Konon kolonialisme mewariskan foto-foto. Lensa kamera menjepret sketsa orang yang terjajah. Foto adalah mimesis akan keindahan dan dilema. Tillema seorang kromoblanda konon yang menggunting, membeli foto, menyajikan gambaran hindia untuk koran-koran. Menjualnya dengan tidak gratis.


             Terkadang Tillema berjalan dengan kameranya. Mengabadikan kolonialisme dengan foto. Bahkan Tillema dikenal sebagai kromoblanda yang mengabadikan tentang sejarah tinja di hindia. Inikah wajah kita yang diabadikan melalui foto yang bahkan terasa pribadi dan sensitif.

            Sejak kapan dimulainya foto untuk mengabadikan wajah kebudayaan kita? Tahun 1935 Tillema kembali merayakan keabadian lensa kameranya yang memberikan gambaran tentang suku-suku Apo Kaya di Borneo Tengah. Di saat itu pula alat tenun dan kainnya menjadi oleh-oleh untuk Koloniaal Institut di Amsterdam.




            Seperti apa yang digambarkan Rudolf Mirazek dalam bukunya The Engginers of Happy Land, Tillema atas dalih ‘kepentingan ilmiah’ memotret kebudayaan tenun.Tillema begitu bergembira. Tak ada yang membahagiakan hatinya saat negatif dicuci. Tillema menulis,

                “Kebahagian saya…. Setelah…. Ketegangan hampir setahun… untuk melihat negatifnya dicuci, dan, sesaat kemudian melihat, di layar, wanita-wanita kecil.. tekun menjalankan pekerjaaanya”

            Disanalah foto menjadi rima yang kuat menjadi kata kunci membaca kebudayaan. Foto bagian mata yang mengabadikan peristiwa dan tema yang mengundang pemaknaan akan sketsa humani. Disinilah dalih berbagi foto saja  sebagai bagian berbagi cerita dan kisah yang tak berkata namun kuat disajikan lewat gambar-gambar. 

            Saat aku mendapatkan buku “Indonesia Dalam 250 Foto” yang diterbitkan sebagai perayaan sepuluh tahun Harian Kompas seperti melepas syukur akan foto-foto tentang wajah kita sendiri. Ya buku itu tercetak oleh KOMPAS sendiri tahun 1975.  Lebih tua 26 tahun dari usiaku. Terkisah dalam buku itu foto-foto yang pernah tersaji dalam harian KOMPAS. 

            Ada wajah wanita di Bajawa flores. Ada gadis minang yang  manis. Ada wajah senyum perempuan pencari kayu bakar di Semarang Jawa Tengah yang hendak menaiki tangga. Itu semua adalah bagian wajah pruralisme kita yang tersedia dalam buku ini. Dalam surat kabar kita adalah bagian yang berbeda  dalam ika. Seakan-akan kau menemukan wajahku sendiri dibalik foto-foto itu. Wajah foto yang mesti didapat dengan upaya, 

                “Kadang-kadang perjalanan hanya berupa beberapa jam terbang.  Tetapi sering pula kami harus menunggu berminggu-minggu  untuk datangnya sebuah perahu. Bahkan juga terjadi kami harus berjalan kaki berhari-hari”

            Kini kita hidup dizaman digital dan instagram. Foto tentang wajah kita dapat mudah ditemukan. Koran-koran begitu mudah mengabadikan kisah wajah kita yang kadang bopeng sebelah. Foto dengan lensa-lensanya menjadi kisah kita membayang cermin wajah yang retak.

Kolonialisme mengajarkan kita hidup di zaman ketakutan akan orang lain berbalut estetis! Dilema berfoto dan berbudayakah kita?