Dunia anak penuh letupan kisah lucu, menegangkan dan mengundang imajinasi. Terlebih buku bacaan anak selalu menggugahku untuk membacanya berulang-ulang. Kini aku jatuh cinta pada cerita anak yang dikisahkan penulis eropa dan diterbitkan dengan bahasa Indonesia. Hem, mungkin aku bukan mahasiswa jurusan sastra yang sok nyentrik membaca karya sastra anak eropa macam Erick Kastner.  Apalagi berlagak menjadi orang dewasa yang sok tahu dunia anak dan berkisah tentang buku itu ke kamu.           

           Aku punya tiga buku koleksi cerita anak Erick Kastner. Pertama Punktchen dan Anton, kedua Lotte Kembar Dua dan terakhir Emil Detektif Cilik. 

            Dalam cerita anak selalu muncul persahabatan. Barangkali aku cuma mau bilang, ada kisah anak yang diceritakan Kastner begitu menarik.  Kastner melalui tulisannya menyuarakan  persahabatan dalam anak adalah yang mesti kita ingat.

            Di bukunya Punktchen dan Anton,  Kastner mempunyai misi lucu: mengundang kita menjadi bocah seperti tokoh dalam tulisannya. Mengapa? Alasannya sederhana ! Anak baiklah yang dibutuhkan di dunia ini. 

            Aku ingin sekali membedah sastra anak Kastner ini. Penulis yang sempat dikejar-kejar Hitler ini berjuang melalui kisah anak. Ha, masa kecilku jarang sekali membaca buku seperti ini. Tapi bagiku, sejak aku duduk lama-lama dengan temanku mendiskusikan Kaestner menjadi ‘api’ dalam imajinasiku memuncak! Aku ingin mengoleksi buku-buku Kastner. Menjadi pencerita kisah anak karangan Kaestner yang berbahasa Indonesia.  

            Makanya aku selalu berdo’a kepada tuhan, agar aku dimudahkan menjadi penulis dan pengumpul buku-buku cerita anak.  Buku cerita anak mempunyai misi mencipta dunia. Inilah yang kalau aku baca lama-lama, Erick Kastner mirip pesulap kata yang mengundang kembali kepolosan imajinasi anak baik melalui kisah-kisah menariknya. 

            Di buku Punktchen dan Anton (Gramedia 1992)  misalnya, Kastner bilang, “Siapa tahu kalian ingin berniat menjadi mereka (emil, punktchen, anton),” kata Kaestner. Ia pun melanjutkan “Barangkali kalian begitu menyukai mereka, sehingga kalian berusaha untuk menjadi serajin, sebaik budi, setabah, dan sejujur mereka”

            Menurut Kastner mencipta anak-anak seperti itu menjadi imbalan paling indah dalam imajinasinya. Aku pikir, Kaestner bisa tertawa lega, imajiasinya telah masuk ke Indonesia dan  kisah-kisahnya merasuk pada anak-anak di dunia termasuk Indonesia. 

            Mempunyai buku Kastner seperti ini barangkali hanya dimiliki oleh orang tua yang ada di perkotaan. Mungkin saja dugaanku salah. Tapi aku yakin ibu mana yang mau lama-lama duduk dengan anaknya menceritakan kisah anak seperti ini sebagai pengantar tidur? Kini anak-anak merupakan mimesis televisi. Anak digital. Televisi dan gadget menjadi teman sepermainan bukan buku cerita anak. Persahabataan dijalin bukan melalui kata tapi maya. 

            Aku begitu bergembira membaca tulisan penulis cerita anak macam Kastner. Mohammad Sobary pernah mengatakan dalam salah satu esainya, menulis kisah anak lebih sulit dibanding menulis esai! Mari kita simak imajinasi Kastner yang tertuang dalam kepolosan Punktchen yang menurutku Kastner begitu lucu membongkar pikiran orang dewasa yang naif. 

            Saat itu Anton tidak masuk sekolah. Ia harus mengurus ibunya yang sakit. Menyiapkan sarapan dan obat. Di sekolah Anton tertidur dan PR nya tidak memuaskan.  Tak disangka Punktchen si gadis lucu itu meghampiri guru Anton yang berkepala botak. Ia ingin gurunya tidak menulis surat untuk ibunya Anton. Punktchen pun  menghampiri Pak Bremser berbicara empat mata. Punktchen berkata dengan nada kesal, 

            “Saya hanya bisa mengatakan bahwa anak malang itu bekerja siang dan malam. Ia membanting tulang dan memasak dan mencari uang dan membayar makanan dan sewa rumah, dan kalau  ia potong rambut, ia membayar dengan cara mencicil. Dan saya merasa heran bahawa ia tidak tidur terus di sepanjang jam pelajaran."

Pak Bremser berdiri seperti patung. Guru-guru lain memasang telinga.

            “dan Bapak malah  mau mengirim surat pada Bu Gast, untuk memberitahunya bahwa anaknya malas! Keterlaluan. Bisa-bisa Bu Gast jatuh sakit lagi, dan harus kembali ke rumah sakit! Dan kalau begitu, Anton Pasti ikut sakit, itu saya jamin”

            Percakapan antara Punktchen dan Pak Bremser guru Anton di Sekolah membuatku tercengang. Dialog antar anak dan guru seperti ini menjadi bahan refletif bagi guru-guru kita yang sok hebat dan galak tapi tak mengenal muridnya sendiri. Begitulah.

            Malam  ini, kamu tahu, aku menuliskan esai kisah anak ini membuatku berfikir lebih mengakar akan  masa di mana rumah kita penuh akan buku-buku cerita anak yang menghiasi di  dapur, di ruang tamu, di serambi depan  rumah ataupun di tempat tidurmu. Saat itu aku berkisah kembali dengan polos: aku mencintai  kisah ini mirip dengan mencintaimu dengan kata dan kisah.

Selamat malam…