiga kosong lima yang begitu bergembira menyatu, melipat, kertas-kertas buletin itu.  Aku begitu.. 

Ah, aku makhluk picisan yang bermimpi menjadi penulis hebat. Tanpa mereka gerak kosmologis tubuhku, tanganku, kata-kataku, tidak mungkin bisa bermunculan dan menjadi kuas kata yang berwarna, indah kata-katanya. Malam mingguku selalu kelabu. Tetapi ada buku dan teman-teman hebat yang selalu mengeloniku dengan kata-kata. Di malam minggu sebelum naik angkot, aku mengucap dan  berdo'a : "Ibu aku ingin menjadi penulis". Begitu.


Posted on Sabtu, Maret 01, 2014 by Rianto

No comments