Jumat, 07 Maret 2014




Sebelum aku mendongeng untukmu. Aku ingin menonton Ada Apa dengan Cinta bersamamu. Sayang,  malam ini aku lelah. Tapi, saat aku membuka kembali buku-buku kita yang begitu merayu mata untuk dibaca, sekaligus melihat kamu yang hidup dengan lampu-lampu rumah kita. Aku kembali bangkit. 

Sebelum aku bercerita, aku ingin minum teh hijau dan duduk bersamamu. Dalam dongeng kali ini, Aku adalah kekasihmu. Aku bukanlah AKU dalam sajak penyair hebat itu. Aduh, aku ingin nonton Ada Apa dengan Cinta dulu sayang. Kamu pasti ingat dengan adegan di kwitang. Ah, buku itu, ya buku berjudul “Aku” karangan Sumanjaya pernah aku memiliknya. Tapi entah kemana buku itu hilang, atau mungkin ada yang meminjamnya. Semoga berguna baginya. Dari buku itu Chairil seperti dihidupkan kembali secara pop.
 
Tapi, yang aku pikirkan, tubuh kosmologis kita pernah jua seperti itu. Kita pernah juga bermandikan buku-buku. Kita berjalan berdua berharap mirip orang-orang intelektual. Berharap menjadi manusia bebas dengan buku dan kata. Aku kangen dengan itu. Kita manusia berkata-kata.

Aku tidak bisa membacakan Sajak-sajak Chairil Anwar untukmu. Sebab aku bukan penyair.  Namun sketsa-sektsa  garang tentang kebebasan, kemerdekaan, dan kemanusiaan  dalam larik-larik sajak Chairil,  kisah hidupnya yang dituturkan,  dapat aku bacakan untukmu. Agar kita mampu mengerti kehidupan bermodal dari kata dan cerita. 

Chairil Anwar adalah pelopor puisi modern angkatan 45.  Begitu ia disangka, dilaporkan dan disebutkan. Kamu pernah mendengar nama Chairil Anwar kan? Eh, kamu tersenyum lugu. Baiklah, begini.

Mia Bustam dalam buku Sudjojono dan Aku, pernah bercerita kekonyolan Chairil. Ia mendatangi Sudjojono untuk dipotret. Sudjojono pun meminta Chairil untuk membawa cat sendiri. Chairil pun membawa itu. Ternyata cat yang dibawa oleh Chairil adalah cat milik tentara jepang.  Chairil memang gila bukan hanya puisinya tapi juga kelakuannya.

H.B Jassin dalam bukunya “Tifa Penjair dan Daerahnja” (1949) menyebutkan Chairil adalah Bom yang meletus di tengah ketenangan.  Bentuk dan irama dari sajak  Chairil dilacak oleh Jassin bermula dari sejarah. Inilah yang ingin aku ceritakan padamu sayang. Sejarah, aku selalu ingin mendongeng untukmu. 

Bicara sastra, sama dengan bicara sejarah. Sejarah sastra Wah, Ariel Heriyanto pernah menulis makalah hebat yang mengulik perbedaan Sejarah, Sastra, dan Sejarah Sastra. Mungkin dari situ kita bisa mengecup hangat perbedaaan sentuhan  apa yang akan kita bicarakan sastra atau sejarah sastra.

Jujur sayang, aku lebih tertarik mengurusi Chairil dari buku-buku pelajaran sastra. Nah, aku dari situ ingin menelusuri kembali jejak-jejak Chairil dari sekolah. Kita begitu lugu umtuk dikenalkan oleh guru, ini loh Chairil, ini loh Pram, ini loh... Tapi kita miskin akan jejak-jejak kisah Chairil. Kita berhenti pada LKS dan buku paket.

Waktu aku ke nggladak Solo,  aku kaget, saat menemukan buku-buku pelajaran sastra tahun 60-80 an. Aku merasa buku-buku ini sudah tak tercetak, disebar, dan dijadikan pegangan oleh guru dan murid abad 21 ini. Kita generasi toean Soeharto. Jadi, aku ingin bercerita untukmu bermula dari buku-buku pelajaran berbahasa EYEDE. Ya aku juga mendapatkan pelajaran buku sastra karangan B.Simorangkir  langsung diperiksa oleh empu A.Teeuw. Tetapi saat aku membacanya lembar-demi lembar buku berbahasa  ejaan Soewandi itu lebih garang. Nanti aku ceritakan di kisah selanjutnya.

Nama Chairil Anwar dalam buku-buku pelajaran selalu disebut sebagai tokoh utama dalam kesusateraan angaktan 45.  Dalam buku Kesusteraan-Indonesia  untuk Sekolah Lanjutan Pertama itu Chairil katanya pendidikannnya tidaklah tinggi. Beuh, orang tak berpendidikan tinggi menjadi orang hebat masuk dalam buku-buku pelajaran. Hebat.

  Chairil Anwar adalah pembelajar. Buku  terbitan dalam dan luar negeri dilahapnya.  Orang-orang yang garang dalam membaca  memang layak dicatat dibuku-buku.  Tapi Chairil, kami adalah generasi instagram,  siswa-siswa sekarang lebih bangga membawa android dibanding buku-buku karanganmu.

Beberapa hari lalu, aku ingin bilang padamu. Aku mendapatkan buku kumpulan puisimu Kerikil Tajam yang Terhempas dan Yang Putus (Dian Rakyat, 2000) hanya dengan harga lima ribu rupiah. Aku begitu ingin mengkoleksi karya-karyamu. Aku memang tidak bisa membaca puisi. Tapi aku ingin menjadi pengumpul imaji kisah-kisahmu.  Mendongeng tentangmu kepada kekasihku, orang tuaku, teman-temanku, bahkan ke anakku kelak. Aku ingin ia tahu bukan hanya naruto yang berpengaruh bagi imajinya, Chairil anwar pun jua. Anakku harus menggendong karya hebat itu.

Jejak Chairil Anwar juga ada di Buku Peristiwa Sastra Indonesia karangan  Soetarno (1976). Sebenarnya buku ini dicetak pertama kali tahun 1965. Wah, Chairil dihidupkan dalam imajinasi anak-anak sejak tahun itu. Soetarno mengatakan Chairil Anwar terkenal sejak sajaknya ditafsir oleh HB Jassin serta,
“Sajak-sajaknya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Terjemahan-terjemahan itu melalui bahasa Belanda oleh Dolf Verspoor dalam majalah Orientatie” 

  Buku-buku pelajaran ini begitu hebat bagi zamannya. Menurutku, buku-buku pelajaran sastra seperti ini sudah jarang ditemukan dan sebarkan di sekolah. Bahasa hidup, sastra mati disekolah! Karena sekolah lebih banyak mengajarkan EYEDE daripada SASTRA.

Sayangku, aku bersedih. Kamu tahu, lembar-demi lembar buku pelajaran ini mengembalikan pikiran bocah kita.  Sampai di akhir halaman, aku menemukan buku pelajaran seperti ini dicantumkan surat keputusan PANGDAM yang melarang buku-buku sastra hebat. Kamu juga pasti bersedih, bayangkan sayang, jika kita tetap hidup di zaman di mana buku-buku Pram macam Bumi Manusia yang pernah kau baca itu dilarang oleh militer masuk ke sekolah-sekolah. Ah, buku Di Tepi Kali Bekasi itu yang urung aku miliki akibat harganya di jual dengan gila juga masuk daftar yang dilarang. 

 Aku kira sepatu militer kejam di lapangan saja, ia pun masuk di halaman buku-buku pelajaran untuk menginjak, melarang kita  membaca buku-buku hebat. Buku adalah politik. Manusia dilarang menjadi serigala kata-kata.  

Tadi pagi aku membaca buku Sobron Aidit berjudul “Melawan dengan Restoran”.  Chairil Anwar adalah salah satu sosok yang berpengaruh bagi Sobron Aidit.  Chairil bagaimana kau akan menjawab bahwa karangan hebat Sobron Aidit dilarang oleh militer jika kau benar-benar hidup seribu tahun lagi? Aku ingin kau menjawab itu, agar aku bisa berkisah, bercerita berkata-kata untuk orang-orang yang aku cintai mengenai jawabanmu. 

Kekasihku apa kau juga tahu? 

Jawablah

Baiklah, kita tidur saja. Kau hanya tersenyum. Sayang, lelaplah dengan kata-kata.....   



   



Posted on Jumat, Maret 07, 2014 by Rianto

No comments

Kamis, 06 Maret 2014




Perempuan itu sedang duduk-duduk. Terbangun dari mimpi menuju selasar. Gaunnya begitu indah. Aku yakin semalam dia mimpi menjadi cinderela. Pagi itu banyak pedagang menghampirinya, memanjakannya dengan menawarkan kutek kuku. Menawarkan baju tidur, juga tak lupa menawarkan kutang dan celana dalam beraneka warna dan model. 

Cinderela, aku membacamu, mendongengmu tentang kehidupan itu menjelma sebuah permen ataupun cokelat. Manis, selalu manis.  Dan kita terkadang ingin membelinya lagi, mencium aromanya. Menggigit kembali hidup yang tak selau manis seperti cokelat.

Cinderela, kamu pasti sore-sore seperti ini sudah membasuh tubuhmu dengan air. Tubuhmu sudah wangi, lipstikmu merah. Kau menggoda. Ah tidak, kau yang akan tergoda. Aku disebutmu TAMU. Tamu yang membawa banyak bunga-bunga (baca uang).

Lembar-demi lembar kisahmu aku baca. Aku beruntung mendapat kisahmu, cinderela. Aduh, maaf aku memanggilmu cinderela. Kau tidak kehilangan sepatu kaca. Tapi kau memberiku sepatu kata. Darimu aku mampu berjalan melalui kata-kata, aku seperti dilempar sepatu kata olehmu: untuk menghargai perempuan.

Buku Dolly (1985) karangan Thahjo Purnomo Wijadi yang diperindah oleh Ashadi Siregar ini aku dapatkan di nggladak Solo. Di tengah hujan dan bau tanah gunung Kelud. Aku mendapati kisahmu di tumpukan buku-buku loakan. Si pedagang berkata padaku, 

“Ini buku langka mas,” katanya meyakinkanku.

Aku menggaguk, terdiam. Kusyu menatap buku itu yang sudah lusuh.  Aku menawar. Aku mendapatimu cuma sepuluh ribu. Mungkin pedagang kasihan melihat tampangku yang kere.

Cerita hidupmu memang langka. Kisah perempuan-perempuan hebat ada di tanganku. Aku begitu bersedih sekaligus bersyukur, mendapatkan buku itu. Aku lebih tertarik membaca kisahmu dibandingkan membaca buku-buku motivasi yang beraroma kehidupan picisan yang dipampang sombong dengan judul-judul garang mejeng di toko buku. Walau terkadang aku juga diam-diam membacanya.

Gila, kisahmu yang penuh negativitas kau jalani malam demi malam. Terkadang solidaritas antar pelacur begitu hebat.  Darimu aku belajar, solidaritas tidak hanya dimiliki oleh pesepak bola, para politikus. Pelacur pun mempunyai kisah solidaritas. Mereka saling mengisi kekosongan. Saling menghibur.

Hidupmu di bawah-bayang-bayang mami-papi. Kau gadaikan hidupmu. Tapi kau tersenyum. Di kala pagi kau minum jamu. Kukumu dikutek. Kau membeli baju-baju baru. Terkadang aku tahu, kau tidak punya uang. Kau menghutang. Renteiner mengawasi: air liurnya selalu menetes. Merayumu. 

 Thahjo Purnomo penulis skripsi hebat. Hikss.. skripsi. Aku menyebutnya penulis hebat tentang dunia pelacuran. Thahjo curhat, “tak jarang tuduhan bermoral bejat ditimpakan pada penulis”

Penulis sempat sakit. Karena ia menelusuri ke gang-gang. Masuk ke tengah-tengah denyut nadi pelacuran menguras pikiran dan tenaga. Aku bersyukur. Bisa membawa kisah pelacuran di buku ini. Aku membayangkan penulis yang jatuh bangun menghadapi preman, pelacur, serta papi-mami.  

                Ditinjau dari sejarah, pelacuran berdenyut di daerah-daerah pantai. Ada kredo, keyakinan bahwa kota muncul akibat kompleks pelacuran. Kota tumbuh, berkembang, muncul baber shop, toko-toko, tempat makan, hotel karena lampu-lampu pelacuran tidak pernah sepi. Menarik. 

                Begitu pula Tante Dolly adalah arsitek kota. Dari dialah kota Surabaya menjadi teks cerita yang menarik kita bercinta melalui kata dan kisah pelacuran. 

                Para germo (mami atau papi), tidak semua punya wisma. Mereka ada yang menyewa. Terkadang para anak buah tidak dilayani kesehatannya dengan baik. Ada yang takut dengan dokter, ada yang punya dokter pribadi. Gila teks kesehatan juga dimiliki oleh cerita-cerita pelacuran. 

Cinta yang diperdagangkan itu dimiliki sebagian besar oleh mantan atupun anggota aktif tentara loh! Hihihi, tentara, anggota ABRI atau angkatan darat ini malah gak ngabdi ama negara. Mereka lebih ngabdi ama bisnis cinta ini. Yaiyalah, gaji gak memadai. Bisnis ini kalau bisa dkelola dengan baik bisalah buat naik Haji. Keren tuh buat serial sinetron:  Tukang cinta naik haji!

Aku sedih kalau membaca hidup pelacur yang masih berhutang pada germo. Thahjo menulis, “Sulit bagi pelacur yang masih punya hutang pada germonya untuk lari pindah ke wisma lain...” 

Masalah hutang, aku juga punya banyak hutang. Hiks, untuk membeli buku terkadang aku menghutang pada teman, satu, dua juta. Semoga aku bisa membayarnya lewat kata-kata. Agar aku tidak lari dari dunia literasi. Amin.

Ada kisah lucu. Ada pendapat bahwa sang germo gak boleh main sama anak buahnya sendiri. Seperti pantangan, kalau main mereka bakal kena sial.. Nah loh... Makanya Om jangan jajan sembarangan.

Mengulik kisah percintaan para pelacur di Dolly gak kalah sama cerita-cerita FTV SCTV loh. Ada tamu menjalin kisah dengan pelacur langgannya. Kadang-kadang ada juga lelaki yang serius (tapi buaya) untuk  menikahi mereka. Ada juga pelacur yang cemburu karena langgananya itu bermain juga dengan temannya. Aduh... cinta segi banyak.

 Seperti organisasi, mereka sering dibriefing ama papih mamih. Terkadang sindiran diberikan papi mamih bagi anak buahnya yang gak laku dengan,

“Tidak pernah ditemukan germo secara langsung  mengusir pelacur yang sulit laku. Pengusiran dilakukan dengan cara halus  dan  tidak menyinggung perasaan anak buahnya”

Dalam dunia pelacuran, tubuh perempuan selalu aktif bak robot. Tak ada toleransi istirahat kerja untuk malas-malasan. Saat menstruasi pun mereka harus tetap mejeng, nampang, melayani tamu.  

“Tetapi ini bukan berarti bahwa para pelacur tidak berhak menolak,” kata Thahjo,  “Sebab ternyata para pelacur yang menjadi primadona wisma atau berpendapatan tinggi dibolehkan germonya menolak ajakan tamu. Sang germo merasa Khawatir apabila memaksa anak buahnya itu, si Primadona meninggalkan wismanya.”

Manusia adalah makhluk jalan-jalan. Germo saat hari-hari besar nasional terkadang mengajak para anak buahnya untuk berlibur. Menyewa Colt, mereka jalan-jalan keliling Surabaya. Thajho menulis, para germo dan anak buahnya berlibur  ke  jalan Wijaya kusuma, pantai Ria Kenjeran atau ke Perak. Sialnya, ada juga para pelacur yang tidak pernah jalan-jalan. Manusia butuh berlibur, bung!

Tuhan, kau ciptakan perempuan. Aku bersedih hati membaca kisah-kisah seperti ini. Perempuan terlahir untuk mengemban berat nan suci. Tubuhnya adalah wacana. Setiap geraknya adalah kata. Apa yang diucapkannya adalah cerita. Betul, dalam novel cantik itu luka. Mungkin setiap wanita tidak seutuhnya ingin menjadi cantik. Sebab kecantikan membawa kesengsaraan. Namun ketidakcantikan pun membawa sang pelacur mendapatkan cap yang begitu menakutkan, Laku dan tidak laku.

Dari kisah buku ini, lembar-demi lembar mempunyai misi indah: muliakanlah perempuan. Duh, kamu bakal mengerti sayang, aku membaca ini agar aku pun dapat mencintaimu, menjagamu. Aku ingin memelukmu dengan kata. Aku sudi membacakan kisah-kisah seperti ini, sambil memijit tanganmu yang lelah karena mengurusi imajinasi rumah kita yang penuh buku-buku.

Kau tidur di sampingku, aku memelukmu dan menciumu dengan kata, sambil aku mendongeng  tentang kenegativitasan kehidupan. Agar kita tak melulu merasa suci. Begitulah sayang,  cinta dalam dunia pelacuran penderitaanya tiada akhir... Aku mendo’akanmu. Muuuaaahh....




Posted on Kamis, Maret 06, 2014 by Rianto

No comments

Rabu, 05 Maret 2014





Affandi aku generasi sekarang yang ingin berjumpa, mengobrol, melihatmu melukis. Melihat lukisanmu selalu ada do’a : aku ingin mataku basah dengan goresan-goresan kuasmu yang kuat. Goresan-goresan itu, mengajakku dengan kusyu, aku ingin melihatmu langsung saat melukis. Aku melihatmu, hanya dari cerita-cerita. Aku yang dilahirkan di zaman instagram memang mudah ketika mencari foto-fotomu, lukisan-lukisanmu. Tapi aku lebih tertarik dengan lukisan kata, lukisan imajinasi kata yang berbentuk huruf-huruf kehidupanmu. Lalu jadi cerita. Hebat, aku bisa membayangmu dari kata dan cerita.

Dalam buku Sudjojono dan Aku. Mia Bustam sering kali menyebutmu, menceritakanmu. Aku terharu ketika hidupmu penuh dengan kisah-kisah hebat. Dalam LKS ataupun buku paket saat sekolah aku hanya dapat sedikit sekali kata. LKS dan buku paket miskin kisahmu.

Saat aku sendiri di kamar, meratapi hidupku. Aku malah menjelajahi, meniduri kembali majalah horison lawas yang aku beli bersama (Alm) temanku Goher. Aku menginap di rumahnya (Cengkareng), bercerita mengenai skripsi, cita-cita, hidup, pacar dan lain2. Kadang-kadang dia meledekku karena aku tidak berani berkata-kata dengan perempuan. Aku bersyukur dan berdoa untukmu di sana. Kawan, aku ingin menjadi master dan monster kata-kata!

Dari toko buku Delawas yang kau tunjukan itu, aku membeli majalah Horison (1985)  yang jelek lusuh itu hanya lima ribu rupiah. Duh, aku menghabiskan uang hamipr seratus ribu. Kau bingung. Aku banyak membeli buku. Tapi buku-buku bukan untuk kuliah. Bukan untuk skripsi. Sampai sekarang aku terlunta-lunta. Cedera kata untuk menulis skripsi. Curhat.

 
Dari majalah Horison itu aku berkenalan dengan Affandi. Kusnadi menulis tentang Affandi. Kusnadi mengatakan Affandi adalah Tokoh Pembaharu Seni Lukis Indonesia. Sial.. kakek ini orang hebat.  Affandi pelukis yang mulai berkiprah sejak tahun 1936. Dari permulaan itu saja Affandi sudah sangar dengan lukisan-lukisannya.

Affandi cerdas dalam anatomi tubuh saat melukis (lihat lukisan Ibu). Uh, aku ingin seperti Affandi. Bisa melukis istrinya yang tercinta Maryati, melukis anaknya Kartika. Tapi aku sedih, aku hanya bisa melukis dengan kata-kata, Juga aku ingin bilang untuk istriku kelak, aku ingin melukismu dengan kata-kata! Afandi melukis, aku juga melukis. 

Kusnadi menilai, teknik naturalistis Affandi dikuasai bukan dari secara formal. Kusnadi menulis, “bukanlah dari belajar secara formal , tapi oleh kelihaian pernah menyelinap “menajdi model” dalam studio pelukis Belanda tahun 30-an di Bandung, sehingga mampu mengintip  cara studi melukis model”. Kisah itu berdasarkan cerita dari Popo Iskandar.

Affandi seorang pengagum Michael Anggelo dan Van Gogh ini bisa jadi contoh buatku untuk pandai menyelinap. Menyelinap kata, menyelinap makna agar mempunyai goresan-goresan hidup yang tak melulu diajarkan dari yang FORMAL (Sekolah). Sekolah yang formal-formal itu justru bukan menyelinapkan ilmu. Kadang-kadang, diam—diam hanya melenyapkan pengetahuan.

Merinding melihat lukisan Affandi berjudul “Pengemis”. Dalam karya cat air ini Affandi mengajarkan kita untuk jangan ragu-ragu. Karya yang terdiri dari tiga lembaran kertas ini menggambarkan dengan apik, cerdas, hebat, bertutur. Kusnadi menulis, 

“Sejak ia nampak datang dari kejauhan, sampai diam berdiri meminta uang; kemudian pergi setelah menerima sesuatu ataupun tidak.”

Salah satu karya masterpiece Affandi ini seperti hidup. Aku menjadi membayangkan lukisan ini seperti hidup, seperti bergerak. Sayang, aku ingin melihat langsung lukisan ini. Karya yang harus aku lihat selama kita hidup.

Suatu saat nanti aku akan ingin bilang pada kamu, aku pasti mampu melihat semua lukisan-lukisan Affandi secara langsung bersamamu. Menulis terus tentang Affandi. Melukis Affandi melalui kata menjadi kerja menantang untukku. Mengkoleksi kisah Affandi di mana saja. Di majalah, di koran, di buku, bahkan di sebuah percakapan sunyi sekalipun. Aku gali itu.  Ah, aku menulismu sedikit sekali. Affandi, aku berdoa dari sini : Aku melukismu huruf-demi huruf, kata-demi kata. Dari situ aku menghargaimu melalui kata-kata.  Semoga yang membaca, kamu sudi berbagi kisah tentang keringnya aku tentang kisah-kisah hebat lainnya tentang Affandi. Lalu sudi memberikan aku kata, kisah, buku yang melukis kisah hidup Affandi. Amin.



Posted on Rabu, Maret 05, 2014 by Rianto

No comments

Selasa, 04 Maret 2014

Koran Sindo Selasa, 4 Maret 2014
Guru mesti bermimpi punya banyak buku. Guru mesti punya perpustakaan pribadi. Dari buku guru banyak cerita. Berbagi cerita bacan buku dapat membuat imajinasi anak berkelana bebas. Guru berumah buku jarang ditemukan di abad 21 ini. Guru sibuk dengan rpp dan silabus. Guru sudah jarang membaca buku.

Kita mengerti guru adalah pembentuk jiwa murid. Jiwa murid dikembangkan dari imajinasi kata dari buku-buku. Murid tentunya menanti guru yang punya banyak cerita dari buku. Kegiatan saling berbagi cerita dan saling pinjam buku adalah perbuatan suci selain mengerjakan tugas sekolah.

Berdiskusi mengenai buku jarang dilakukan oleh guru kita. Sebab sekolah berubah menjadi penjara imajinasi dan buku-buku. Mirisnya, guru-guru abad 21 enggan membeli buku saat gajian. Guru abad 21 lebih memilih mobil dan motor ketimbang buku.

 Di zaman yang serba berkecepatan tinggi, guru-guru mesti menghadapi murid zaman internet. Guru tak berbuku tapi murid berinternet. Guru abad 21 mesti menambah kecepatan dengan berbuku. Kecepatan literasi guru dalam mengembangkan imajinasi anak murid haruslah dari buku-ke buku. Kita percaya internet belum bisa mengalahkan buku sebagai cetak biru pengetahuan.

Kita selalu menanti guru abad 21 yang rajin membeli buku dan mengembangkan perpustakaan. Kita lebih kagum dengan guru berumah buku dibandingkan dengan guru bermobil dan bermotor. Profesi guru bukan hanya sibuk metode belajar dan evaluasi pelajaran. Guru juga mesti sibuk hidup berbuku dan mengurus perpustakaan di rumah. Guru mesti memperindah rumah dengan buku-buku dibandingkan dengan memadati rumah dengan barang elektronik.  

Jarang sudah kita temui murid-murid bermain ke rumah guru menemukan guru yang berbuku. Kasihan, murid hanya berbekal buku paket yang isinya hanya ringkasan-ringkasan pengetahuan. Guru tak berbuku murid bebal. Maka guru tak berbuku mengamini bebalisme dalam pendidikan.

Pernahkah guru-guru saat liburan mengajak murid-murid untuk berkunjung ke toko buku dan mengobrol buku-buku dengan pedagang buku? Inilah apa yang disebut dengan hubungan interaksi guru dan murid dijalin melalui benang tenunan literasi. Sayangnya, guru abad 21 lebih memlilih berlibur dengan murid-murid menjadi pelancong ke tempat wisata. Lalu sibuk potrat-potret diri dan dibekukan di album sekolah, twitter dan instagram.


Kita selalu menanti Guru abad 21 menjadi guru yang berumah buku. Guru seperti ini apa yang diungkap Romo Mudji Sutrisno sebagai guru kebudayaan. Yakni guru yang dengan sabar berimjinasi dengan proses menenun melalui jalan literasi. Guru yang selalu merajut melalui kata dan pengetahuan. Guru yang tidak hanya mengajak berkeliling borobudur tapi juga dengan sudi berkisah dan hayat menghayati kemegahan borobudur. Guru abad 21 harus menjadi pemahat kata-kata, sebab dari situlah murid yang berupa batu kasar menjadi batu yang berbentuk dan indah. Guru abad 21 maukah kalian berumah buku? Semoga saja…

Tulisan ini masuk di rubrik poros mahasiswa Koran Sindo 4/3/2014. (Tulisan tanpa edit)

Posted on Selasa, Maret 04, 2014 by Rianto

No comments