Jumat, 06 Desember 2013



Warung selalu menyediakan memori, ingatan. Warung  hadir menjadi episode perenungan kita. Jika melihat warung-warung di pinggir jalan misalnya, kita tertarik untuk membeli. Disitulah sebenarnya kita bukan saja membeli barang, makanan, minuman.  Kita pun membeli ingatan. 

Coba perhatikan warung-warung yang berdiri di sekitar jalan-jalan di pantura. Kita bakal disuguhi warung dadakan berupa buah-buah segar, mangga misalnya. Sering kita melihat itu, namun tak meyadari warung-warung tersebut yang  menjual hasil bumi kita berupa umbi cilembu, nanas madu telah menjadi juru bicara musim buah. Kita bisa membayangan,  menebak, memikirkan  pekarangan-pekarangan petani kita tumbuh subur pohon-pohon yang mengandung buah terbaik.

Warung-warung yang menjual buah itu pun menjadi pemantik ingatan tentang desa. Jadi warung bukan berdiri begitu saja sebagai penghias jalan-jalan yang sepi.  Warung yanag menjual buah itu memperlihatkan pada kita memori gerak musim buah di desa. Saat rasa buah yang manis dilidah-lidah kita menyulut ingatan untuk memunculkan memori tentang desa, saat itu pulalah pikiran kota kita yang menjejali perlahan sejenak hilang dimanjakan buah dari desa itu. Ada jejak-jejak yang dapat kita refleksikan, desa tak pernah padam memberikan perlakuan terbaiknya bagi pikiran kota kita.

Maka dari itu tidak aneh jika mulai bermunculan warung-warung yang mengkonsepkan kedesaan. Kita rindu, mencicipi makanan dengan suasana desa. Kita rindu dengan buah segar yang alami tumbuh di pekaranagan rumah di kampung-kampung. Kita tak sabar untuk membungkus buah-buah itu sebagai oleh-oleh untuk keluarga. Di meja makan kita mulai menanyakan, mendiskusi, meraba ingatan tentang warung dan buah itu. 

Dalam tulisan Andreas Maryoto,”Makanan Desa, Makanan Kita Sesungguhnya”, menyebutkan bagaimana di kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, Di Yogyakarta ada warung yang menjual belalang goreng.  Ada juga penjual yang mengikatkan belalang segar yang sengaja digantungkan agar para pengendara tertarik untuk membeli (Jejak Pangan, Sejarah, Silang budaya, dan Masa Depan).  

Dari situlah para pelanggan yang tertarik membeli bukan saja membeli belalang  juga membeli ingatan. Mereka ingat belalang goreng  merupakan tanda di mana musim kemarau menerjang daerah ini. Akibat minimnya sumber protein belalang pun diburu, dijual, dan dijadikan rempeyek belalang. Bagi mereka yang merindu bagaimana asyiknya berburu belalang dan jika lidah kangen berat dengan rasa rempeyek itu telah memanggil untuk membeli belalang. Itulah kondisi purba kita jika dihadapkan dengan makanan desa, selalu mengingat, selalu merindu. Jika kita lupa tentang ingatan desa, warung-warung pinggir jalan selalu menyediakan memori itu.                                                                                                                

Posted on Jumat, Desember 06, 2013 by Rianto

No comments

Selasa, 12 November 2013


 


"Menghadapi kekejian yang tidak manusiawi, manusia harus melakukan penentangan. Manusia tidak boleh diam. Dia yang diam dan membisu menghadapi kenyataan ini telah menyangkal tanggung jawabnya sebagai manusia" (Ernst Toller)

Tentu kita ingat nama S.Sudjojono di LKS SD atau SMP. Seingat memori kita itu Sudjojono selalu berdampingan dengan nama-nama pelukis besar lain, sebut saja Affandi atau Basuki Abdullah. Atau memang kini kita sudah melupakan sosok yang 'galak' dalam ide-ide seni lukis Indonesia yang pernah tersangkut prahara 65 ini.

Sudjojono merupakan pelopor berdirinya PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang didirikan tahun 1937. Belum lama, sekitar sebulan yang lalu lukisan-lukisan S. Sudjojono kembali di pamerkan di Galeri Nasional dalam tema "Jiwa Ketok dan Kebangsaan" S.Sudjojono, Persagi dan Kita.

Ini menarik. Kita bisa kembali dalam refleksi kebangsaan dengan melihat lukisan-lukisan 'ganas' Sudjojono yang berbicara tentang lahirnya angkatan 66 misalnya. Atau melihat sejenak kehidupan sehari-hari yang coba Sudjojono gambarkan dalam lukisan "Makan Nasi".

Menurut Sudjojono, jika kalian melihat lukisan-lukisan dan mengagumi karyanya, sebetulnya yang kalian kagumi adalah jiwa pelukisnya. Itulah jiwa ketok. Dalam karangan Sudjojono berjudul Kesenian, Seniman dan Masyarakat, Sudjojono menulis,

Makan Nasi. S.Sudjojono.1956
..Kalau Seorang Seniman membuat suatu barang kesenian, maka sebenarnya buah kesenian tadi tidak lain dari jiwanya sendiri yang kelihatan. Kesenian ialah jiwa ketok. jadi kesenian ialah jiwa... (Seni Lukis, Kesenian dan Seniman, Aksara Indonesia 2000)

Pun tulisan tersebut untuk menjawab pengertian kesenian yang memang susah sekali dijawab. Lalu mengapa ketika melihat gambar/lukisan pada saat itu juga kita dapat melihat, mulai mengobrol tentang kehidupan sehari-hari yang dapat  dimaknai secara budaya, secara teks humanisasi . Kita dapat menelaahnya kembali jawaban itu dalam tulisan Sudjojono yang mengambarkan biografi pendek Vincent van Gogh.  Belajar dari Vincent inilah, melukis bukan hanya kerja keindahan/kebagusan juga merupakan kerja kemanusiaan.

Suatu ketika Vincent bertemu dengan seorang pujangga bernama Zola. Dalam obrolan Zola berkata,

..."Kalau tuan menggambar kebagusan seorang perempuan sama dengan saya menceritakan kebagusan si perempuan tadi sebagaimana juga saya lihat sehari-hari. Tokoh saya itu akan saya ceritakan juga umpamanya, bahwbagai perempuan yang kita kenang-kenangkan, lalu cerita tadi saya baguskan-baguskaa dia pernah sakit kudis, pernah 'lupa' dikatakan: God ver Dom! Saya ceritakan ia tidak sen, akan tetapi saya ceritakan dia sebagaimana perempuan tadi hidup biasa, bukan?"

Vincent pun menjawab,

"Memang, mesti saya gambar perutnya umpamanya tidak seperti perut bidadari, akan tetapi sebagai perut orang perempuan biasa yang berusus" (dari tulisan Sudjojono "Vincent van Gogh (29 Juni 1890) Aksara Indonesia 2000)

Dari tulisan Sudjojono itulah dapat kita lihat sebagai semangat realisme. Melukis realitas. Jadi melukis bukan saja melukis tentang keindahan dan kebagusan, justru disitulah terletak realitas yang memanggil jiwa sang pelukis untuk digoreskan kenyataan hidup manusia. Jadi kebenaran dulu barulah bicara kebagusan.

Menariknya bagi saya Sudjojono bukan hanya pelukis. Sudjojono adalah seorang guru. Guru yang seperti apa? Mia Bustam mengenangnya seperti ini,


(Repro) High Level. S.Sudjojono.1973.
Cara Mas Djon mengajar  tidak seperti pengajaran guru-guru gambar atau kebanyakan pelukis yang lain. Guru gambar yang berdiploma selalu akan mengajarkan perspektif dulu. Dan banyak pelukis menekankan cara melukis mereka sendiri kepada murid-muridnya. Mas Djon tidak. ia memberi model atau obyek. Misalnya sebuah botol di meja, atau rumah di pinggir jalan. Mereka dibiarkan melukis menurut pengamatannya masing-masing. Tanpa dibebani teori perspektif sebelumnya. Yang selalu ditekankan Mas Djon hanya "gunakan baik-baik matamu" (Sudjojono dan Aku, ISAI 2013)

Pada saat mengajar itulah Sudjojono juga melempar anekdot-anekdot atau sejarah para pelukis seperti Rembrandt, Leonardo da Vinci, dan van Gogh. Ini menandakan keluasan literasi dari Sudjojono.

Kembali dalam tulisannya yang tentang Van Gogh ia pun bercerita bagaimana van Googh keluar dari akademi saat di Antwerpen. Menurut van Googh akademi itu hanya suatu insteling, untuk mengajar mahasiswa-mahasiswanya menggambar seperti kemauan gurunya saja, tetapi tidak menggambar atas kemauannya sendiri.

Oleh karena itu dalam mengajar mengambar, bukanlah untuk mencetak Affandi-Affandi dan Sudjojono-Sudjojono baru. Melainkan mencetak Kodir, Agus, Suprapto, yang mempunyai jiwa ketok sendiri. Jadi Kodir, Agus, dan Suprapto ini dapat mengembangkan pribadi-pribadinya sendiri.

Ada Orkes. S Sudjojono.1970
Melihat lukisan Sudjojono di pameran waktu itu bukan saja melihat keindahan-keindahan lukisan. Jauh dari itu, kita bisa memaknai lebih dalam. Sosok Sudjojono atau pun lukisannya mungkin saja hanya benda saja yang tak bunyi. Coba kita cermati lebih dekat, lukisan-lukisannya memanggil kita untuk terus membaca pikiran, membaca ide sang pelopor seni lukis modern ini dalam kacamata kebudayaan, membaca secara keindonesiaan. 

Semangat Sudjojono dalam literasi menjadi contoh bagi guru-guru kebudayaan manapun untuk terus membuktikan bahwa seni lukis Indonesia pernah ada. Mengurai terus kesalahan nenek moyang kita yang jarang  menulis. Jarang sekali melihat pelukis seperti Sudjojono, pelukis yang mau menulis tentang seni lukis Indonesia.Dia tidak hanya melukis, ia mengores pena agar tulisan itu menjadi penyambung imajinasi sejarah seni lukis Indonesia. Dari Sudjojonolah ingatan itu terus terawat.  Mengeras terus semangat literasi itu. Tabik!

*Semua Foto diambil saat penulis mengunjungi Pameran di Galeri Nasional "Jiwa Ketok dan Kebangsaan" S.Sudjojono, Persagi dan Kita. Merayakan 100 tahun S. Sudjojono.

Referensi
Mia Bustam.Sudjojono dan Aku. 2013. ISAI.
S.Sudjojono. Seni Lukis,Kesenian dan Seniman. 2010.Aksara Indonesia.

Posted on Selasa, November 12, 2013 by Rianto

No comments

Minggu, 10 November 2013

Aristoteles mengatakan manusia adalah makhluk politik. Politik yang diharapkan Aristoteles pun yang mampu menyelenggarakan kemakmuran dan keadilan. Artinya politik yang tidak’politis’. Saat ada praktik politis itu mahasiswa menjadi garda terdepan untuk mengajukan protes dengan melakukan demonstrasi di jalan-jalan.

Sekarang kita ingat mahasiswa sering dicap jelek saat berdemo. Justru pada saat itulah mahasiswa coba mengaktifkan akal sehatnya dalam bentuk protes. Justru  di situlah salah satu  peran mahasiswa sebagai bagian intelegensia. 

Persis yang dikatakan Arief Budiman dalam aksinya  mahasiswa menggabungkan kritik dengan aksi-aksi massa. Dengan begitu mahasiswa menjadi kekuatan yang terus menjadi kekuatan yang menentang kekuatan penguasa.  

 
Jika hari ini ada iring-iringan anak muda yang berdemo berteriak anti sumpah pemuda. Sudah saatnya mahasiswa sebagai pemuda  untuk berfikir sehat. Justru di sumpah pemuda itu bisa kita hayati sebagai fundamen historis mentalitas berpolitik  yang mengaktifkan akal sehat kaum muda. Inilah politik anak muda.

Jika hari ini kita jijik melihat spanduk-spanduk calon legislatif di jalan-jalan, di tahun politik ini bisa jadi ajang mahasiswa berdialog dan beradu  gagasan dengan mereka. Jangan-jangan mereka yang di spanduk-spanduk itu ‘monster’ yang siap menyerang negeri ini dengan praktik-praktik korupsinya. Politik pun hilang titahnya sebagai penyelenggaraan kemakmuran dan keadilan. Jadi yang kita ingat politik hari ini adalah politik itu kotor.

Kalaupun jalan politik menjadi jalan membangun negeri, haruskah  mahasiswa mesti aktif di politik? Pertanyaan mendasarnya politik yang seperti apa? Ahok dalam suratnya menyebutkan yakni politik yang jujur, bersih dan melayani. Jadilah  politikus yang berjuang untuk keadilan sosial, bukan untuk kekuasaan dan kekayaan (Surat dari dan untuk Pemimpin, Tempo Institute). Mahasiswa harus berani menjadi politikus.

Terkadang politik itu menjadi barang haram bagi mahasiswa. Jalan terbaik yang bisa ditengahi adalah apapun profesi yang mahasiswa geluti kelak maka  jadilah yang terbaik dibidang apa pun. Membangun negeri tanpa orang-orang terbaik sulit dikatakan perubahan dapat terwujud.  Contohnya jika kita mahasiswa calon guru maka jadilah guru yang terbaik yang wawasannnya luas dengan terus berliterasi, terus mengembangkan imajinasi anak didiknya. Begitu.

 *Tulisan ini masuk di rubrik poros mahasiswa Seputar Indonesia (koran Sindo) 8 November 2013

Posted on Minggu, November 10, 2013 by Rianto

No comments

Kamis, 03 Oktober 2013


GERIMIS YANG MELUNCUR di papan besar bergambar Ronald McDonald yang terkenal itu menjadi gambar yang begitu membosankan bagi seorang Paman Asia berkaos biru bertuliskan “CHE” yang duduk-duduk di sebuah  kedai kopi dengan jendela-jendela uniknya yang berwarna coklat dengan kaca yang kebinar-binaran.

Sebab bosannya normal saja, di manapun ia selalu bertemu dengan gambar Ronald McDonald, di papan besar, di bandara ibu kota pertama kali ia mendarat, di rumah sakit, di bus-bus sekolah,  bahkan di cangkir kopi tempat di mana ia sedang duduk-duduk saja Ronald McDonald selalu ada. Ini ajaib, katanya.  Di televisi Ronald mirip politikus, penyihir kapitalisme papan atas.

Ya  di seberang papan besar Ronald McDonald itu, ada  perempuan yang sedang  ia tunggu lengkap dengan keranjangnya. Sedari tadi masuk toko kelontong sebelah  Drive in.

 Jika saja matahari sore ini datang memasuki celah-celah kaca jendela, bisiknya dalam hati. Pastinya cahaya itu bakal dibuatnya berbelok-belok,  membentuk seperti jalan-jalan aspal yang panjang di bukit-bukit. Jalan yang terbuat dari cahaya imajinasi. Dan ia sengaja memindahkan, mengumpulkan cahaya di cangkir kopi bergambar Ronald McDonald. Kebiasaan itu lagi. 

Pastinya suasana unik yang selalu membayang-bayang  imajinasi palupinya saat bermain-main cahaya akan memecahkan pagi tadi yang begitu redup karena mendung. Kini Paman Asia tidak bisa bermain cahaya sore di cangkir-cangkirnya. Hingga sorenya dilalui saja dengan duduk–duduk sambil membolak-balik buku telpon.

Lalu, seorang perempuan kulit putih keluar dari pintu toko kelontong seberang tempat duduknya. Dari jendela jua, Paman Asia melihat gerimis menyapa perempuan itu lebih dulu.  Perempuan kulit putih yang  membawa sebuah keranjang. Betul keranjang yang agak besar. 

Perempuan itu menunggu sejenak di bawah papan besar  Ronald McDonald,  merapikan barang-barang di keranjangnya dan merapikan kancing  baju  tebalnya. Tak lupa rambutnya.  Beberapa kali ia menepuk-nepuk baju tebalnya yang kotor karena debu.  Suasana  Drive in yang agak ramai, kebanyakan anak muda,  membuatnya timbul tenggelam bersama lalu-lalang mobil-mobil.

Perempuan kulit putih itu tersenyum membuka tas kecil melambai sapu tangan  kepadanya. Paman Asia membalas dengan mengangkat tangan. Tanda untuk segera duduk-duduk bersamanya.

Dari dekat, perempuan kulit putih itu mengenakan baju tebal dengan bulu-bulunya sebagai penghalang hujan dan dingin. Alisnya yang tipis, rambut yang panjang bergelombang, bibir yang tipis pula tersenyum sambil mencium pipi Paman Asia dengan  mesra. Duduklah  ia mengobrol-ngobrol. 

“Apa yang kamu dapat?” Paman Asia memulai pembicaraan.

“Banyak sekali,” jawabnya singkat.

Perempuan kulit putih itu banyak menunjukan barang-barang yang  ia beli dari toko kelontong.  Jam tangan, jam beker, sepatu  kulit, seragam tentara, dan tak lupa mainan-mainan kecil. Sementara deru-deru suara mobil  yang keluar dari Drive in seperti menenun gerimis yang membuat sikap Paman Asia melaju dingin seperti ban-ban yang melaju pelan di aspal.  

Percakapan mengenai barang bekas seperti ini sebetulnya selalu dinantinya.

Terutama barang bekas yang meninggalkan jejak perang. Perang dunia pertama, Perang dunia kedua, perang saudara di Afrika, jatuhnya Bom Hiroshima dan Nagasaki. Tulisan feature pasca jatuhnya Bom Hiroshima dan Nagasaki oleh Jhon Hersey dari majalah The New Yorker menjadi pengetuk hati sepasang kekasih itu pergi ke Negeri Sakura, mengantarkan kimono tua milik korban bom yang didapatinya di sebuah pameran bulan oktober di Munich Jerman. 

Jam tangan,  jam beker, sepatu kulit, seragam  tentara, membuat mereka merasa asik membicarakan pemilik barang bekas yang dulu. Mulai dari kesan pertama apiknya barang-barang bekas itu saat  dijaga pemiliknya sampai imajinasi di mana barang bekas itu sudah dilupakan akibat perang. Kenapa dilupakan? Mungkin saja bukan dilupakan, hanya tertinggal. Hanya saja semudah  itukah  memori manusia. Mudah lupa, mudah pula mengingat.

“Bukankah itu hal yang lucu sekaligus tragedi, layaknya kisah Alice in Wonderland?,” kata Paman Asia .

“Ya, ya.. aku pun membayangkan seperti itu,” perempuan itu menyahut dengan senyum-senyum lebarnya. 

Dengan tanggap ia membungkus barang-barang bekas agar terlihat rapi, tak lupa mengelapnya juga.“Aku menyukai pekerjan  ini. Aku menyukainya,” sambil membungkus. 

“Lalu adakah jejak-jejak perang yang ditinggalkan pemiliknya, tulisan-tulisan, nama, tanggal,  lalu kita cari alamatnya. Ya alamatnya,” Paman Asia itu mulai bergairah.

“Tunggu dulu!” perempuan itu menyela, “Jangan lupa, bukankah kita  malam  ini akan mengunjungi rumah Alann Klitckhof. Benarkah alamatnya di  Meriddian Flannel No 5? Surat-surat dan tamagochi ini  harus sampai padanya bukan?”

Di mata Paman Asia, perempuan itu begitu cerdas. Paman  Asia menyukainya.

Ada yang janggal,  perempuan itu seperti sedang  ragu untuk mengungkapan hal yang penting. Penting sekali. Tapi belum dapat celah karena Paman Asia sedang bergairah dengan catatan dan buku telpon.

Saat membungkus sering kali bola mata perempuan itu mencuri tatapan,  melihat wajah Paman Asia  yang juga sibuk membuka buku telpon.  Namun senyum, kerut dahi plus alis perempuan itu yang naik seakan memberi makna berbeda. Lihat saja, saat Paman Asia membalas tatapan itu. Taktik yang selalu sama yang dilakukan oleh perempuan  manapun.

MALAM SEHABIS SEHARIAN HUJAN. Pukul tujuh lebih tiga belas menit di sebuah jarum jam hitam metalik  yang besar di stasiun kota ini, mereka naik taksi menuju jalan  Meriddian Flannel yang basah aspalnya. Sepasang  kekasih itu menuju rumah Alann Klitckhof. Tak henti-hentinya mereka membicarakan kereta yang baru saja mereka naiki. 

Taksi berhenti di sebuah rumah yang agak kecil dengan pagar putih lancip menjadikannya  lebih unik dibandingkan dengan deretan rumah lain di sekitarnya. Ya  itulah rumah Alann Klitckhof. Tamannya bagus. Tumbuh bunga-bunga lengkap dengan  rumput-rumput yang selalu basah. Tak ada garasi. Padahal di kota ini hampir semua penduduknya mempunyai mobil. Industri mobil di negara ini sedang maju-majunya. Menurut supir taksi tadi, kredit mobil, rumah, juga sangat mudah.  

Jalan mulus di depan  halaman rumah Alann Klitckhof itu bakal terlihat batu-batu granit besar tertanam di halamannya, tentunya setelah melewati pintu pagar yang putih lancip lengkap dengan tempat surat yang berdiri gagah di depan pintu pagar, sepasang kekasih itu menemui tangga kecil dengan dua-tiga langkah kaki tingginya. Setelah menaiki tangga ada sebuah bangku panjang dari kayu dengan koran-koran yang bertumpuk begitu saja barulah bisa terlihat. Oh ada juga dua kucing berbulu cantik sedang bermalas-malasan dengan makanan kucing di piring yang belum habis disantapnya. Naluri mencintai binatang  perempuan itu pun muncul, mengelus-elus bulu si kucing, sementara jari telunjuk Paman Asia menekan bel.

Bel pun berbunyi.  Sambil menunggu, perempuan itu tersenyum  ke Paman Asia.

Perempuan itu merapikan kemeja Paman Asia. Pun topinya. Paman Asia membalasnya dengan kecupan di kening. Tentunya mereka tetap bergandengan.

Seorang Bapak dengan kumis tebal dan kepalanya yang hampir botak membuka pintu.

“Apakah benar ini rumah Alann Klitckhof?” tanya perempuan itu dengan bahasa lokal yang terbata-bata terbalut senyum dan semangatnya.

“Ya benar, itu saudara kembarku,” jawabnya cepat.

 “Silahkan  masuk,” ajaknya ramah.

Sejam. Dua jam. Sepasang kekasih itu bersenda gurau dengan kembaran Alann Klitckhof yang berkisah seputar  isi surat-surat dan tamagochi Alann Klitckhof.

“Alann Klitckhof? Si Badut lucu itu  memang selalu melakukan hal-hal bodoh,” tutur Paman Bred memberitahukan kisah menarik tentang kembarannya itu. 

Alann Klitckhof, ia lihai membuat tertawa siapa saja. Alann Klitckhof  dikenal tenaga medis, tetangganya sering memanggilnya, “Hai Badut Medis selamat pagi!” tutur adiknya terkekeh. 

Saat kota ini menjadi pusat perang, saat pesawat-pesawat tempur fasis menggempur kota, Alann Klitckhof dikenal sebagai badut medis. Ia berdandan seperti badut menghibur anak-anak korban perang sambil sibuk sana-sini membawa obat, begitu juga saat mengangkat mayat. 

Di meja-meja penuh dengan makanan kecil dari gandum dan kacang-kacang, keju dan  susu.  Tak lupa minuman bersoda seperti coca-cola selalu hadir di negara ini. 

Sepasang kekasih itu pun pulang dengan bahagianya. Mereka mendapatkan teks-teks yang menarik. Teks-teks yang mampu berbicara di radio. Menggantikan pidato-pidato yang tak berguna dari anggota parlemen yang menjijikan.

“Apa tadi kau merekamnya,” Paman Asia itu menanyainya.

“Ya, aku merekamnya. Paman Bred juga lucu. Meski Alann Klitckhof belum pulang dari perantauan sirkus kelilingnya. Bulan depan mungkin kita akan menemuinya lagi. Kata Paman Bred, Alann Klitckhof akan mengirimi kita surat. Jadi tunggu saja.”

“Surat-surat dan tamagochi itu?”

“Itu juga sudah aku titipkan kepada Paman Bred. Saat  itu kau keluar mengangkat  telpon dari  redaktur.”

Pintu Paman Bred masih terbuka saat ia mengantar sebentar sepasang kekasih itu meninggalkan rumahnya yang berpagar putih lancip. Sepasang kekasih itu bergegas menaiki taksi yang sudah ditelpon Paman Bred. Mengantar mereka ke  stasiun kereta yang bakal berangkat pukul 11 malam ini.
Di tengah-tengah cerita kekaguman mereka dengan kereta-kereta lagi, Perempuan itu menceritakan  hal yang tertunda sore tadi.

“Aku ingin menceritakan sesuatu,” tutur perempuan itu. 

Menurut tutur penjaga toko yang ditemuinya sore tadi,  toko kelontong itu akan dijualnya. Begitu juga toko-toko di sekitarnya. Perusahaan fast food  memberikan penawaran yang  ‘tidak biasa’. Begitu menggairahkan. Toko kelontong tadi yang dikunjunginya untuk  membeli barang-barang bekas berupa jam  tangan, jam beker, seragam tentara,  katanya juga akan disulap menjadi sebuah taman bermain untuk anak-anak. 

Bila jadi, toko itu akan tertanam di memori Perempuan itu saja saat bangunan fisik diratakan.

“Taman bermain seperti Disney, Ronald McDonald?”

“Ya betul…”

“Ini gila, sore tadi saat duduk-duduk aku sudah memikirkan hal itu,” jawab  Paman Asia sambil mengangguk-angguk, membuka topinya, berjalan, berpikir tajam  memasuki pintu kereta. 
***
Cerita pendek ini masuk dalam 13 nominasi lomba cerpen se Jawa-Bali 2013 yang diadakan oleh UKMP Malang


Posted on Kamis, Oktober 03, 2013 by Rianto

No comments