Boboko adalah kerajinan anyaman baru digarap oleh mayoritas penduduk desa Trajaya Majalengka. Ketelitian menganyam, kesabaran dan tetes keringat para pengrajinnya kadang “tidak memadai “ hasil dagangannya untuk sekolah masa depan anak-anak mereka.

Trajaya tidak hanya membuahkan kerajinan anyaman bambu penduduknya dimata “peneliti-peneliti muda LKM UNJ” tetapi sudut mata peduli mereka sebagai generasi muda pendidik-pendidik menorehkan tulisan-tulisan renung mendalam mengenai putus sekolah anak-anak Trajaya, mengenai SMA sebagai kemewahan karena biaya sekolah tinggi dan karena dana bantuan pendidikan BOS hanya sampai SMP. 

Tidak hanya itu “Hidup bersama” (live in) para anggota LKM UNJ ini melalui narasi hati peduli tulisan-tulisan mereka ini telah memenuhi kelangkaan narasi inspiratif pendidikan, merenungi “kemiskinan kultural dan struktural” terutama soal  waris mewarisi seni merajin boboko ke yang muda yang disedot keasikan SMS dan motor lalu lalang hingga ruh seni merajut kerajinan rakyat Trajaya ini berlangsung untuk menghidupi nafkah mereka.

Cara berkisah dari Rianto, yang menyorot bagaiman pendidikan kesadaran untuk menulis merupakan sekolah menamai kenyataan dalam aksara menjadi kunci konsienstisasi gambar manusia indonesia macam apa kedepan ini yang mau dirajut dengan pendidikan ?

Cara berkisah Restu yang menghayati dengan mata hati proses menganyam boboko tidak mungkin tertuang bila ia sendiri tidak masuk ke hati orang-orang  Trajaya.  Demikian pula Agus Puromo punya kisah perjuangan diatas aspal dan tanah berbatu demi cinta dan tanggung jawab untuk anak istri dari pekerja angkot. 

Suryaningtyas menampilkan “ruang publik’ alun-alun rakyat Trajaya untuk aktivitas  ekonomia denyut nafas hidup masyarakat dengan potret  lengkap anak-anaknya, birokrasi, punggawa dan orang-orang kebanyakan yang memuliakan hidup dalam berkah-Nya yang disyukuri seperti mengingatkan novel Pramoedya Ananta Toer “Bukan Pasar Malam” namun ini pasar malam benar-benar di Trajaya: pasar malam penjualan boboko.

Pengrajin Tua yang menunggu sepi anyaman di senja tulisan Muhammad Khambali, membuat pembaca mau tidak mau berhenti sejenak untuk bertanya bagaimana pemasaran anyaman-anyaman boboko ini? Dimana janji-janji pemberdayaan kredit-kredit dan UKM dari pemerintah selama ini?

Dari Trajaya, tersurat nyata bahwa hasil penjualan boboko yang jauh-jauh dibawa untuk dijajakan di pasar malam, adalah pertama-tama tanda cinta si Ayah untuk biaya hidup dan pendidikan anak. Tengoklah tulisan Nada Muthia lebih-lebih baca yang tersirat pesan-pesan dibalik yang tersurat.

Sang kakek pembelah bambu sebagai bahan pokok boboko, ditulis penuh haru dan detail betapa bambu itu “segalanya” untuk nafkah perajin boboko oleh Rusmiati.  Kisah hidup  bambu, dengan wajah anyaman boboko raksasa untuk promosi pameran disunting sepenuh hati  oleh Indah Miranti. Namun ada boboko polos dan boboko “hitam”, atau “belang” yang butuh proses “ngewengku, nyokoan, ngiket” tampil unik oleh tangan penulis Tri Pria karena yang “hitam” bermuatan tradisi cipta boboko hitam di blok khusus Trajaya, yaitu blok sabtu yang  diwariskan perintisnya Tayobi.

Ketika Narasi saat ini mengenai keuletan, kerja keras seni pengrajin dalam bentuk tulisan dengan susastra hidup yang dihayati dengan hati semakin berkurang dari sudut pandang prosesnya dan tidak hanya komersialisasi jualan hasil-hasil kerajinan tangan, maka para pendidik muda ini tulisan-tulisan  memberi nafas baru bagaimana LKM sebagai laboratorium organik yang menghubungkan antara kerja, pendidikan, dan “transformasi” masyarakat dengan dahsyat mampu mencipta tradisi narasi edukatif, transformatif karena mereka berperjalanan dan masuk hidup ke jantung denyut nadi masyarakat Trajaya dengan bobokonya.

Tulisan-tulisan inspiratif  dengan contoh-contoh nyata tokoh-tokoh petani sekaligus pengrajin dan masyarakat kerja keras ini menjadi contoh nyata oase pencarian makna hidup adalah proses kerja untuk masa depan anak-anak melalui pendidikannnya. Kendala-kendala disitulah yang menjawab mengapa sekolah harus “menyatu” dan berdialog terus dengan “live in” masyarakat dan bukan belajar teks-teks buku tetapi belajar “teks-teks” dari kehidupan masyarakat itu sendiri. 

Bravo dan selamat untuk LKM UNJ semoga laboratorium organik pendidikan ini menjadi alternatif tradisi mendidik dan menyadarkan melalui kisah-kisah hidup nyata para pekerja keras dan seni yang sabar dari Trajaya.

Selamat membaca buku berharga ini!

Salam,
Mudji Sutrisno Sj
Budayawan

*Tulisan ini diambil dari kata pengantar buku "Menali Kehidupan Meraut Kesabaran" terbitan Pustaka Kaji (2014). Kumpulan tulisan jurnalisme bertutur karya mahaiswa yang tergabung dalam Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ